RSS
Facebook
Twitter

Saturday 11 October 2014

A. Pengertian
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003).
Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanisme pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
B. Epidemiologi
SLE lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan 10 : 1. Perbandingan ini menurun menjadi 3 : 2 pada lupus yang diinduksi oleh obat. Penyakit SLE juga menyerang penderita usia produktif yaitu 15 – 64 tahun. Meskipun begitu, penyakit ini dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia dan jenis kelamin (Delafuente, 2002). Prevalensi SLE berbeda – beda untuk tiap etnis yaitu etnis Afrika – Amerika mempunyai prevalensi sebesar 1 kasus per 2000 populasi, Cina 1 dalam 1000 populasi, 12 kasus per 100.000 populasi terjadi di Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di Swedia. Di New Zealand, terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000 populasi (Bartels, 2006).
lupus 2 lupus 3 lupus 4 lupus 5 lupus 6 
C. Etiologi
Faktor genetik
mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003) .
Faktor lingkungan
yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh.
Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente, 2002). Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE (Herfindal et al., 2000).

D. Klasifikasi
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat :

1. Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).

2. Systemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).

3. Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).

E. Patofisiologi
Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B, peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun (Mok dan Lau, 2003). Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B.
Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4 (Epstein, 1998).
Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1 berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu cell-mediated immunity.
Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya produksi IL-2 dan hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu meningkatkan ekspresi sel T (Mok dan Lau, 2003).
Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa gangguan fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T. Peningkatan sel B yang teraktivasi menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas self-antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun (Silvia and Isenberg, 2001). Hal ini juga meningkatkan heat shock protein 90 (hsp 90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan terjadinya respon imun.
Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+ (inducer/helper). SLE ditandai dengan peningkatan sel B terutama berhubungan dengan subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu menginduksi terjadinya supresi dengan menyediakan signal bagi CD8+ (Isenberg and Horsfall, 1998). Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi (Mok and Lau, 2003). Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu jaringan tertentu dan merupakan komponen integral dari semua jenis sel sehingga menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara luas (Albar, 2003) melalui 3 mekanisme yaitu pertama kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua, autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak di dalam jaringan, komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme yang terakhir adalah autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi komplemen yang berperan dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap kerusakan jaringan (Epstein, 1998).
Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks imun, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take kompleks imun pada limpa (Albar, 2003). Gangguan klirens kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya CR1 dan juga fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena lemahnya ikatan reseptor FcγRIIA dan FcγRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1, C2, C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi kompleks imun (Mok dan Lau, 2003) pada berbagai macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut.
Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan mediator-mediator inflamasi yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya (Albar, 2003). Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi apoptosis sel keratonosit) atau beberapa obat (seperti klorpromazin yang menginduksi apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel yang dilakukan oleh makrofag.
Sel dapat mengalami apoptosis melalui kondensasi dan fragmentasi inti serta kontraksi sitoplasma. Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada di dalam membran sel, pada saat apoptosis berada di bagian luar membran sel.
Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP, TSP, SAP, dan komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor membran seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4), reseptor αVβ3, CD36, CD14, lektin, dan mannose receptor (MR) yang menghasilkan sitokin antiinflamasi. Sedangkan pada SLE yang terjadi adalah ikatan dengan autoantibodi yang kemudian akan berinteraksi dengan reseptor FcγR yang akan menghasilkan sitokin proinflamasi.
Selain gangguan apoptosis yang dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan apoptosis yang disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2 (Bijl et al., 2001).

