A. Pengertian
SLE
merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan
oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh
adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem
imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar,
2003).
Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam
ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat
menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanisme
pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
B. Epidemiologi
SLE
lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan 10 :
1. Perbandingan ini menurun menjadi 3 : 2 pada lupus yang diinduksi
oleh obat. Penyakit SLE juga menyerang penderita usia produktif yaitu
15 – 64 tahun. Meskipun begitu, penyakit ini dapat terjadi pada semua
orang tanpa membedakan usia dan jenis kelamin (Delafuente, 2002).
Prevalensi SLE berbeda – beda untuk tiap etnis yaitu etnis Afrika –
Amerika mempunyai prevalensi sebesar 1 kasus per 2000 populasi, Cina 1
dalam 1000 populasi, 12 kasus per 100.000 populasi terjadi di Inggris,
39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di Swedia. Di New Zealand,
terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50 kasus
per 100.000 populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam
100.000 populasi (Bartels, 2006).
C. Etiologi
Faktor genetik
mempunyai
peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE.
Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree
relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar
identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik
(2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan
antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen
komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu
C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel
T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003) .
Faktor lingkungan
yang
menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah struktur DNA di
daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di
daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE
juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat
yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat,
obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat
untuk berikatan dengan protein tubuh.
Hal ini direspon sebagai
benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi
antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et
al., 2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam
amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B
sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente, 2002). Selain itu infeksi
virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan
mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga
mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE
(Herfindal et al., 2000).
D. Klasifikasi
Penyakit Lupus
dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic
lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat :
1. Discoid Lupus
Lesi
berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang
meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini
timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada.
Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan
atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks
kulit secara menetap (Hahn, 2005).
2. Systemic Lupus Erythematosus
SLE
merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan
oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh
adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun
dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya
autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein
intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan
jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein,
1998).
3. Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang
disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat
yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat,
obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat
untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda
asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear
(ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).
E. Patofisiologi
Pada
pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel
B, peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi,
hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, dan pembentukan kompleks
imun (Mok dan Lau, 2003). Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena
adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti
bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel
atau yang berasal dari dalam yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini
dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau berikatan dengan
antibodi pada permukaan sel B.
Kemudian diproses oleh sel B dan
APCs menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di
permukaan. Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat
merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi
antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan bantuan
sitokin, molekul CD 40, CTLA-4 (Epstein, 1998).
Berdasarkan
profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1
berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel
tersebut dan membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE
ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 yang
berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu cell-mediated immunity.
Sel
T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya produksi IL-2
dan hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat
membantu meningkatkan ekspresi sel T (Mok dan Lau, 2003).
Abnormalitas
dan disregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa gangguan
fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi
seiring dengan limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T.
Peningkatan sel B yang teraktivasi menyebabkan terjadinya
hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas self-antigen.
Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1
menurun (Silvia and Isenberg, 2001). Hal ini juga meningkatkan heat
shock protein 90 (hsp 90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan
terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan
terjadinya respon imun.
Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+
(supresor/sitotoksik) dan CD4+ (inducer/helper). SLE ditandai dengan
peningkatan sel B terutama berhubungan dengan subset CD4+ dan CD45R+.
CD4+ membantu menginduksi terjadinya supresi dengan menyediakan signal
bagi CD8+ (Isenberg and Horsfall, 1998). Berkurang jumlah total sel T
juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut sehingga signal yang
sampai ke CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T dalam
menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T ini yang
umum disebut double negative (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan
sekresi autoantibodi (Mok and Lau, 2003). Ciri khas autoantibodi ini
adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu jaringan tertentu dan
merupakan komponen integral dari semua jenis sel sehingga menyebabkan
inflamasi dan kerusakan organ secara luas (Albar, 2003) melalui 3
mekanisme yaitu pertama kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak
dalam membran jaringan dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan
kerusakan jaringan. Kedua, autoantibodi tersebut mengikat komponen
jaringan atau antigen yang terjebak di dalam jaringan, komplemen akan
teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme yang terakhir
adalah autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi
komplemen yang berperan dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke
dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan menyebabkan menurunnya
fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap kerusakan
jaringan (Epstein, 1998).
