A. KOMPLIKASI/ PENYULIT PERSALINAN KALA I
Definisi distosia
Yang dimaksud dengan distosia adalah persalinan yang sulit yang ditandai adanya hambatan kemajuan dalam persalinan. Persalinan yang normal (Eutocia) ialah persalinan dengan presentasi belakang kepala yang berlangsung spontan dalam 18 jam.
Distosia adalah kelambatan atau kesulitan persalinan. Dapat disebabkan kelainan tenaga, kelainan letak, dan bentuk janin, serta kelainan jalan lahir
Mekanisme distosia
Pada akhir kehamilan, agar dapat melewati jalan lahir kepala harus dapat mengatasi tebalnya segmen bawah rahim dan servik yang masih belum mengalami dilatasi. Perkembangan otot uterus di daerah fundus uteri dan daya dorong terhadap bagian terendah janin adalah faktor yang mempengaruhi kemajuan persalinan kala I.
Setelah dilatasi servik lengkap, hubungan mekanis antara ukuran dan posisi kepala janin serta kapasitas panggul (fetopelvic proportion) dikatakan baik bila sudah terjadi desensus janin.
Gangguan fungsi otot uterus dapat disebabkan oleh regangan uterus berlebihan dan atau partus macet [obstructed labor]. Dengan demikian maka persalinan yang tidak berlangsung secara efektif adalah merupakan tanda akan adanya fetopelvic disproportion.
Membedakan gangguan persalinan menjadi disfungsi uterus dan fetopelvic disproportion secara tegas adalah tindakan yang tidak tepat oleh karena kedua hal tersebut sebenarnya memiliki hubungan yang erat.
Kondisi tulang panggul bukan satu-satunya penentu keberhasilan berlangsungnya proses persalinan pervaginam. Bila tidak ada data objektif untuk mendukung adanya disfungsi uterus dan FPD, harus dilakukan TRIAL of LABOR untuk menentukan apakah persalinan pervaginam dapat berhasil pada sebuah persalinan yang diperkirakan akan berlangsung tidak efektif.
1. DISTOSIA POWER
a. Pengertian
Yang dimaksud dengan distosia power adalah tenaga persalinan/his yang tidak normal, baik kekuatan maupun sifatnya, sehingga menghambat kelancaran persalinan.
Kelainan tenaga (kelainan his). His yang tidak normal dalam kekuatan atau sifatnya menyebabkan bahwa rintangan pada jalan lahir yang lazim terdapat pada setiap persalinan, tidak dapat di atasi, sehingga persalinan mengali hambatan atau kemacetan.
Kelainan his dapat berupa inersia uteri hipotonik atau inersia uteri hipertonik.
Distosia adalah kesulitan dalam jalannya persalinan. Distosia karena kelainan tenaga (his)yang tidak normal, baik kekuatan maupun sifatnya, sehingga menghambat kelancranpersalinan.
b. Etiologi
Kelainan his sering dijumpai pada primigravida tua sedangkan inersia uteriseringdijumpai pada multigravida dan grandemulti. Faktor herediter mungkin memegang pulaperanan dalam kelainan his dan juga factor emosi (ketakutan) mempengaruhi kelainanhis. Salah satu sebab yang penting dalam kelainan his inersia uteri, ialah apabila bahwajanin tidak berhubungan rampat dengan segmen bawah rahim ini dijumpai padakesalahan-kesalahan letak janin dan disproporsi sefalopelvik. Salah pimpinan persalinanatau salah pemberian obat-obatan seperti oksitosin dan obat penenang. Kelainan padauterus misalnya uterus birkornis unikolis dapat pula mengakibatkan kelainan his.
1) Inersia uteri hipotonik
Adalah kelainan his dengan kekuatan yang lemah / tidak adekuat untuk melakukan pembukaan serviks atau mendorong anak keluar. Di sini kekuatan his lemah dan frekuensinya jarang. Sering dijumpai pada penderita dengan keadaan umum kurang baik seperti anemia, uterus yang terlalu teregang misalnya akibat hidramnion atau kehamilan kembar atau makrosomia, grandemultipara atau primipara, serta pada penderita dengan keadaan emosi kurang baik.
Dapat terjadi pada kala pembukaan serviks, fase laten atau fase aktif, maupun pada kala pengeluaran.
Inertia uteri hipotonik terbagi dua, yaitu :
1) Inersia uteri primer
Terjadi pada permulaan fase laten. Sejak awal telah terjadi his yang tidak adekuat ( kelemahan his yang timbul sejak dari permulaan persalinan ), sehingga sering sulit untuk memastikan apakah penderita telah memasuki keadaan inpartu atau belum.
2) Inersia uteri sekunder
Terjadi pada fase aktif kala I atau kala II. Permulaan his baik, kemudian pada keadaan selanjutnya terdapat gangguan / kelainan.
Penanganan :
a) Keadaan umum penderita harus diperbaiki. Gizi selama kehamilan harus diperhatikan.
b) Penderita dipersiapkan menghadapi persalinan, dan dijelaskan tentang kemungkinan-kemungkinan yang ada.
c) Teliti keadaan serviks, presentasi dan posisi, penurunan kepala / bokong bila sudah masuk PAP pasien disuruh jalan,
d) bila his timbul adekuat dapat dilakukan persalinan spontan, tetapi bila tidak berhasil maka akan dilakukan sectio cesaria.
2) Inersia uteri hipertonik
Adalah kelainan his dengan kekuatan cukup besar (kadang sampai melebihi normal) namun tidak ada koordinasi kontraksi dari bagian atas, tengah dan bawah uterus, sehingga tidak efisien untuk membuka serviks dan mendorong bayi keluar. Disebut juga sebagai incoordinate uterine action. Contoh misalnya “tetania uteri” karena obat uterotonika yang berlebihan. Pasien merasa kesakitan karena his yang kuat dan berlangsung hampir terus-menerus. Pada janin dapat terjadi hipoksia janin karena gangguan sirkulasi uteroplasenter. Faktor yang dapat menyebabkan kelainan ini antara lain adalah rangsangan pada uterus, misalnya pemberian oksitosin yang berlebihan, ketuban pecah lama dengan disertai infeksi, dan sebagainya.
Penanganan
Dilakukan pengobatan simtomatis untuk mengurangi tonus otot, nyeri, mengurangi ketakutan. Denyut jantung janin harus terus dievaluasi. Bila dengan cara tersebut tidak berhasil, persalinan harus diakhiri dengan sectio cesarea.
2. DISTOSIA PASSAGE (Distosia kelainan jalan lahir)
Gangguan persalinan akibat passage ini, biasanya berkaitan dengan kelainan panggul wanita. Bentuk dan ukuran panggul sangat menentukan kelancaran persalinan. Karena proses persalinan merupakan suatu proses mekanik, dimana janin didorong melalui jalan lahir oleh his. Tetapi, kesalahan tidak selalu terletak pada ukuran panggul, karena pada panggul normal pun bisa saja terjadi gangguan persalinan. Misalnya, panggul normal tersebut bisa saja dinilai sempit jika diperimbangkan dengan janinnya. Pada kasus janin yang terlalu besar, sehingga tidak muat. Dengan demikian bisa terjadi sebaliknya, kendati panggulnya sempit, jika janinnya kecil maka tak ada masalah gangguan jalan lahir.
Distosia karena kelainan jalan lahir dapat disebabkan adanya kelainan pada jaringan keras / tulang panggul, atau kelainan pada jaringan lunak panggul.
a) Distosia karena kelainan panggul/bagian keras
1) Pengertian
Distosia karena kelainan panggul adalah persalinan yang sulit yang disebabkan oleh adanya kelainan dari bentuk panggul atau ukuran panggul.
2) Patofisiologi
Menurut Caldwell dan Moloy bentuk panggul di bagi dalam empat jenis pokok. Jenis – jenis panggul ini dengan ciri – ciri pentingnya ialah
• Panggul Ginekoid
Ciri pentingnya pintu panggul yang bundar, atau dengan diameter transversa yang lebih panjang sedikit daripada diameter anteroposterior dan dengan panggul tegah serta pintu bawah panggul yang cukup luas.
• Panggul Antropoid
Ciri pentingnya diameter anteroposterior yang lebih panjang daripada diameter transversa dan dengan arkus pubis menyempit sedikit.
• Panggul Android
Ciri pentingnya pintu atas panggul yang berbentuk sebagai segitiga berhubungan dengan penyempitan kedepan dengan spina iskiadika menonjol kedalam dan dengan arkus pubis menyempit.
• Panggul Platipelloid
Ciri pentingnya dengan diameter anteroposterior yang lebih jelas lebih pendek daripada diameter transversa pada pintu atas panggul dan dengan arkus pubis yang luas.
Bentuk panggul dipengaruhi oleh banyak factor terutama ras dan social ekonomi, frekuensi, dan ukuran – ukuran jenis – jenis panggul yang berbeda diantara berbagai bangsa. Dengan demikian standar panggul normal pada seorang wanita Eropa berbeda dengan standar seorang wanita Asia Tenggara.
Pada panggul dengan ukuran normal, apapun pokoknya, kelahiranpervaginam janin dengan berat badan yang normal tidak akan mengalami kesukaran. Akan tetapi karena pengaruh gizi , lingkungan atau hal – hal lain, ukuran – ukuran panggul dapat lebih kecil daripada standar normal, sehingga bisa terjadi kesulitan dalam persalinan pervaginam terutama kelainan pada panggul android dapat menimbulkan distosia yang sukar diatasi.