F. Tanda dan gejala
Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa lelah, malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan (Hahn, 2005). Gejala muskuloskeletal berupa artritis, atralgia, dan mialgia umumnya timbul mendahului gejala yang lain. Yang paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku, dan pergelangan kaki (Delafuente, 2002).
Gejala di kulit dapat berupa timbulnya ruam kulit yang khas dan banyak menolong dalam mengarahkan diagnosa SLE yaitu ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly rash) berupa eritema yang agak edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas (photohypersensitivity). Lesi cakram terjadi pada 10% – 20% pasien SLE. Gejala lain yang timbul adalah vaskulitis eritema periungual, livido retikularis, alopesia, ulserasi, dan fenomena Raynaud (Delafuente, 2002).
Gejala SLE pada jantung sering ditandai adanya perikarditis, miokarditis, gangguan katup jantung (biasanya aorta atau mitral) termasuk gejala endokarditis Libman-Sachs. Penyakit jantung pada pasien umumnya dipengaruhi oleh banyak faktor seperti hipertensi, kegemukan, dan hiperlipidemia. Terapi dengan kortikosteroid dan adanya penyakit ginjal juga dapat meningkatkan resiko penyakit jantung pada pasien SLE (Delafuente, 2002).
Gejala lain yang juga sering timbul adalah gejala pada paru yang meliputi: pleuritis dan efusi pleura. Pneumonitis lupus menyebabkan demam, sesak napas, dan batuk. Gejala pada paru ini jarang terjadi namun mempunyai angka mortalitas yang tinggi. Nyeri abdomen terjadi pada 25% kasus SLE. Gejala saluran pencernaan (gastrointestinal) lain yang sering timbul adalah mual, diare, dan dispepsia. Selain itu dapat pula terjadi vaskulitis, perforasi usus, pankreatitis, dan hepatosplenomegali (Delafuente, 2002).
Gejala SLE pada susunan saraf yaitu terjadinya neuropati perifer berupa gangguan sensorik dan motorik yang umumnya bersifat sementara (Albar,2003). Gejala lain yang juga timbul adalah disfungsi kognitif, psikosis, depresi, kejang, dan stroke (Delafuente, 2002). Gejala hematologik umumnya adalah anemia yang terjadi akibat inflamasi kronik pada sebagian besar pasien saat lupusnya aktif. Pada pasien dengan uji Coombs-nya positif dapat mengalami anemia hemolitik. Leukopenia (biasanya limfopenia) sering ditemukan tetapi tidak memerlukan terapi dan jarang kambuh. Trombositopenia ringan sering terjadi, sedangkan trombositopenia berat disertai perdarahan dan purpura terjadi pada 5% pasien dan harus diterapi dengan glukokortikoid dosis tinggi. Perbaikan jangka pendek dapat dicapai dengan pemberian gamaglobulin intravena. Bila hitung trombosit tidak dapat mencapai kadar yang memuaskan dalam 2 minggu, harus dipertimbangkan tindakan splenektomi (Delafuente, 2002).
Antikoagulan lupus (AL) termasuk dalam golongan antibodi antifosfolipid. Antikoagulan ini diketahui berdasarkan perpanjangan waktu tromboplastin parsial (PTT) dan kegagalan penambahan plasma normal untuk memperbaiki perpanjangan waktu tersebut. Antibodi terhadap kardiolipin (aCL) dideteksi dengan pemeriksaan ELISA. Manifestasi klinis AL dan aCL adalah trombositopenia, pembekuan darah pada vena atau arteri yang berulang, keguguran berulang, dan penyakit katup jantung. Bila AL disertai dengan hipoprotombinemia atau trombositopenia, maka dapat terjadi perdarahan.Yang lebih jarang timbul adalah antibodi terhadap faktor pembekuan (VIII, IX); adanya antibodi tersebut tidak dapat menyebabkan pembekuan darah sehingga perdarahan terjadi terus-menerus (Hahn, 2005).
Pada wanita dengan SLE yang mengalami kehamilan maka dikhawatirkan akan mempercepat penyebaran penyakit selama kehamilan dan pada periode awal setelah melahirkan. Selain itu juga dapat terjadi aborsi secara spontan atau kelahiran prematur. Kemungkinan terjadinya preeklamsia atau hipertensi yang disebabkan kehamilan juga dapat memperparah penyakitnya (Delafuente, 2002).
Gejala klinik pada kerusakan ginjal dapat dilihat dari tingginya serum kreatinin atau adanya proteinuria. Penyakit ginjal pada pasien SLE sering disebut lupus nefritis. Menurut WHO, lupus nefritis dapat dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan biopsi ginjalnya yaitu kelas I (normal/minimal mesangial), kelas II (mesangial), kelas III (focal proliferative), kelas IV (diffuse proliferative), dan kelas V (membranous glomerulonephritis). Selama perjalanan penyakit pasien dapat mengalami progesivitas dari satu kelas ke kelas yang lain. Pada pasien dengan lupus nefritis terutama ras Afrika – Amerika dapat terjadi peningkatan serum kreatinin, penurunan respon terhadap obat-obat imunosupresan, hipertensi, dan s
G. Pengobatan
Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien, memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit, menghindari penyebaran penyakit, serta memberikan edukasi kepada pasien tentang manifestasi dan efek samping dari terapi obat yang diberikan. Karena banyaknya variasi dalam manifestasi klinik setiap individu maka pengobatan yang dilakukan juga sangat individual tergantung dari manifestasi klinik yang muncul. Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi (Herfindal et al., 2000)
Terapi nonfarmakologi
Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan. Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau diduga juga merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE(Delafuente, 2002).
Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA (Venkatraman et al., 1999). Penggunaan sunblock (SPF 15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE sangat disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah (Delafuente, 2002).
Terapi farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.
NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat dan NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi termasuk interleukin, interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan COX-1 merupakan enzim yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin untuk melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan, dan alergi lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan perdarahan menurun hingga 50% (Neal, 2002). Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap efek samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada pasien SLE dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi NSAID.
Jika NSAID yang digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek samping maka dipilih NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan efikasi tetapi malah meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak direkomendasikan. Apabila terapi NSAID gagal maka dapat digunakan imunosupresan seperti kortikosteroid atau antimalaria tergantung dari manifestasi yang muncul (Herfindal et al., 2000).
Efek antiinflamasi dan analgesik aspirin dapat digunakan untuk pengobatan demam, artritis, pleuritis, dan perikarditis. Dosis yang digunakan adalah 1,5 g sehari. Selain itu dosis rendah aspirin (60–80 mg sehari selama kehamilan minggu ke-13–26) yang dikombinasikan dengan heparin dapat digunakan pada pasien SLE yang mengalami kehamilan dengan sindrom antifosfolipid antibodi melalui hambatan pembentukan tromboksan-A2 Pemberian aspirin dapat dilakukan bersama dengan makanan, air dalam jumlah besar, atau susu untuk mengurangi efek samping pada saluran cerna.
Aspirin diabsorpsi di dalam saluran cerna sebesar 80-100% dari dosis oral. Di dalam tubuh, aspirin mengalami hidrolisis menjadi metabolitnya yaitu salisilat. Obat ini didistribusikan secara cepat dan luas ke dalam jaringan dan cairan tubuh dan mempunyai ikatan yang lemah dengan protein plasma. t1/2 aspirin 15 – 20 menit. Apirin diekskresi di dalam urin dalam bentuk metabolit salisilat, hanya 1% dari dosis oral yang diekskresikan sebagai aspirin tidak terhidrolisis melalui urin (McEvoy,2002).