Gangguan sistem imun pada SLE dapat
berupa gangguan klirens kompleks imun, gangguan pemrosesan kompleks imun
dalam hati, dan penurunan up-take kompleks imun pada limpa (Albar,
2003). Gangguan klirens kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya CR1
dan juga fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena lemahnya
ikatan reseptor FcγRIIA dan FcγRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan
defisiensi komponen komplemen C1, C2, C4. Adanya gangguan tersebut
menyebabkan meningkatnya paparan antigen terhadap sistem imun dan
terjadinya deposisi kompleks imun (Mok dan Lau, 2003) pada berbagai
macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut.
Peristiwa
ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan mediator-mediator
inflamasi yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang
menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang
bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit,
dan sebagainya (Albar, 2003). Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa
UVB (yang dapat menginduksi apoptosis sel keratonosit) atau beberapa
obat (seperti klorpromazin yang menginduksi apoptosis sel limfoblas)
dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel yang dilakukan oleh makrofag.
Sel
dapat mengalami apoptosis melalui kondensasi dan fragmentasi inti serta
kontraksi sitoplasma. Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada
di dalam membran sel, pada saat apoptosis berada di bagian luar membran
sel.
Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP, TSP, SAP, dan
komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui
reseptor membran seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3,
4), reseptor αVβ3, CD36, CD14, lektin, dan mannose receptor (MR) yang
menghasilkan sitokin antiinflamasi. Sedangkan pada SLE yang
terjadi adalah ikatan dengan autoantibodi yang kemudian akan
berinteraksi dengan reseptor FcγR yang akan menghasilkan sitokin
proinflamasi.
Selain gangguan apoptosis yang dilakukan oleh
makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan apoptosis yang
disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2 (Bijl et al., 2001).
F. Tanda dan gejala
Manifestasi
klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa
lelah, malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan
(Hahn, 2005). Gejala muskuloskeletal berupa artritis, atralgia, dan
mialgia umumnya timbul mendahului gejala yang lain. Yang paling sering
terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut,
pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku, dan pergelangan kaki
(Delafuente, 2002).
Gejala di kulit dapat berupa timbulnya ruam
kulit yang khas dan banyak menolong dalam mengarahkan diagnosa SLE yaitu
ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly rash) berupa eritema yang
agak edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat,
kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena
sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena
hipersensitivitas (photohypersensitivity). Lesi cakram terjadi pada 10% –
20% pasien SLE. Gejala lain yang timbul adalah vaskulitis eritema
periungual, livido retikularis, alopesia, ulserasi, dan fenomena Raynaud
(Delafuente, 2002).
Gejala SLE pada jantung sering ditandai
adanya perikarditis, miokarditis, gangguan katup jantung (biasanya
aorta atau mitral) termasuk gejala endokarditis Libman-Sachs. Penyakit
jantung pada pasien umumnya dipengaruhi oleh banyak faktor seperti
hipertensi, kegemukan, dan hiperlipidemia. Terapi dengan kortikosteroid
dan adanya penyakit ginjal juga dapat meningkatkan resiko penyakit
jantung pada pasien SLE (Delafuente, 2002).
Gejala lain yang juga
sering timbul adalah gejala pada paru yang meliputi: pleuritis dan efusi
pleura. Pneumonitis lupus menyebabkan demam, sesak napas, dan batuk.
Gejala pada paru ini jarang terjadi namun mempunyai angka mortalitas
yang tinggi. Nyeri abdomen terjadi pada 25% kasus SLE. Gejala saluran
pencernaan (gastrointestinal) lain yang sering timbul adalah mual,
diare, dan dispepsia. Selain itu dapat pula terjadi vaskulitis,
perforasi usus, pankreatitis, dan hepatosplenomegali (Delafuente, 2002).
Gejala
SLE pada susunan saraf yaitu terjadinya neuropati perifer berupa
gangguan sensorik dan motorik yang umumnya bersifat sementara
(Albar,2003). Gejala lain yang juga timbul adalah disfungsi kognitif,
psikosis, depresi, kejang, dan stroke (Delafuente, 2002). Gejala
hematologik umumnya adalah anemia yang terjadi akibat inflamasi kronik
pada sebagian besar pasien saat lupusnya aktif. Pada pasien dengan uji
Coombs-nya positif dapat mengalami anemia hemolitik. Leukopenia
(biasanya limfopenia) sering ditemukan tetapi tidak memerlukan terapi
dan jarang kambuh. Trombositopenia ringan sering terjadi, sedangkan
trombositopenia berat disertai perdarahan dan purpura terjadi pada 5%
pasien dan harus diterapi dengan glukokortikoid dosis tinggi. Perbaikan
jangka pendek dapat dicapai dengan pemberian gamaglobulin intravena.