Selain dari ukuran – ukuran empat jenis panggul diatas yang kurang dari normal, terdapat pula penyebab panggul sempit yang lain, yang umumnya juga disertai perubahan dalam bentuknya.
Menurut Munro Kery perubahan panggul itu digolongkan sebagai berikut
a) Perubahan Bentuk Karena Kelainan Pertumbuhan Uterin
• Naegele ; hanya punya sebuah sayap pada sacrum, sehingga pnggul tumbuh sebagai panggul miring.
• Panggul Robert ; kedua sayap sacrum tidak ada , sehingga sempit dalam ukuran melintang.
• Spit Pelvis ; penyatuan tulang – tulang panggul pada simfisis tidak terjadi sehingga panggul terbuka didepan.
• Panggul Asimilasi ; sacrum terdiri atas 6 os vertebrata ( asimilasi tinggi ) atau 4 os vertebrata (asimilasi rendah ). Ini bisa menimbulkan kesukaran dalam turunnya kepala kedalam rongga panggul.
b) Perubahan bentuk karena penyakit pada tulang – tulang panggul dan/atau sendi panggul :
• Rakitis : Ciri pokok panggul karena rakitis adalah mengecilnya dimeter anteroposterior pada pintu atas panggul.
• Osteomalasis : penyakit karena gangguan gizi dan kekurangan sinar matahari, bentuk panggul bisa menjadi sempit ( rongganya ), ini jarang terjadi.
c) perubahan bentuk karena penyakit tulang belakang
• Kifosis ; timbul panggul corong ( tunnel pelvis ) dengan pintu atas panggul yang luas dan bidang lain menyempit.
• Skoliosis ; panggul jadi miring.
• Spondilolistesis
d) Perubahan bentuk karena penyakit kaki
Koksitis, Luksasio Koksa, Atofi atau kelumpuhan satu kaki : beban kaki tidak sempurna sehingga jadi miring.
3) Pengaruh Kesempitan Panggul Terhadap Mekanisme Persalinan
Kesempitan panggul bukan factor satu – satunya yang menentukan apakah persalinan normal bisa lancer. Semuanya itu tergantung dari dimana kesempitan itu terjadi. Berikut mekanisme persalinan sesuai dengn tingkat kesempitan :
• Kesempitan pada pintu atas panggul
Pintu atas panggul dianggap sempit apabila konjugatavera kurang dari 10 cm atau diameter transversal kurang dari 12 cm.
Seperti kita ketahui bahwa pada pintu atas panggul ditentukan tiga ukuranpenting yaitu ukuran muka belakang ( konjugata vera = 11 cm ). Ukuran lintang yaitu jarak kedua linea terminalis ( dimeter transversa = 12,5 cm ). Ukuran oblique ( jarak antara artikulasio sacroiliaca menuju tuberkulum pubikum yang bertentangan dan tidak bisa diukur ).
Pada proses persalinan karena panggul sempit, kepala tertahan oleh pintu atas panggul sehingga servik kurang mengalami tekanan kepala. Ini bisa menimbulkan inersia uteri serta lambannya pedataran dan pembukaan serviks. Apabila pada panggul sempit pintu atas panggul tidak tertutup dengan sempurna oleh kepala janin, ketuban bis pecah pada pembukaan kecil dan bahaya Prolapsus Funikuli. Pada panggul picak turunnya belakang kepala bisa tertahan sehingga bisa terjadi defleksi kepala. Ini merupakan penyebab presentasi kepala. Moulase kepala yang berlebihan akan menimbulkan cedera intra cranial.
• Kesempitan panggul tengah
Dengan sacrum melengkung sempurna, dinding – dinding panggul tidak berkonvergensi, foramen iskiadikum mayor cukup luas, dan spina iskhiadika tidak menonjol kedalam, dapat diharapkan bahwa panggul tengah tidak akan menyebabkan rintangan bagi lewatnya kepala janin. Ukuran terpenting yang hanya dapat ditetapkan secara pasti dengan pelvimetri rontgenologik ialah distantia interspinarum, Apabila kurang dari 9,5 cm kemungkinan sukar. Pada panggul tengah yang sempit, sering ditemukan posisi oksipitalis posterior atau presentasi kepala dalam posisi lintang tetap.
• Kesempitan pintu bawah panggul
Kesempitan pintu bawah panggul biasanya diartikan sebagai keadaan dimana distantia tuberum 8 cm atau lebih kecil. Agar bayi dapat lahir diperlukan ruangan yang lebih besar pada bagian belakang pintu bawah panggul. Dengan diameter sagitalis posterior cukup panjang persalinan pervaginam bisa terjadi dengan pembukaan. Bila ukuran kurang dari 15 cm bisa timbul kemacetan bila bayi normal.
• Kesempitan panggul umum
Karena kesempitan panggul melibatkan semua bagian dari rongga panggul, persalinan tidak cepat selesai setelah kepala janin melewati pintu atas panggul. Pemanjangan persalinan ini bukan hanya terjadi karena tekanan oleh panggul tapi karena banyak kedaan yang abnormal dari panggul.
4) Diagnosa
a) Pemeriksaan umum
Anamnesis tentang riwayat hidup penyakit sangat menentukn diagnosis misalnya adanya tuberculosis pada kolumna vertebra, luksasiokoksa kongenitalis dan poliomyelitis.
Pada wanita yang pendek kemungkinan panggul lebih kecil perlu dipikirkan , tetapi tidak semua wanita pendek anggulnya sempit.
Anamnesis riwayat persalinan juga dapat memberi petunjuk apabila persalinan terdahulu normal dengan berat badan bayi normal maka kecil kemungkinan wanita tersebut menderita kesempitan panggul yang berarti.
b) Pengukuran panggul ( pelvimetri ) merupakan cara pemeriksaan yang penting
Pelvimetri luar tidak banyak artinya, kecuali untuk pengukuran pintu bawah panggul dan panggul miring. Pelvimetri dalam dengan tangan artinya sangat penting untuk menilai secara agak kasar pintu atas panggul serta panggul tengah, dan gambaran yang jelas pada pintu bawah panggul.
Pelvimetri roentgenologik diperoleh gambaran jelas tentang bentuk panggul dan angka – angka mengenai ukuran ketiga bidang panggul. Pemeriksaan ini mengandung resiko terutama pada janinnya. Oleh karena itu pemeriksaan hanya berdasarkan indikasi.
c) Pemeriksaan ukuran kepala janin
Besarnya ukuran kepala janin dalam perbandingan dengan luasnya panggul menentukan apakah ada disproporsi sefalopelvik atau tidak. Diameter biparietalis dapat diukur dengan USG atau roentgen.
5) Prognosis
a) Bahaya pada ibu
• Partus lama disertai dengan pecahnya ketuban pada pembukaan kecil dapat menimbulkn dehidrasi serta asidosis.
• Dengan his kuat, sedang kemajuan janin tertahan, timbul regangan segmen bawah rahim dan lingkaran Bandl bisa timbul rupture uteri.
• Dengan persalinan tidak maju karena CPD, jalan lahir pada suatu tempat mengalami tekanan lama. Timbul gangguan sirkulasi sampai terjadi iskemia dan kemudian nekrosis. Setelah pest parum timbul; fistula vesikoservikalis atau fistula vesikovaginalis dan fistula rektovaginalis.
b) Bahaya pada janin
• Partus lama bisa menimbulkan kematian pevinatal
• Prolalpsu Funikulli
• Moulage yang berlebihan bisa terjadi sobekan pada tentorium merebeili dan perdarahan intracranial.
• Tekanan oleh promontorium/simfisis pada panggul picak menyebabkan permukaan pada jaringan di atas tulang kepala janin sampai fraktur os parietalis.
6) Penanganan
Tindakan yang sudah lama ditinggalkan karena membahayakan janin yaitu cunam tinggi dengan ekstraksi foreeps dan induksi persalinan.
Tindakan yang masih digunakan dan sering yaitu seksiop sesrea dan parius
percobaan. Kadang – kadang ada indikasi untuk simfisiotomia dan raniotomia, tetapi simfisiotomia jarang dilakukan di Indonesia, sedangkan kraniotomia hanya pada janin mati.
a) Seksio sesare
Dapat dilakukan elektif atau primer yakni sebelum persalinan mulai atau pada awal pesalinan berlangsung selama beberapa waktu. Seksio elektif dilakukan pada kehamilan cukup bulan dengan disproporsi sefalopelvik yang nyata atau pada yang ringan tapi dengan factor komplikasi seperti primigravida tua, kelainan letak, penyakit jantung dan lain – lain.
Sedangkan seksio sekunder dilakukan apabila percobaan persalinan dianggap gagal atau harus segera dilakukan persalinan sedang pervaginam idak mungkin.
b) Persalinan percobaan
Dilakukan bila pemeriksaan menunjukkan ada kemungkinan bisa pervaginam dengan syarat kehamilan tidak lebih dari 42 minngu. Yang perlu diperhatikan pada persalinan ini adalah :
Pengawasan yang sama pada ibu dan janin. Cegah dehidrasi dan asidesis pada ibu, berikut makanan dan cukup istirahat.