Obat-obat lain yang digunakan pada terapi penyakit SLE antara lain adalah azatioprin, intravena gamma globulin, monoklonal antibodi, terapi hormon, mikofenolat mofetil dan pemberian antiinfeksi :
1) Azatioprin
Penggunaan azatioprin pada pengobatan pasien SLE ditujukan apabila pasien mengalami intoleran siklofosfamid. Dosis yang digunakan pada pasien SLE 2 – 3 mg/kg BB per hari. Mekanisme kerja azatioprin meliputi menurunkan limfosit sel B dan sel T dalam sirkulasi, sintesis IgM dan IgG, sekresi IL-2, serta gangguan ribonukleotida adenin dan guanin melalui supresi sintesis asam inosinat (Clements and Furst, 1994). Pada penggunaannya dapat dikombinasikan dengan steroid (Rahman, 2001).
Apabila penyakitnya sudah terkontrol maka dilakukan tapering steroid sampai dosis serendah mungkin setelah itu baru dilakukan tapering azatioprin. Pasien dengan terapi azatioprin harus dimonitor toksisitas limforetikuler atau hemopoitik setiap 2 minggu pada 3 bulan pertama terapi sambil dilakukan penyesuaian dosis. Selain itu juga dilakukan monitoring fungsi hati setiap 6 bulan (Herfindal et al., 2000). Azatioprin diserap baik di saluran cerna dan dimetabolisme menjadi merkaptopurin. Efek imunosupresan dari azatioprin muncul dalam beberapa hari sampai beberapa minggu dan masih berlanjut ketika obat sudah dihentikan. Tidak ada hubungan antara konsentrasi dalam serum dengan efetivitas atau toksisitasnya. Merkaptopurin dan sejumlah kecil obat dalam bentuk utuh diekskresikan melalui urin. t1/2 azatioprin 9,6 ± 4,2 menit, sedangkan merkaptopurin 0,9 ± 0,37 jam (Katzung, B.G., 2006).
Azatioprin mempunyai efek samping pada saluran cerna dan supresi sumsum tulang. Apabila supresi sumsum tulang sudah muncul maka pengobatan dihentikan atau dosisnya dikurangi. Blood count harus dimonitor secara rutin. Pada pemakaian kronik dapat meningkatkan resiko hematopoitik dan kanker limforetikuler. Efek samping lain yaitu infeksi herpes zoster, kemandulan, hepatotoksik (Herfindal et al., 2000).

2) Metotreksat
Merupakan analog asam folat yang dapat mengikat dehidrofolat reduktase, memblok pembentukan DNA, dan menghambat sintesis purin. Pada terapi SLE, digunakan dosis 7,5 – 15 mg secara oral satu kali seminggu (Herfindal et al., 2000). Pada pemakaian oral absorpsi obat bervariasi dan tergantung dosis tetapi rata-rata 30%. Obat ini didistribusikan secara luas ke dalam jaringan melalui mekanisme transpor aktif dengan konsentrasi terbesar berada dalam ginjal, limpa, hati, kulit, dan saluran kemih. Lebih dari 90% dari dosis oral diekskresikan melalui ginjal dengan mekanisme transpor aktif dan filtrasi glomerolus dalam waktu 24 jam. t1/2 metotreksat pada terapi dosis rendah (kurang dari 30 mg/m2) adalah 3-10 jam sedangkan pada terapi dosis tinggi 8-15 jam (McEvoy, 2002). Efek samping metotreksat meliputi defisiensi asam folat, gangguan gastrointestinal dengan stomatitis atau dispepsia, teratogenik (Brooks, 1995).