Bila hitung trombosit tidak dapat mencapai kadar yang memuaskan dalam 2
minggu, harus dipertimbangkan tindakan splenektomi (Delafuente, 2002).
Antikoagulan
lupus (AL) termasuk dalam golongan antibodi antifosfolipid.
Antikoagulan ini diketahui berdasarkan perpanjangan waktu tromboplastin
parsial (PTT) dan kegagalan penambahan plasma normal untuk memperbaiki
perpanjangan waktu tersebut. Antibodi terhadap kardiolipin (aCL)
dideteksi dengan pemeriksaan ELISA. Manifestasi klinis AL dan aCL
adalah trombositopenia, pembekuan darah pada vena atau arteri yang
berulang, keguguran berulang, dan penyakit katup jantung. Bila AL
disertai dengan hipoprotombinemia atau trombositopenia, maka
dapat terjadi perdarahan.Yang lebih jarang timbul adalah antibodi
terhadap faktor pembekuan (VIII, IX); adanya antibodi tersebut tidak
dapat menyebabkan pembekuan darah sehingga perdarahan terjadi
terus-menerus (Hahn, 2005).
Pada wanita dengan SLE yang mengalami
kehamilan maka dikhawatirkan akan mempercepat penyebaran penyakit selama
kehamilan dan pada periode awal setelah melahirkan. Selain itu juga
dapat terjadi aborsi secara spontan atau kelahiran prematur. Kemungkinan
terjadinya preeklamsia atau hipertensi yang disebabkan kehamilan juga
dapat memperparah penyakitnya (Delafuente, 2002).
Gejala klinik pada kerusakan ginjal dapat dilihat dari
tingginya serum kreatinin atau adanya proteinuria. Penyakit ginjal pada
pasien SLE sering disebut lupus nefritis. Menurut WHO, lupus nefritis
dapat dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan biopsi ginjalnya
yaitu kelas I (normal/minimal mesangial), kelas II (mesangial), kelas
III (focal proliferative), kelas IV (diffuse proliferative), dan kelas V
(membranous glomerulonephritis). Selama perjalanan penyakit pasien
dapat mengalami progesivitas dari satu kelas ke kelas yang lain. Pada
pasien dengan lupus nefritis terutama ras Afrika – Amerika dapat terjadi
peningkatan serum kreatinin, penurunan respon terhadap obat-obat
imunosupresan, hipertensi, dan s
G. Pengobatan
Tujuan dari
pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah
terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup
pasien, memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit,
menghindari penyebaran penyakit, serta memberikan edukasi kepada pasien
tentang manifestasi dan efek samping dari terapi obat yang diberikan.
Karena banyaknya variasi dalam manifestasi klinik setiap individu maka
pengobatan yang dilakukan juga sangat individual tergantung dari
manifestasi klinik yang muncul. Pengobatan SLE meliputi terapi
nonfarmakologi dan terapi farmakologi (Herfindal et al., 2000)
Terapi nonfarmakologi
Gejala
yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan
keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu
berlebihan. Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin
dalam tembakau diduga juga merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu
terjadinya SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita
SLE(Delafuente, 2002).
Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien
SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan
produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan
menurunkan kadar antibodi anti-DNA (Venkatraman et al., 1999).
Penggunaan sunblock (SPF 15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk
penderita SLE sangat disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV yang
terdapat pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah
(Delafuente, 2002).
Terapi farmakologi
Terapi farmakologi
untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi inflamasi.
Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya
pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.
NSAID
Merupakan
terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat dan
NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek antipiretik,
antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan menjadi
nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX
inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam
arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator
inflamasi termasuk interleukin, interferon, serta tumor necrosing factor
sedangkan COX-1 merupakan enzim yang berperan pada fungsi homeostasis
tubuh seperti produksi prostaglandin untuk melindungi lambung serta
keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa
lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal
(Katzung, 2002). Efek samping penggunaan NSAID adalah perdarahan
saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan, dan alergi
lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki
efektivitas seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi
lambung dan perdarahan menurun hingga 50% (Neal, 2002). Terapi pada SLE
didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap efek samping
yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada
pasien SLE dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi
NSAID.
Jika NSAID yang digunakan tidak efektif dan menimbulkan
efek samping maka dipilih NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2
minggu. Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan efikasi
tetapi malah meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak
direkomendasikan. Apabila terapi NSAID gagal maka dapat digunakan
imunosupresan seperti kortikosteroid atau antimalaria tergantung dari
manifestasi yang muncul (Herfindal et al., 2000).