Pengawasan turunnya kepala janin ketuban dan adanya moulage
c) Simfisiotemi
Simfisiotemi adalah tindakan untuk memisahkan tulang panggul kiri dari tulang panggul kanan pada simfisis supaya rongga panggul menjadi lebih luas. Hal ini jarang dilakukan satu – satunya indikasi adalah apabila janin masih hidup terdapat infeksi intra partum, sehingga seksio dianggap berbahaya
d) Kraniotomi
Pada persalinan yang dibiarkan berlarut –larut dan dengan janin dudah meninggal, sebaiknya persalinan diselesaikan dengan kraniotomi dan kranioklasi. Tetapi apabila panggulnya sempit harus dilakukan seksio sesaria.
b) Kelainan jalan lahir lunak
Adalah kelainan serviks uteri, vagina, selaput dara dan keadaan lain pada jalan lahir yang menghalangi lancarnya persalinan.
1) Distosia Servisis
Adalah terhalangnya kemajuan persalinan disebabkan kelainan pada servik uteri. Walaupun harus normal dan baik, kadang – kadang permukaan servik menjadi macet karena ada kelainan yang menyebabkan servik tidak mau membuka.
Ada 4 jenis kelainan pada servik uteri :
• Servik kaku (rigid cervix)
Adalah suatu keadaan dimana seluruh serviks kaku. Keadaan ini sering dijumpai pada primigravida tua, atau karena adanya parut-parut bekas luka atau bekas luka infeksi atau pada karsinoma serviksis
kejang atau kaku serviks dibagi 2 :
a. Primer
karena takut atau pada primi gravida tua
b. Sekunder
karena bekas luka-luka tau infeksi yang sembuh dan meninggalkan luka parut
Diagnosis
Diagnosis distosia persalinan karena serviks kaku dibuat bila terdapat his yang baik dan normal pada kala I disetai pembukaan, dan setelah dilakukan beberapa kali pemeriksaan dalam waktu tertentu. Juga pada pemeriksaan terasa serviks tegang dan kaku.
Penanganan:
Bila setelah pemberian obat-obatan seperti valium dan petidin tidak merubah kekauan, tindakan kita melakukan seksio sesaria
• Servik gantung (hanging cervix)
Adalah suatu keadaan dimana ostium uteri eksternum dapat terbuka lebar, sedangkan ostium uteri internum tidak mau membuka. Serviks akan tergantung seperti corong. Bila dalam observasi keadaan tetap dan tidak ada kemajuan berkembang pembukaan ostium eksternum, maka pertolongan yang tepat adalah dengan seksio sesaria.
• Servik konglumer (conglumer cervix)
Adalah suatu keadaan dimana ostium uteri internum dapat terbuka sampai lengkap, sedangkan ostium uteri eksternum tidak mau terbuka.
Keadaan ini sering dijumpai pada ibu hamil dengan prolaps uteri disertai servik dan porposi yang panjang (elongation services at portionis). Dalam hal ini servik menjadi tipis, namun ostium uteri eksternum tidak membuka atau hanya terbuka 5 cm.
Penanganan
Penanganan tergantung pada keadaan turunnya kepala janin:
a. Coba lebarkan pembukaan ostium uteri eksternum secara digital atau memakai dilatator
b. Bila hal-hal diatas tidak berhasil atau tidak mungkin sebaiknya dilakukan seksio sesarea.
• Edema servik
Bila dijumpai edema yang hebat pada serviks dan disertai hematoma serta nekrosis, maka ini merupakan tanda adanya obstruksi. Bila syarat-syarat untuk ekstraksi vakum atau forsep tidak dipenuhi, lakukan seksio sesaria
c. Distosia Karena Kelainan Vulva dan Vagina
1) Atresia vulva
Atresia vulva (tertutupnya vulva) ada yang bawaan dan ada yang diperoleh misalnya karena radang atau trauma. Atresia yang sempurna menyebabkan kemandulan dan yang menyebabkan distosia hanya atresia yang inkomplit.
2) Edema vulva
Edema bisa timbul pada waktu kehamilan. Biasanya sebagai gejala pre-eklamsi akan tetapi dapat pula timbul karena sebab lain misalnya gangguan gizi atau malnutrisi atau pada persalinan yang lama. Edema dapat juga terjadi pada persalinan dengan dispoporsi sefalopelvik atau wanita mengejan terlampau lama (terus menerus), sedangkan kepala belum cukup turun. Hal itu mempersulit pemeriksaan dalam dan menghambat kemajuan persalinan yang akhirnya dapat menimbulakn kerusakan luas pada jalan lahir. Kelainan ini umumnya jarang merupakan rintangan bagi kelahiran pervaginam.
3) Stenosis vulva
Stenosis pada vulva biasanya terjadi sebagai akibat perlukaan dan radang, yang menyebabkan ulkus-ulkus dan yang sembuh dengan parut-parut dapat menimbulkan kesulitan, walaupun umumnya dapat diatasi dengan melakukan episiotomi yang cukup luas agar persalinan berjalan lancar. Penanganannya dengan melakukan sayatan median secukupnya untuk melahirkan kepala janin
4) Tumor vulva
Dapat berupa abses bartholini atau kista atau suatu kondilomata, tetapi apabila tidak terlalu besar tidak akan menghalangi persalinan.
Kista kelenjar bartholin
Kista kelenjar bartholin merupakan bentuk radang menahun kelenjar bartholin. Abses kelenjar bartholin diserap isinya, sehingga tinggal kantung yang mengandung cairan yang disebut kista bartholin. Pengobatan kista bartholin adalah dengan mengangkat seluruh kista dan marsivialisasi. Operasi ini memerlukan keahlian sehingga perlu dilakukan di rumah sakit. Bidan dilapangan yang menemukan kista bartholin perlu merujuk ke rumah sakit sehingga mendapat pengobatan sebagaimana mestinya.
5) Stenosis vagina kongenital
Stenosis vagina kogenital jarang terjadi. Lebih sering ditemukan septum vagina yang memisahkan vagina secara lengkap atau tidak lengkap dalam bagian kiri dan bagian kanan. Septum lengkap adalah septum yang terbentang dalam seluruh vagina dari serviks sampai introitus vagina. Septum yang lengkap sangat jarang mengalami distosia, karena separuh vagina yang harus dilewati oleh janin biasanya cukup melebar baik untuk coitus maupun untuk lahirnya janin. Akan tetapi septum yang tidak lengkap kadang- kadang menghambat turunnya kepala janin pada persalinan dan harus dipotong terlebih dahulu. Stenosis dapat terjadi karena parut-parut akibat perlukaan dan radang. Pada stenosis vagina yang tetap kaku dalam kehamilan dan merupakan halangan untuk lahirnya janin, perlu dipertimbangkan seksio sesaria.
6) Kista vagina
Kista vagina berasal dari duktus Gartner atau duktus Muller, biasanya berukuran kecil dan dapat menjadi besar sehingga bukan saja mengganggu coitus namun bisa juga menyulitkan persalinan. Letaknya lateral dalam vagina bagian proksimal, ditengah, distal dibawah orificium uretra eksternum. Isi kista adalah cairan jernih dan dindingnya ada yang sangat tipis ada pula yang agak tebal. Wanita tidak mengalami kesulitan waktu coitus dan persalinan, karena jarang sekali kista ini demikian besarnya sehingga menghambat turunnya kepala dan perlu di punksi, atau pecah akibat tekanan kepala. Bila kecil dan tidak ada keluhan dibiarkan tapi bila besar dilakukan pembedahan. Marsupialisasi sebaiknya 3 bulan setelah lahir.(Ilmu kebidanan, 2005)
Penanganan dalam kehamilan muda adalah di ekstirpasi setelah kehamilan 3-4 bulan. Dalam persalinan yaitu jika kista berukuran kecil maka tidak akan menghalangi turunya kepala dan tidak mengganggu persalinan. Setelah 3 bulan pasca persalinan dilakukan ekstirpasi tumor. Bila besar dan menghalangi turunnya kepala, untuk mengecilkannya dilakukan aspirasi cairan tumor. (Sinopsis Obstetri Jilid 1,1998)
Adakalanya pada kista terjadi peradangan, bahkan dapat pula terjadi abses. Biasanya abses akan pecah spontan bila ukuranya sudah besar. Apabila tidak, maka perlu dilakukan insisi. Terapi kista vagina pada umumnya tergantung pada besarnya, tempatnya dan saat ditemukannya. Kista kecil yang tidak melebihi buah duku biasanya tidak diketahui oleh penderita dan tidak perlu penanganan. Akan tetapi, kista yang besar dan disadari oleh wanita atau apabila disertai keluhan sebaiknya diangkat. Saat yang paling baik untuk pembedahan adalah diluar kehamilan. Dalam kehamilan tua atau apabila kista baru pertama kali diketahui sewaktu wanita dalam persalinan sikap konservatif lebih baik.