3) Intravena gamma globulin
Intravena gamma globulin digunakan purpura trombositopenia idiopatik, sindroma Gillae-Barre, miastenia gravis, sindroma Kawasaki, dan penyakit autoimun lain. Mekanisme kerja gamma globulin sangat kompleks meliputi perubahan ekspresi dan fungsi reseptor Fc, menganggu aktivasi komplemen dan sitokin, menyediakan antibodi antiidiopatik, dan mempengaruhi aktivasi, diferensiasi, dan fungsi efektor dari sel T dan sel B. Komponen-komponen dalam intravena gamma globulin yaitu molekul IgG yang utuh, IgA, CD4, CD8, molekul HLA, dan sitokin (Kazatchkine and Kaveri, 2001). Dosis yang digunakan 1-2 g/kg BB (Katzung, 2006). Intravena gamma globulin mempunyai t1/2 21-29 hari (McEvoy, 2002). Efek samping intravena imunoglobulin adalah mual, muntah, mialgia, letih, sakit kepala, urtikaria, hipertensi, dll. (McEvoy, 2002).

4) Terapi hormone
Dehidroepiandrosteron (DHEA) merupakan hormon pada pria yang diproduksi pada saat masih fetus dan berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini kembali aktif diproduksi pada usia 7 tahun, mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan menurun seiring bertambahnya usia. Pasien SLE mempunyai kadar DHEA yang rendah. Pemberian hormon ini memberikan respon pada penyakit yang ringan saja dan mempunyai efek samping jerawat dan pertumbuhan rambut (Isenberg and Horsfall, 1998). Secara in vitro, DHEA mempunyai mekanisme menekan pelepasan IL-1, IL-6, dan TNF-α serta meningkatkan sekresi IL-2 yang dapat digunakan untuk mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun demikian mekanisme secara in vivo belum diketahui (FDA Arthritis Advisory Comittee, 2001).

5) Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus
Pemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem imun sehingga dapat menyebabkan tubuh mudah terserang infeksi. Infeksi yang umum menyerang adalah virus herpes zoster, Salmonella, dan Candida (Isenberg and Horsfall, 1998). Untuk herpes zoster dapat diatasi dengan pemberian antivirus asiklovir atau vidarabin secara oral 800 mg lima kali sehari selama 5 – 7 hari. Salmonella dapat diterapi dengan antibiotik golongan kuinolon, ampisilin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol (Katzung, 2002). Sedangkan golongan penisilin dan sefalosporin tidak digunakan karena menyebabkan rash yang sensitif sehingga dapat memperparah rash SLE (Isenberg and Horsfall, 1998). Adanya infeksi dari Candida dapat diatasi dengan pemberian amfoterisin B, flukonazol, dan itrakonazol (Katzung, 2002).

6) Mikofenolat mofetil
Efektif pada lupus nefritis terutama pada pasien yang tidak menunjukkan respon dan intoleran terhadap siklofosfamid. Mikofenolat mofetil mempunyai mekanisme kerja antara lain menekan secara selektif proliferasi limfosit T dan B, pembentukan antibodi, menghambat sintesis purin dan deplesi monosit dan limfosit (Chan et al., 2000). Selain itu mikofenolat mofetil merupakan selektif, reversibel, dan inhibitor nonkompetitif dari enzim inosine monophosphate dehydrogenase (IMPDH) yaitu enzim yang berperan dalam sintesis de novo nukleotida guanosin dari limfosit sel B dan T (Sanquer, et al., 1999).
Toksisitas dari mikofenolat mofetil meliputi gangguan saluran cerna (mual dan muntah, diare, dan nyeri abdomen) dan supresi myeloid (terutama neutropenia) (Katzung, 2002) tetapi efek samping yang dimiliki tetap lebih rendah daripada siklofosfamid serta tidak mempunyai efek mutagenik (Chan et al., 2000). Dosis yang diberikan dua kali sehari sebesar 1 g dan setelah 12 bulan pemakaian dihentikan, diganti dengan azatioprin (Rahman, 2001)

0 comments:

  • Total Pageviews

    Ns.Tursino.Skep. Powered by Blogger.
  • Contact Form

    Name

    Email *

    Message *