Efek
antiinflamasi dan analgesik aspirin dapat digunakan untuk pengobatan
demam, artritis, pleuritis, dan perikarditis. Dosis yang digunakan
adalah 1,5 g sehari. Selain itu dosis rendah aspirin (60–80 mg sehari
selama kehamilan minggu ke-13–26) yang dikombinasikan dengan heparin
dapat digunakan pada pasien SLE yang mengalami kehamilan dengan sindrom
antifosfolipid antibodi melalui hambatan pembentukan tromboksan-A2
Pemberian aspirin dapat dilakukan bersama dengan makanan, air dalam
jumlah besar, atau susu untuk mengurangi efek samping pada saluran
cerna.
Aspirin diabsorpsi di dalam saluran cerna sebesar 80-100%
dari dosis oral. Di dalam tubuh, aspirin mengalami hidrolisis menjadi
metabolitnya yaitu salisilat. Obat ini didistribusikan secara cepat dan
luas ke dalam jaringan dan cairan tubuh dan mempunyai ikatan yang lemah
dengan protein plasma. t1/2 aspirin 15 – 20 menit. Apirin diekskresi di
dalam urin dalam bentuk metabolit salisilat, hanya 1% dari dosis oral
yang diekskresikan sebagai aspirin tidak terhidrolisis melalui urin
(McEvoy,2002).
Obat-obat lain yang digunakan pada terapi penyakit
SLE antara lain adalah azatioprin, intravena gamma globulin,
monoklonal antibodi, terapi hormon, mikofenolat mofetil dan pemberian
antiinfeksi :
1) Azatioprin
Penggunaan azatioprin pada
pengobatan pasien SLE ditujukan apabila pasien mengalami intoleran
siklofosfamid. Dosis yang digunakan pada pasien SLE 2 – 3 mg/kg BB per
hari. Mekanisme kerja azatioprin meliputi menurunkan limfosit sel B dan
sel T dalam sirkulasi, sintesis IgM dan IgG, sekresi IL-2, serta
gangguan ribonukleotida adenin dan guanin melalui supresi sintesis asam
inosinat (Clements and Furst, 1994). Pada penggunaannya dapat
dikombinasikan dengan steroid (Rahman, 2001).
Apabila penyakitnya
sudah terkontrol maka dilakukan tapering steroid sampai dosis serendah
mungkin setelah itu baru dilakukan tapering azatioprin. Pasien dengan
terapi azatioprin harus dimonitor toksisitas limforetikuler atau
hemopoitik setiap 2 minggu pada 3 bulan pertama terapi sambil dilakukan
penyesuaian dosis. Selain itu juga dilakukan monitoring fungsi hati
setiap 6 bulan (Herfindal et al., 2000). Azatioprin diserap baik di
saluran cerna dan dimetabolisme menjadi merkaptopurin. Efek
imunosupresan dari azatioprin muncul dalam beberapa hari sampai beberapa
minggu dan masih berlanjut ketika obat sudah dihentikan. Tidak ada
hubungan antara konsentrasi dalam serum dengan efetivitas atau
toksisitasnya. Merkaptopurin dan sejumlah kecil obat dalam bentuk utuh
diekskresikan melalui urin. t1/2 azatioprin 9,6 ± 4,2 menit, sedangkan
merkaptopurin 0,9 ± 0,37 jam (Katzung, B.G., 2006).
Azatioprin
mempunyai efek samping pada saluran cerna dan supresi sumsum tulang.
Apabila supresi sumsum tulang sudah muncul maka pengobatan dihentikan
atau dosisnya dikurangi. Blood count harus dimonitor secara rutin. Pada
pemakaian kronik dapat meningkatkan resiko hematopoitik dan kanker
limforetikuler. Efek samping lain yaitu infeksi herpes zoster,
kemandulan, hepatotoksik (Herfindal et al., 2000).
2) Metotreksat
Merupakan
analog asam folat yang dapat mengikat dehidrofolat reduktase, memblok
pembentukan DNA, dan menghambat sintesis purin. Pada terapi SLE,
digunakan dosis 7,5 – 15 mg secara oral satu kali seminggu (Herfindal et
al., 2000). Pada pemakaian oral absorpsi obat bervariasi dan tergantung
dosis tetapi rata-rata 30%. Obat ini didistribusikan secara luas ke
dalam jaringan melalui mekanisme transpor aktif dengan konsentrasi
terbesar berada dalam ginjal, limpa, hati, kulit, dan saluran
kemih. Lebih dari 90% dari dosis oral diekskresikan melalui ginjal
dengan mekanisme transpor aktif dan filtrasi glomerolus dalam waktu 24
jam. t1/2 metotreksat pada terapi dosis rendah (kurang dari 30 mg/m2)
adalah 3-10 jam sedangkan pada terapi dosis tinggi 8-15 jam (McEvoy,
2002). Efek samping metotreksat meliputi defisiensi asam folat, gangguan
gastrointestinal dengan stomatitis atau dispepsia, teratogenik (Brooks,
1995).