7) Tumor vagina
Tumor vagina dapat merupakan rintangan bagi lahirnya janin pervaginam. Berupa kista gardner yang kalau besar dapat menghalangi jalannya persalinan. Adanya tumor vagina bisa pula menyebabkan persalinan pervaginam dianggap mengandung terlalu banyak resiko. Tergantung dari jenis dan besarnya tumor, perlu dipertimbangkan apakah persalinan dapat berlangsung pervaginam atau harus diselesaikan dengan seksio cesarea.
d. Karena Kelainan Uterus
1) Kelainan bawaan uterus
a) Uterus didelfis atau uterus dupleks separatus terjadi apabila kedua saluran muller berkembang sendiri- sendiri tanpa penyatuan sedikitpun, sehingga terdapat 2 korpus uteri, 2 serviks dan 2 vagina.
b) Uterus subseptus terdiri atas 1 korpus uteri dengna septum tidak lengkap, 1 serviks dan 1 vagina ; kavum uteri kanan dan kiri terpisah secra tidak lengkap. Pada uterus bikornis unikollis pemisahan korpus uteri sebelah kanan dan sebelah kiri lebih jelas lagi; serviks uteri tetap menjadi satu.
c) Uterus arkuatus hanya mempunyai cekungan di fundus uteri. Kelainan ini paling ringan sifatnya dan paling sering dijumpai.
d) Uterus bikornis unilateral rudimentarus terdiri atas 1 uterus dan disampingnya terdapat tanduk lain yang sangat terbelakang perkembangnnya.
e) Uterus unikornis terdiri atas 1 uterus dan 1 serviks yang berkembang dari 1 saluran Muller, kanan atau kiri. Saluran lain yang tidak berkembang sama sekali. Sering kelainan ini disertai pula oleh tidak berkembangnya saluran kencing secara unilateral.
Jalannya partus pada kelainan bawaan uterus umumnya kurang lancar, karena his kurang baik. Mungkin fungsi uterus kurang baik karena miometrium tidak normal akibat perkembangan uterus yang tidak wajar. Kala pembukaan berlangsung lama dengan segala akibat yang kurang baik bagi ibu dan anak. Kelainan letak terutama letak lintang pada uterus arkuatus dan uterus subseptus, menyebabkan resiko bagi ibu dan anak lebih tinggi. Biasanya indikasi seksio sesaria baru timbul apabila partus sudah berlangsung, kecuali apabila kelainan bawaan uterus yang dianggap tidak memungkinkan partus pervaginam dengan cukup aman diketahui sebelumnya, misalnya dengan histerogram.
Diagnosis
Untuk membuat diagnosis kadang- kadang mudah juga sukar. Anamnesis abortus habitualis dan beberapa partus prematurus bersama- sama dengan histerogram membantu ke arah diagnosis yang tepat. Sayang sekali banyak diagnosis baru dapat dibuat pada waktu partus, saat plasenta dikeluarkan secara manual atau ketika seksio sesarea. Diagnosis yang pasti hanya mungkin dengan histerografi atau dengan USG.
Penanganan
Apabila kehamilan mencapai 36 minggu atau lebih dan persalinannya berlangsung lancar, maka partus spontan dapat diharapkan. Jikalau ada indikasi, maka partus diakhiri dalam kala II.
Bidan melakukan kolaborasi dan rujukan dalam menangani hal ini. Apabila partus tidak maju setelah ibu diberikan uterotonika, sebaiknya dilakukan seksio sesarea.
Prognosis
Seperti telah disebut di atas prognosis baik pada kelainan bawaan uterus yang ringan. Partus prematurus terjadi 2- 3 kali lebih sering, disertai angka kematian perinatal antara 15- 30 %. Frekuensi abortus sangat tinggi.
2) Kelainan letak uterus
a) Anteversio uteri
Kelainan letak uterus ke depan dijumpai pada perut gantung (abdomen pendulum) dan setelah operasi ventrofiksasio.
Perut gantung terdapat pada multipara karena melemahnya dinding perut, terutama multipara yang gemuk. Uterus membengkok ke depan sedemikian rupa, sehingga letak fundus uteri dapat lebih rendah daripada simfisis. Wanita mengeluh tentang rasa nyeri di perut bawah dan pinggang bawah, menderita intertrigo di lipatan kulit, dan kadang- kadang varises atau edema di vulva. Selain itu perut gantung menghalangi masuknya kepala kedalam panggul, sehingga sering terjadi kelainan letak anak, seperti letak sungsang dan letak lintang. Dalam persalinan kala 1 pembukaan serviks kurang lancar karena tenaga his salah arah, serviks terdorong ke sakrum. Karena sumbu uterus tidak sesuai dengan sumbu jalan lahir, maka bagian janin terendah masih tinggi tidak mungkin memasuki pintu atas panggul, dan bagian terendah yang sebagian sudah melewati pintu atas panggul terdorong ke arah promontorium atau sakrum, sehingga sulit untuk turun lebih lanjut. Akan tetapi, sekali bagian terendah itu masuk di dalam panggul, persalinan selanjutnya akan berlangsung dengan lancar.
Pemakaian ikat perut yang kencang, seperti korset dan angkin atau bengkung, sehingga perut bawah kosong, dapat mengurangi penderitaan. Menjelang persalinan wanita disuruh tidur terlentang terus menerus untuk memperbesar kemungkinan masuknya kepala kedalam panggul dan mencegah terjadinya kelainan letak janin pada saat- saat terakhir kehamilan. Karena perut gantung menyebabkan banyak kesulitan dalam persalinan, maka pimpinan partus harus mendapat perhatian khusus. Setiap ada his, fundus uteri didorong ke atas supaya tenaga his terarah lebih baik sampai bagian terendah masuk betul di dalam panggul. Kelemahan dinding perut menyebabkan tenaga meneran kurang sempurna, sehingga partus kala II perlu diakhiri dengan forseps atau ekstraktor vakum.
Ventrofiksasio untuk memperbaiki retrofleksi uteri untuk sekarang sudah tidak dilakukan lagi, karena wanita yang menjadi hamil setelah pembedahan itu mengalami banyak kesulitan, baik dalam kehamilan maupun persalinan. Bagian uterus yang melekat pada dinding depat uterus dan bagian dibawahnya tidak mengikuti perkembangan membesarnya rahim, sehingga uterus bagian atas diregangkan lebih dari pada biasa, serviks ditarik keatas, sehingga kadang- kadang portio letaknnya lebih tinggi dari pada promontorium. Sering terjadi ketuban pecah dini dan kepala tidak turun. Ruptur uteri merupakan bahaya yang mengancam apabila persalinan tidak lekas diakhiri dengan SC.
b) Retrofleksio uteri
Retrofleksio uteri tidak selalu menyebabkan keluhan. Kadang- kadang menyebabkan kemandulan, karena kedua tuba tertekuk atau terlipat, sehingga patensi kurang juga karena ostium uteri eksternum tidak tetap bersentuhan dengan air mani sewaktu dan setelah persetubuhan . Apabila wanita menjadi hamil, biasanya kopus uteri naik ke atas sehingga lekukan uterus berkurang. Selanjutnya uterus yang hamil lebih tua keluar dari panggul dan kehamilan berlangsung terus sampai cukup bulan. Kadang- kadang hal itu tidak terjadi dan uterus gravidus yang bertumbuh terus pada sewaktu- waktu terkurung dalam ronga panggul (retrofleksio uteri gravidi inkarserata ). Terkurungnya uterus dapat disebabkna oleh uterus yang tertahan oleh perlekatan- perlekatan atau oleh sebab lainya yang tidak diketahui.
Keluhan muncul pada kehamilan diatas 16 minggu, dimana uterus hamil mengisi rongga panggul. Portio tertarik ke atas dan leher uretra ikut tertarik. Kemudian uterus yang menjadi lebih besar menekan urethra pada sympisis dan rektum pada sakrum. Dengan demikian dapat diterangkan gejala- gejala kelainan miksi dan defekasi, seperti retensio urin, iskuria, paradoksa (air kencing menetes dengan kandung kencing penuh ), dan kadang- kadang retensio alvi. Diagnosis biasanya tidak sulit, apalagi jika wanita hamil 16 minggu mengeluh tentang iskuria paradoksa. Satu- satunya kesalahan yang dapat dibuat adalah apabila kandung kencing yang penuh dan tegang disangka uterus gravidus.
Terdapat empat kemungkinan dari kehamilan :
• Koreksi spontan : dimana pada kehamilan 3 bulan korpus dan fundus naik masuk kedalam rongga perut.
• Abortus : hasil konsepsi terhenti berkembang dan keluar, karena sirkulasi terganggu. Adanya gangguan sirkulasi dalam uterus dan panggul dengan peredaran kedalam decidua.
• Koreksi tidak sempurna : dimana bagian yang melekat tetap tertinggal, sedangkan bagian uterus yang hamil naik masuk kedalam rongga perut disebut retrofleksi uteri gravidi partialis. Kehamilan dapat mencapai cukup bulan, atau dapat terjadi abortus, partus prematurus, terjadinya kesalah letak, dan bersalin biasa.
• RUGI (Retrofleksio Uteri Gravidi Inkarserata)
Penanganan bila tidak terjadi perlekatan dapat dilakukan :
a. Posisi digital jika perlu dalam narkose
b. Koreksi dengan posisi genu-pektoral selama 3x15 perhari atau langsung koreksi melalui vagina dengan 2 jari mendorong korpus uteri kearah atas keluar rongga atas panggul.
c. Posisi trendelenberg dan istirahat.
d. Reposisi operatif.
Inkarserasi uterus didalam panggul jarang terjadi, akan tetapi bila terjadi akan menimbulkan gejala-gejala yang nyata, dengan atau tanpa kateterisasi dapat terjadi sistitis, bahkan inkarserasi dapat menyebabkan perdarahan dan gangren kandung kencing. Terapi RUGI biasanya tidak sulit, asal saja keadaan itu tidak disebabkan oleh perlekatan. Setelah kateterisasi wanita diletakkan dalam posisi lutu-bahu: dengan 2 jari melalui vagina, korpus uteri didorong perlahan-lahan ke luar rongga panggul. Setelah koreksi wanita ditidurkan dalam letak trendelenberg untuk mencegah kembalinya uterus kedalam panggul. Kadang-kadang uterus kembali kedalam posisi semula, sehingga menyebabkan keluhan lagi. Dalam hal demikian kateterisasi dan reposisi perlu diulang dan dipasang pessarium atau tampon vaginam yang mengisi seluruh pelvis minor. Setelah 2-4 hari uterus telah menjadi lebih besar dan apabila tampon diangkat, maka uterus tidak bisa masuk lagi kedalam rongga panggul. Jarang sekali sampai diperlukan penarikan serviks kebawah dengan cunam serviks dalam usaha reposisi. Dalam hal ini diperlukan anastesi.
c) Prolapsus uteri
Turunnya uterus dari tempat yang biasa disebut desensus uteri dan ini dibagi dalam tiga tingkat :
Tingkat I: Apabila serviks belum keluar dari vulva
Tingkat II: Apabila serviks sudah keluar dari vulva, akan tetapi korpus uteri belum keluar.
Tingkat III: Apabila korpus uteri sudah berada diluar vulva.
Kehamilan dapat terjadi pada prolapsus uteri tingkat I dan II dengan lanjutnya kehamilan korpus uteri naik keatas dan bersama dengan itu serviks tertarik pula ke atas. Apabila uterus yang makin lama makin besar tetap di dalam panggul pada suatu waktu timbul gejala- gejala :
a. Inkarserasi dalam kehamilan 16 minggu dan kehamilan akan berakhir dengan keguguran.
b. Kehamilan dapat berlangsung sampai aterm
c. Persalinan dapat berjalan dengan lancar namun sesekali terjadi kesulitan pada kala I dan kala II yaitu pembukaan berjalan pelan dan tidak sampai lengkap. Bila ada indikasi penyelesaian dapat dikerjakan insisi Duhrssen dan janin dilahirkan dengan ekstraksi vakum dan forseps.
d. Koreksi prolaps dengan jalan operasi dilakukan setelah tiga bulan melahirkan.
3) Kelainan-kelainan lain pada jalan lahir
a) Tumor jalan lahir lunak, seperti kista vagina, polip serviks, mioma uteri, kista ovari dan sebagainya
b) Kandung kemih yang penuh atau batu kandung kemih yang besar
c) Rectum yang skibala atau tumor
d) Kelainan letak serviks, seperti dijumpai pada multipara dengan perut gantung
e) Ginjal yang turun kedalam rongga pelvis
f) Kelainan-kelainan bentuk uterus, seperti uterus bikornis, uterus septus, uterus arkuatus, dan sebagainya.
g) Dasar panggul atau perineum yang ketat dan tegang dan tidak elastis, penanganannya dengan melakukan episiotomi.
3. DISTOSIA PASSANGER (Distosia kelainan janin dan plasenta)
Distosia passenger/janin ini sangat tergantung pada besar janin dan posisinya. Sebab berat janin melebihi kapasitas jalan lahir.
a. Pertumbuhan janin yang berlebihan (bayi besar)
Janin besar adalah bila berat badan melebihi dari 4000 gram. Frekuensi bayi yang lahir dengan berat badan lebih dari 4000 gr adalah 5,3 % dan yang lebih dari 4500 gr adalah 0,4 %. Pernah dilaporkan berat bayi lahir pervaginam 10,8-11,3 kg.
b. Hidrosefalus
Penimbunan cairan serebrospinal dalam ventrikel otak sehingga kepala menjadi besar serta ubun-ubun menjadi lebar.hidrosefalus memungkinkan terjadinya kepala tidak masuk pintu atas panggul pada panggul yang normal sedangkan his baik dan kepala teraba besar di atas panggul.
c. Anensefalus atau hemifalus : badan ada tetapi pembentukan otak dan tengkorak kepala tidak ada atau terkebelakang
d. Kembar siam yaitu penyatuan dua janin kembar
e. Gawat janin
4. DISTOSIA POSITIONS (Distosia karena kelainan letak)
a. Presentasi belakang kepala oksiput posterior menetap
b. Presentasi belakang kepala oksiput melintang
c. Presentasi puncak kepala
d. Presentasi dahi
e. Presentasi muka
f. Presentasi rankap
g. Letak sungsang
h. Letak lintang
i. Presentasi ganda
j. Kehamilan ganda
a. Letak Sungsang
Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang/membujur dengan kepala difundus uteri dan bokong dibagian bawah kavum uteri.
.
Macam –Macam Letak Sungsang :
1) Presentasi bokong (frank breech) (50-70%).
Pada presentasi bokong akibat ekstensi kedua sendi lutut, kedua kaki terangkat ke atas sehingga ujungnya terdapat setinggi bahu atau kepala janin. Dengan demikian pada pemeriksaan dalam hanya dapat diraba bokong.
2) Presentasi bokong kaki sempurna (complete breech) ( 5-10%).
Pada presentasi bokong kaki sempurna disamping bokong dapat diraba kaki
3) Presentasi bokong kaki tidak sempurna dan presentasi kaki (incomplete or footling) (10-30%).
Pada presentasi bokong kaki tidak sempurna hanya terdapat satu kaki di samping bokong, sedangkan kaki yang lain terangkat ke atas. Pada presentasi kaki bagian paling rendah adalah satu atau dua kaki
Tanda Dan Gejala
Kehamilan dengan letak sungsang seringkali oleh ibu hamil dinyatakan bahwa kehamilannya terasa lain dari kehamilan sebelumnya, karena perut terasa penuh dibagian atas dan gerakan lebih hanyak dibagian bawah. Pada kehamilan pertama kalinya mungkin belum bisa dirasakan perbedaannya. Dapat ditelusuri dari riwayat kehamilan sebelumnya apakah ada yang sungsang.
Pada pemeriksaan luar berdasarkan pemeriksaan Leopold ditemukan bahwa Leopold I difundus akan teraba bagian yang keras dan bulat yakni kepala. Leopold II teraba punggung disatu sisi dan bagian kecil disisi lain. Leopold III-IV teraba bokong dibagian bawah uterus. Kadang-kadang bokong janin teraba bulat dan dapat memberi kesan seolah-olah kepala, tetapi bokong tidak dapat digerakkan semudah kepala. Denyut jantung janin pada umumnya ditemukan setinggi pusat atau sedikit lebih tinggi daripada umbilicus.
Pada pemeriksaan dalam pada kehamilan letak sungsang apabila didiagnosis dengan pemeriksaan luar tidak dapat dibuat oleh karena dinding perut tebal, uterus berkontraksi atau air ketuban banyak. Setelah ketuban pecah dapat lebih jelas adanya bokong vang ditandai dengan adanya sakrum, kedua tuberositas iskii dan anus. Bila dapat diraba kaki, maka harus dibedakan dengan tangan. Pada kaki terdapat tumit, sedangkan pada tangan ditemukan ibu jari vang letaknya tidak sejajar dengan jari-jari lain dan panjang jari kurang lebih sama dengan panjang telapak tangan. Pada persalinan lama, bokong mengalami edema sehingga kadang-kadang sulit untuk membedakan bokong dengan muka. Pemeriksaan yang teliti dapat membedakan bokong dengan muka karena jari yang akan dimasukkan ke dalam anus mengalami rintangan otot, sedangkan jari yang dimasukkan kedalam mulut akan meraba tulang rahang dan alveola tanpa ada hambatan, mulut dan tulang pipi akan membentuk segitiga, sedangkan anus dan tuberosis iskii membentuk garis lurus. Pada presentasi bokong kaki sempurna, kedua kaki dapat diraba disamping bokong, sedangkan pada presentasi bokong kaki tidak sempuma hanya teraba satu kaki disamping bokong. Informasi yang paling akurat berdasarkan lokasi sakrum dan prosesus untuk diagnosis posisi
Etiologi Letak Sungsang :
Faktor-faktor yang memegang peranan dalam terjadinya letak sungsang diantaranya ialah prematuritas, rnultiparitas, hamil kembar, hidramnion, hidrosefalus, plasenta previa dan panggul sempit. Kadang-kadang juga disebabkan oleh kelainan uterus (seperti fibroid) dan kelainan bentuk uterus (malformasi). Plasenta yang terletak didaerah kornu fundus uteri dapat pula menyebabkan letak sungsang, karena plasenta mengurangi luas ruangan didaerah fundus. Kelainan fetus juga dapat menyebabkan letak sungsang seperti malformasi CNS, massa dileher, aneuploidi
Diagnosis Letak Sungsang :
Diagnosis letak sungsang pada umumnya tidak sulit. Diagnosis ditegakkan berdasarkan keluhan subyektif dan pemeriksaan fisik atau penunjang yang telah dilakukan. Dari anamnesis didapatkan kalau ibu hamil akan merasakan perut terasa penuh dibagian atas dan gerakan anak lebih banyak dibagian bawah rahim. Dari riwayat kehamilan mungkin diketahui pernah melahirkan sungsang. Sedangkan dari pemeriksaan fisik Leopold akan ditemukan dari Leopold I difundus akan teraba bagian bulat dan keras yakni kepala, Leopold II teraba punggung dan bagian kecil pada sisi samping perut ibu, Leopold III-IV teraba bokong di segmen bawah rahim. Dari pemeriksaan dalam akan teraba bokong atau dengan kaki disampingnya. Disini akan teraba os sakrum, kedua tuberosis iskii dan anus. Pemeriksaan penunjang juga dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis seperti ultrasonografik atau rontgen
Syarat Partus Pervagina Pada Letak Sungsang :
1) Janin tidak terlalu besar
2) Tidak ada suspek CPD
3) Tidak ada kelainan jalan lahir
Jika berat janin 3500 g atau lebih, terutama pada primigravida atau multipara dengan riwayat melahirkan kurang dari 3500 g, sectio cesarea lebih dianjurkan.