3) Intravena gamma globulin
Intravena gamma globulin
digunakan purpura trombositopenia idiopatik, sindroma Gillae-Barre,
miastenia gravis, sindroma Kawasaki, dan penyakit autoimun lain.
Mekanisme kerja gamma globulin sangat kompleks meliputi perubahan
ekspresi dan fungsi reseptor Fc, menganggu aktivasi komplemen dan
sitokin, menyediakan antibodi antiidiopatik, dan mempengaruhi aktivasi,
diferensiasi, dan fungsi efektor dari sel T dan sel B.
Komponen-komponen dalam intravena gamma globulin yaitu molekul IgG yang
utuh, IgA, CD4, CD8, molekul HLA, dan sitokin (Kazatchkine and Kaveri,
2001). Dosis yang digunakan 1-2 g/kg BB (Katzung, 2006). Intravena gamma
globulin mempunyai t1/2 21-29 hari (McEvoy, 2002). Efek samping
intravena imunoglobulin adalah mual, muntah, mialgia, letih, sakit
kepala, urtikaria, hipertensi, dll. (McEvoy, 2002).
4) Terapi hormone
Dehidroepiandrosteron
(DHEA) merupakan hormon pada pria yang diproduksi pada saat masih
fetus dan berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini kembali aktif
diproduksi pada usia 7 tahun, mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan
menurun seiring bertambahnya usia. Pasien SLE mempunyai kadar DHEA yang
rendah. Pemberian hormon ini memberikan respon pada penyakit yang ringan
saja dan mempunyai efek samping jerawat dan pertumbuhan rambut
(Isenberg and Horsfall, 1998). Secara in vitro, DHEA mempunyai mekanisme
menekan pelepasan IL-1, IL-6, dan TNF-α serta meningkatkan sekresi IL-2
yang dapat digunakan untuk mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun
demikian mekanisme secara in vivo belum diketahui (FDA Arthritis
Advisory Comittee, 2001).
5) Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus
Pemberian
imunosupresan dapat menurunkan sistem imun sehingga dapat menyebabkan
tubuh mudah terserang infeksi. Infeksi yang umum menyerang adalah virus
herpes zoster, Salmonella, dan Candida (Isenberg and Horsfall, 1998).
Untuk herpes zoster dapat diatasi dengan pemberian antivirus asiklovir
atau vidarabin secara oral 800 mg lima kali sehari selama 5 – 7 hari.
Salmonella dapat diterapi dengan antibiotik golongan kuinolon,
ampisilin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol (Katzung, 2002). Sedangkan
golongan penisilin dan sefalosporin tidak digunakan karena menyebabkan
rash yang sensitif sehingga dapat memperparah rash SLE (Isenberg and
Horsfall, 1998). Adanya infeksi dari Candida dapat diatasi dengan
pemberian amfoterisin B, flukonazol, dan itrakonazol (Katzung, 2002).
6) Mikofenolat mofetil
Efektif
pada lupus nefritis terutama pada pasien yang tidak menunjukkan respon
dan intoleran terhadap siklofosfamid. Mikofenolat mofetil mempunyai
mekanisme kerja antara lain menekan secara selektif proliferasi
limfosit T dan B, pembentukan antibodi, menghambat sintesis purin dan
deplesi monosit dan limfosit (Chan et al., 2000). Selain itu mikofenolat
mofetil merupakan selektif, reversibel, dan inhibitor nonkompetitif
dari enzim inosine monophosphate dehydrogenase (IMPDH) yaitu enzim yang
berperan dalam sintesis de novo nukleotida guanosin dari limfosit sel B
dan T (Sanquer, et al., 1999).
Toksisitas dari mikofenolat
mofetil meliputi gangguan saluran cerna (mual dan muntah, diare, dan
nyeri abdomen) dan supresi myeloid (terutama neutropenia) (Katzung,
2002) tetapi efek samping yang dimiliki tetap lebih rendah daripada
siklofosfamid serta tidak mempunyai efek mutagenik (Chan et al., 2000).
Dosis yang diberikan dua kali sehari sebesar 1 g dan setelah 12 bulan
pemakaian dihentikan, diganti dengan azatioprin (Rahman, 2001)
0 comments:
Post a Comment