Penatalaksanaan
Menolong persalinan letak sungsang diperlukan lebih banyak ketekunan dan kesabaran dibandingkan dengan persalinan letak kepala. Pertama-tama hendaknya ditentukan apakah tidak ada kelainan lain yang menjadi indikasi seksio, seperti kesempitan panggul, plasenta previa atau adanya tumor dalam rongga panggul .
Pada kasus dimana versi luar gagal/janin tetap letak sungsang, maka penatalaksanaan persalinan lebih waspada. Persalinan pada letak sungsang dapat dilakukan pervaginam atau perabdominal (seksio sesaria). Pervaginam dilakukan jika tidak ada hambatan pada pembukaan dan penurunan bokong (1,4). Syarat persalinan pervaginam pada letak sungsang: bokong sempurna (complete) atau bokong murni (frank breech), pelvimetri, klinis yang adekuat, janin tidak terlalu besar, tidak ada riwayat seksio sesaria dengan indikasi CPD, kepala fleksi. Mekanisme persalinan letak sungsang berlangsung melalui tiga tahap yaitu:
1. Persalinan bokong
a. Bokong masuk ke pintu atas panggul dalam posisi melintang atau miring.
b. Setelah trokanter belakang mencapai dasar panggul, terjadi putaran paksi dalam sehingga trokanter depan berada di bawah simfisis.
c. Penurunan bokong dengan trokanter belakangnya berlanjut, sehingga distansia bitrokanterika janin berada di pintu bawah panggul.
d. Terjadi persalinan bokong, dengan trokanter depan sebagai hipomoklion.
e. Setelah trokanter belakang lahir, terjadi fleksi lateral janin untuk persalinan trokanter depan, sehingga seluruh bokong janin lahir.
f. Terjadi putar paksi luar, yang menempatkan punggung bayi ke arah perut ibu.
g. Penurunan bokong berkelanjutan sampai kedua tungkai bawah lahir.
2. Persalinan bahu
a. Bahu janin memasuki pintu atas panggul dalam posisi melintang atau miring.
b. Bahu belakang masuk dan turun sampai mencapai dasar panggul.
c. Terjadi putar paksi dalam yang menempatkan bahu depan dibawah simpisis dan bertindak sebagai hipomoklion.
d. Bahu belakang lahir diikuti lengan dan tangan belakang.
e. Penurunan dan persalinan bahu depan diikuti lengan dan tangan depan sehingga seluruh bahu janin lahir.
f. Kepala janin masuk pintu atas panggul dengan posisi melintang atau miring.
g. Bahu melakukan putaran paksi dalam.
3. Persalinan kepala janin
a. Kepala janin masuk pintu atas panggul dalam keadaan fleksi dengan posisi dagu berada dibagian posterior.
b. Setelah dagu mencapai dasar panggul, dan kepala bagian belakang tertahan oleh simfisis kemudian terjadi putar paksi dalam dan menempatkan suboksiput sebagai hipomiklion.
c. Persalinan kepala berturut-turut lahir: dagu, mulut, hidung, mata, dahi dan muka seluruhnya
d. Setelah muka, lahir badan bayi akan tergantung sehingga seluruh kepala bayi dapat lahir.
e. Setelah bayi lahir dilakukan resusitasi sehingga jalan nafas bebas dari lendir dan mekoneum untuk memperlancar pernafasan. Perawatan tali pusat seperti biasa. Persalinan ini berlangsung tidak boleh lebih dari delapan menit
Mekanisme letak sungsang dapat dilihat dalam gambar berikut:
Komplikasi persalinan letak sungsang antara lain:
1. Dari faktor ibu:
a. Perdarahan oleh karena trauma jalan lahir atonia uteri, sisa placenta.
b. Infeksi karena terjadi secara ascendens melalui trauma (endometritits)
c. Trauma persalinan seperti trauma jalan lahir, simfidiolisis.
2. Dari faktor bayi:
a. Perdarahan seperti perdarahan intracranial, edema intracranial, perdarahan alat-alat vital intra-abdominal.
b. Infeksi karena manipulasi
Trauma persalinan seperti dislokasi/fraktur ektremitas, persendian leher, rupture alat-alat vital intraabdominal, kerusakan pleksus brachialis dan fasialis, kerusakan pusat vital di medulla oblongata, trauma langsung alat-alat vital (mata, telinga, mulut), asfiksisa sampai lahir mati
b. Presentasi muka
Adalah keadaan dimana kepala dalam kedudukan defleksi maksimal, sehingga oksiput tertekan pada punggung dan muka merupakan bagian terendah menghadap kebawah.
Primer bila terjadi sejak kehamilan, sekunder bila terjadi pada proses persalinan.
1) Diagnosis :
a) Tubuh janin dalam keadaan fleksi, sehingga pada pemeriksaan luar dada akan teraba punggung.
b) bagian kepala menonjol yaitu belakang kepala berada di sebelah yang berlawanan dengan letak dada.
c) Didaerah itu juga dapat diraba bagian-bagian kecil janin dan DJJ lebih jelas.
d) Periksa dalam meraba dagu, mulut, hidung, pinggir orbita.
2) Etiologi :
Penyebabnya keadaan – keadaan yang memaksa terjadi defleksi kepala atau keadaan yang menghalangi terjadinya fleksi kepala.
1) Sering ditemukan pada janin besar atau panggul sempit.
2) Multiparitas, perut gantung
3) Anensefalus, tumor leherbagian depan.
3) Mekanisme Persalinan
Kepala turun melalui PAP dengan sirkum ferensiatrakelo-parietalis dan dengan dagu melintang / miring.Setelah muka mencapai dasar panggul terjadi PPD, sehingga dagu memutar kedepan dan berada di bawah arkus pubis.Dengan daerah submentum sebagai hipomoklion kepala lahir dengan gerakan fleksi sehingga dahi, UUB, belakang kepala melewati perineum.Setelah kepala lahir terjadi PPL dan badan janin lahir seperti pada presentasi kepala.kalau dagu bedara dibelakang pada waktu putaran dalam dagu harus melewati jarak yang jarak yang lebih jauh supaya dapat berada di depan. Kadang dagu tidak memutar ke depan dan tetap berada di belakang.Keadaan ini disebut posisi mento posterior persisten dan janin tidak dapat lahir spontan, kecuali bila janin mati atau kecil.Hal ini karena kepala sudah berada dalam fleksi maksimal dan tidak mungkin menambah defleksinya lagi, sehingga kepala dan bahu terjepit dalam pangguldan persalinan tidak akan maju.
4) Penanganan
Pada persalinan cek ada tidaknya CPD.
a) Bila tidak ada CPD, dagu didepan persalinan spontan
b) Bila dagu dibelakang beri kesempatan dagu memutar ke depan dengan memasukkan 1 tangan dalam vagina.
c) Keadaan tertentu dicoba merubah menjadi presentasi belakang kepala dengan memasukkan tangan dalam vagina, kemudian memutar muka padadaerah mulut dan dagu keatas. Bila gagal, coba perasat Thorn.
Indikasi ekstraksi cunam : bila dagu di depan.
Indikasi SC pada ; posisi mento posterior persisten, kesempitan panggul dan kesulitan turunnya kepala dalam rongga panggul
b. Presentasi dahi
Adalah keadaan dimana kedudukan kepala berada diantara fleksi maksimal dan defleksi maksimal, sehingga dahi menjadi bagian terendah. Sebagian besar berubah menjadi belakang kepala.
1) Diagnosis
a) Pemeriksaan liuar seperti pada presentasi muka , tapi bagian belakang kepala tidak seberapa menonjol.
b) DJJ terdengar dibagian dada, disebelah yang sama dengan bagian-bagian kecil janin.
c) Pada persalinan : kepala janin tidak turun ke dalam rongga panggul bila pada persalinan sebelumnya normal.
d) Periksa dalam : meraba sutura frontalis, ujung satu teraba UUB dan ujung lain teraba pangkal hidung dan lingkaran orbita., mulut dan dagu tidak teraba.
2) Etiologi
Sama dengan presentasi muka.
3) Mekanisme Persalinan
Kepala masuk melalui PAPdengan sirkumferensia maksilo-parietalis dan dengan sutura frontalis melintang / miring.Setelah terjadi moulage dan ukuran terbesar kepala telah melalui PAP ,dagu memutar ke depan. Setelah dagu didepan dengan fosa kanina sebagai hipomoklion terjadi fleksi sehingga UUB,dan belakang kepala melewati perineum.Kemudian terjadi dfleksi sehingga mulut dan dagu lahir dibawah simpisis. Yang ,menghalangi presentasi dahi untuk menjadi presentasi muka , biasanya terjadi karena moulage dan kaput sucsedaneum yang besar padadahi waktu kepala memasuki panggul, sehingga sulit terjadi penambahan defleksi .
4) Penanganan
Janin kecil mungkin lahir spontan, bila normal dan besar tidak dapat lahir spontan. Presentasi dahi dengan ukuran panggul dan janin yang normal, tidak akan dapat lahir spontan pervaginam, sehingga harus dilahirkan secara seksio sesaria. Pada janin yang kecil dan panggul yang luas pada garis besarnya sikap dalam menghadapi persalinan presentasi dahi sama dengan sikap menghadapi persalinan presentasi muka. Bila persalinan menunjukkan kemajuan, tidak perlu dilakukan tindakan. Demikian pula bila harapan presentasi dahi dapat berubah menjadi presentasi belakang kepala atau presentasi muka. Jika pada akhir kala I kepala belum masuk ke dalam rongga panggul, dapat diusahakan dengan mengubah presentasi dengan perasat Thorn, tetapi jika tidak berhasil, sebaiknya dilakukan seksio sesaria. Meskipun kepala telah masuk ke rongga panggul, tetapi bila kala II tidak mengalami kemajuan sebaiknya juga dilakukan seksio sesaria. Bayi yang lahir dalam presentasi dahi menunjukkan kaput seksudanium yang besar pada dahi serta moulage kepala yang hebat.
c. Letak lintang
Letak lintang ialah suatu kehamilan dimana letak janin melintang terhadap rahim ibu, atau sumbu panjang janin melintang terhadap sumbu panjang ibu. Sesungguhnya tidak ada letak lintang sejati, atau letak lintang dimana sumbu panjang janin dan ibu membentuk sudut 90o. Biasanya letak anak itu seikit miring, dengan bokong atau kepala yang lebih rendah mendekati pintu atas panggul.
Letak lintang lebih penting artinya dibandingkan presentasi bokong, karena pada umumnya letak lintang tidak dapat dilahirkan pervaginam sehingga jika tidak mendapat pertolongan, akan menimbulkan bahaya besar baik terhadap anak ataupun ibu.
Letak lintang dapat dibagi menjadi 2 macam, yang dibagi berdasarkan:
1) Letak kepala
a) Kepala anak bisa di sebelah kiri ibu
b) Kepala anak bisa di sebelah kanan ibu
2) Letak punggung
a) Jika punggung terletak di sebelah depan ibu, disebut dorso-anterior
b) Jika punggung terletak di sebelah belakang ibu, disebut dorso-posterior
c) Jika punggung terletak di sebelah atas ibu, disebut dorso-superior
d) Jika punggung terletak di sebelah bawah ibu, disebut dorso-inferior
Frekuensi letak lintang dalam literatur disebutkan sekitar 0,5%-2%. Sedangkan di Indonesia sekitar 0,5%.
Letak lintang lebih banyak pada multipara daripada primipara, karena yang menjadikan letak lintang pada umumnya hampir sama dengan kelainan yang menyebabkan presentasi bokong .
Namun harus dikemukakan satu faktor yang terpenting , yaitu jika ruang rahim memberi kesempatan bagi janin untuk bergerak lebih leluasa. Ini mungkin, jika dinding uterus dan dinding perut ibu sudah begitu lembek, misalnya pada wanita grandemultipara, atau malah pada panggul sempit
.
1) Diagnosis
Dengan pemeriksaan luar, biasanya tidak begitu sulit untuk menentukan letak lintang, kecuali pada keadaan-keadaan pada primipara dengan perut yang sangat kencang, atau pda hidramnion, gemelli (kembar), atau jika ada tumor.
Pada inspeksi kelihatan perut membuncit tidak dalam ukuran memanjang, melainkan dalam ukuran melintang. Pada palpasi menunjukkan fundus uteri lebih rendah jika dibandingkan dengan usia kehamilan. Selain itu pada sebelah bawah di atas simfisis tidak teraba bagian besar, sedangkan kepala anak dapat diraba di samping kiri atau kanan. Kadan dapat teraba jelas bagian kecil , ini jika punggung anak terletak di sebelah belakang. Denyut jantung janin kerapkali terdengar di sebelah belakang.
Pada periksa dalam, pada permulaan partus, jika ketuban belum pecah, umumnya dengan periksa dalam masih sukar untuk menentukan dengan pasti diagnosis letak lintang. Hanya kita harus memfokuskan bahwa dapat dirasakan rongga panggul masih kosong , atau dalam waktu his, tidak teraba dengan nyata bagian-bagian kecil dari janin yang terdapat di atas pintu atas panggul.
Dengan kata lain, diagnosis akan lebih pasti jika pembukaan sudah cukup luas. Dalam pemeriksaan kita harus berusaha dengan periksa dalam yang dilakukan tidak malah memecahkan ketuban. Ini berhubungan dengan kemungkinan apakah kita masih dapat merubah letak anak menjadi letak kepala, yaitu dengan versi luar.
Jika ketuban sudah pecah, dan pembukaan sudah lebih luas, maka barulah periksa dalam memberi kenyataan yang cukup dan diagnosis menjadi lebih mudah. Jika mungkin, supaya jelas, periksa dalam dilakukan dengan 4 jari atau tangan seluruhnya. Dengan demikian bisa diketahui dengan pasti bagian-bagian tubuh anak yang dapat diraba.
Bagian tubuh anak yang jelas diraba ialah dimana terdapat tulang keras dan berhubung dengan ini sebagai pokok diagnosis letak lintang, ialah jika dapat diraba tulang-tulang iga, lebih nyata lagi jika disamping itu dapat diraba tulang belikat (scapula) yang berbentuk segitiga, atau tulang scapula.
Pada letak lintang seringkali terjadi dengan tangan letak terkemuka, artinya tangan sudah turun terlebih dahulu dan dapat diraba di dalam vagina, atau selurh lengan sudah menumbung dan kelihatan tangan di luar vulva.
Tangan harus dibedakan dengan kaki, yaitu jika kaki akan teraba tulang kalkaneus, dan jari-jari lebih pendek dan rapat, bahkan hampir sama panjang. Berbeda dengan tangan yang lebih jarang dan jari-jari berbeda panjangnya. Jika betul tangan , untuk membedakannya tangan kanan atau kiri, dapat dilakukan dengan menjabat tangan tersebut. Jika cocok dalam berjabat tangan kanan, maka tangan yang menumbung itu adalah tangan kanan.
2) Mekanisme Persalinan Pada Letak Lintang
Pada permulaan persalinan dalam letak lintang, pintu atas panggung tidak tertutup oleh bagian bawah anak seperti pada letak memanjang. Oleh karena itu seringkali ketuban sudah lebih dulu pecah sebelum pembukaan lengkap atau hampir lengkap. Setelah ketuban pecah, maka tidak ada lagi tekanan pada bagian bawah, sehingga persalinan berlangsung lebih lama.
His berperan dalam meluaskan pembukaan, selain itu dengan kontraksi yang semakin kuat, maka anak makin terdorong ke bawah. Akibatnya tubuh anak menjadi membengkok sedikit, terutama pada bagian yang mudah membengkok, yaitu di daerah tulang leher. Ini pun disebabkan karena biasnaya ketuban sudah lekas pecah dan karena tak ada lagi air ketuban, maka dinding uterus lebih menekan anak di dalam rahim. Dengan demikian bagian anak yang lebih rendah akan masuk lebih dulu ke dalam pintu atas panggul, yaitu bahu anak.
Karena pada letak lintang pintu atas panggul tidak begitu tertutup, maka tali pusat seringkali menumbung, dan ini akan memperburuk keadaan janin.
Bila pembukaan telah lengkap, ini pada awalnya tidak begitu jelas tampaknya. Karena tidak ada tekanan dari atas oleh bagian anak pada lingkaran pembukaan, makan lingkaran ini tidak dapat lenyap sama sekali, senantiasa masih berasa pinggirnya seperti suatu corong yang lembut. Penting untuk diketahui, bahwa tidak ada pembukaan yang benar-benar lengkap pada letak lintang seperti halnya pembukaan lengkap pada letak memanjang. Tandanya pembukaan itu sudah lengkap adalah lingkaran pembukaan itu mudah dilalui oleh kepalan tangan pemeriksa, sedangkan pada pembukaan yang belum lengkap, kepalan tangan pemeriksa sukar untuk memasuki lingkaran tersebut.
Lain halnya dengan letak memanjang, pada letak lintang setelah pembukaan lengkap, karena his dan tenaga mengejan, badan anak tidak dapat dikeluarkan dari rongga rahim, akan tetapi sebagian besar masih di dalam uterus, meskipun tubuh anak menjadi semakin membengkok.. Jika ini terjadi terus menerus, maka akan terjadi suatu letak lintang kasep, dimana tubuh anak tidak dapat lagi didorong ke atas. Letak lintang kasep terjadi bukanlah karena lamanya persalinan, namun faktor yang penting ialah karena faktor kuatnya his. Pada letak lintang kasep, biasanya anak telah mati, yang disebabkan karena kompresi pada tali pusat, perdarahan pada plasenta, ataupun cedera organ dalam karena tubuh anak terkompresi dan membengkok.
Gambar 1. Letak lintang Kasep dengan lengan menumbung
Bila keadaan kasep ini dibiarkan saja, makan dapat terjadi ruptur uteri yang sangat berbahaya pada bagi ibu.
Persalinan Pervaginam Pada Letak Lintang
Kadangkala dalam letak lintang anak dapat dilahirkan secara pervaginam, ini dapat terjadi pada anak yang kecil (preterm), atau pada anak yang telah mati. Pada anak yang normal dan hidup, hal ini sama sekali tidak diharapkan
Evolutio Spontanea
Karena tenaga his dan tenaga mengejan, maka bahu anak turun dan masuk ke dalam rongga panggul, sedangkan kepala tertekan dan tinggal di atas. Pada suatu waktu, bahu itu lahir di bawah simfisis, dan sekarang dengan bahu itu sebagai hipomoklion, lahirlah berturut turut bagian atas badan, yaitu samping dada diikuti oleh perut, bokong , kaki dan kepala. Cara ini disebut cara DOUGLAS.
Gambar 2. Evolutio Spontanea cara Douglas
Ada keadaan dimana bahu dan kepala anak tertekan dan tinggal di atas pintu atas panggul. Yang tertekuk adalah punggung dan pinggang. Dengan demikian maka pada suatu ketika bokong sama tingginya dengan bahu dan selanjutnya lahir lebih dahulu bokong, dan kaki, dilanjutkan dengan badan dan kepala. Cara ini disebut cara DENMAN
Gambar 3. Evolutio Spontanea Cara Denman
Conduplicatio Corpore
Hal ini berlaku terutama pada panggul luar dan anak yang kecil, yaitu kepala anak tidak tertahan di atas, sehingga kepala dan perut sama-sama turun ke dalam rongga panggul dan dengan keadaan terlipat lahirlah kepala dan perut, dilanjutkan dengan bokong dan kaki.
Gambar 4. Conduplicatio Corpore
3) Penatalaksanaan Pada Letak Lintang
a) Saat Hamil
Pada saat hamil, pada usia kehamilan 34-36 minggu dapat dianjurkan untuk dilakukan knee chest position sampai usia kehamilan >36 minggu. Setelah itu , jika masih dalam letak lintang, maka dapat dilakukan versi luar jika syarat memenuhi
b) Saat Persalinan
Ada dua hal yang harus diperhatikan dalam pertolongan persalinan pada letak lintang, yaitu ketuban dan pembukaan.
c) Jika ketuban belum pecah, dan pembukaan masih kecil (<4cm), dapat dicoba untuk dilakukan versi luar hingga menjadi presentasi kepala atau presentasi bokong. Jika versi luar gagal dan tidak terjadi komplikasi maka dapat ditunggu sampai pembukaan lengkap. d) Namun jika pembukaan sudah besar, versi luar sangat tidak dianjurkan. Dalam hal ini ketuban harus dijaga jangan sampai pecah dan ibu diminta berbaring miring dan dilarang mengejan. Ditunggu sampai pembukaan lengkap, setelah lengkap , ketuban dipecahkan dan dilakukan versi ekstraksi. e) Jika ketuban sudah pecah, dan pembukaan belum lengkap, maka seksio sesarea adalah jalan terbaik. Meskipun pada literatur lama mengatakan dapat ditunggu sampai lengkap dan dilakukan versi ekstraksi, namun mungkin hal ini tidak relevan lagi pada masa sekarang. f) Jika pembukaan sudah lengkap, maka perlu diketahui apakah sudah terjadi letak lintang kasep atau belum. g) Jika sudah terjadi letak lintang kasep, cara mengetahuinya adalah dengan mencoba mendorong bagian terbawah janin, jika tidak dapat didorong lagi, maka dapat ditegakkan diagnosis letak lintang kasep. Penatalaksanaanya adalah dengan melihat anak hidup atau sudah mati. h) Jika anak masih hidup, maka segera dilakukan seksio sesarea. Namun jika anak mati, dapat dipertimbangkan untuk dilakukan embriotomi. i) Jika belum terjadi letak lintang kasep, maka dapat dicoba untuk dilakukan versi ekstraksi. d. Presentasi rangkap/ ganda Adalah keadaan dimana disamping kepala janin didalam rongga panggul dijumpai tangan, lengan atau kaki atau keadaan dimana disamping bokong janin dijumpai lengan(Wiknjosastro, 2002). Presentasi rangkap atau ganda adalah bagian kecil menumbung disamping bagian besar janin dan bersama-sama memasuki panggul, sehingga ukuran yang akan melalui jalan lahir menjadi besar dan tidak sesuai dengan ukuran pintu bawah panggul (Manuaba, 1998). e. Kehamilan ganda Adalah keadaan dimana disamping kepala janin didalam rongga panggul dijumpai tangan, lengan atau kaki atau keadaan dimana disamping bokong janin dijumpai lengan (Wiknjosastro, 2002). Presentasi rangkap atau ganda adalah bagian kecil menumbung disamping bagian besar janin dan bersama-sama memasuki panggul, sehingga ukuran yang akan melalui jalan lahir menjadi besar dan tidak sesuai dengan ukuran pintu bawah panggul (Manuaba, 1998). f. Posisi Oksipitalis Posterior Persisten. Pada letak belakang kepala biasanya ubun-ubun kecil akan memutar ke depan dengan sendirinya dan janin lahir secara spontan. Kadang-kadang UUK tidak berputar ke depan, tetapi tetap berada di belakang, yang disebut Positio Occiput Posterior Persistens. Dalam menghadapi persalinan dimana UUK terdapat di belakang, kita harus sabar, sebab rotasi ke depan kadang-kadang baru terjadi didasar pangggul. Dalam hal ini persalinan akan menjadi lebih lama dan dapat terjadi perlukaan pada perinium. (Mochtar, 1998). g. Presentasi Belakang Kepala Oksiput Melintang Adalah keadaan dimana kepala sudah masuk panggul sedangkan ubun-ubun masih disamping, terjadi karena putaran paksi terlambat sehingga persalinan berlangsung lama.(Mochtar, 1998). h. Presentasi Puncak Kepala Adalah keadaan dimana puncak kepala merupakan bagian terendah, hal ini terjadi apabila derajat defleksinya ringan. Pada umumnya presentasi puncak kepala merupakan kedudukan sementara yang kemudian berubah menjadi presentasi belakang kepala. Mekanisme persalinannya hampir sama dengan posisi oksipitalis posterior persistens, sehingga keduanya sering kali dikacaukan satu dengan yang lainnya. Perbedaannya ialah : pada presentasi puncak kepala tidak terjadi fleksi kepala yang maksimal, sedangkan lingkaran kepala yang melalui jalan lahir adalah sirkumferensia frontooksipitalis dengan titik perputaran yang berada dibawah symfisis ialah glabella (Wiknjosastro,2002). i. Prolaps Tali Pusat Yaitu tali pusat berada disamping atau melewati bagian terendah janin setelah ketuban pecah. Bila ketuban belum pecah disebut tali pusat terdepan. Pada keadaan prolaps tali pusat ( tali pusat menumbung ) timbul bahaya besar, tali pusat terjepit pada waktu bagian janin turun dalam panggul sehingga menyebabkan asfiksia pada janin. Prolaps tali pusat mudah terjadi bila pada waktu ketuban pecah bagian terdepan janin masih berada di atas PAP dan tidak seluruhnya menutup seperti yang terjadi pada persalinan ; hidramnion, tidak ada keseimbangan antara besar kepala dan panggul, premature, kelainan letak. Diagnosa prolaps tali pusat ditegakkan bila tampak tali pusat keluar dari liang senggama atau bila ada pemeriksaan dalam teraba tali pusat dalam liang senggama atau teraba tali pusat di samping bagian terendah janin. Pencegahan Prolaps Tali Pusat : 1) Menghindari pecahnya ketuban secara premature akibat tindakan kita. Penanganan Tali Pusat Terdepan ( Ketuban belum pecah ) : a) Usahakan agar ketuban tidak pecah b) Ibu posisi trendelenberg c) Posisi miring, arah berlawanan dengan posisi tali pusat d) Reposisi tali pusat Penanganan Prolaps Tali Pusat : a) Apabila janin masih hidup , janin abnormal, janin sangat kecil harapan hidup Tunggu partus spontan. a) Pada presentasi kepala apabila pembukaan kecil, pembukaan lengkap Vacum ekstraksi, porcef. b) Pada Letak lintang atau letak sungsang Sectio cesaria 5. DISTOSIA PSIKOLOGIS Masalah psikologis yang mungkin terjadi: a. Kecemasan menghadapi persalinan Intervensinya: kaji penyebab kecemasan, orientasikan ibu terhadap lingkungan , pantau tanda vital (tekanan darah dan nadi), ajarkan teknik2 relaksasi, pengaturan nafas untuk memfasilitasi rasa nyeri akibat kontraksi uterus b. Kurang pengetahuan tentang proses persalinan Intervensinya: kaji tingkat pengetahuan, beri informasi tentang proses persalinan dan pertolongan persalinan yang akan dilakukan, informed consent c. Kemampuan mengontrol diri menurun (pada kala 1 fase aktif) Intervensinya: berikan support emosi dan fisik, libatkan keluarga (suami) untuk selalu mendampingi selama proses persalinan berlangsung Perubahan psikologis pada kala I dipengaruhi oleh: a. Pengalaman sebelumnya b. Kesiapan emosi c. Persiapan menghadapi persalinan (fisik, mental, materi dsb) d. Support sistem e. Lingkungan f. Mekanisme koping g. Kultur h. Sikap terhadap kehamilan menurut Varney, pendekatan untuk mengurangi rasa sakit dapat dilakukan dengan cara: a. Menghadirkan seseorang yang dapat memberikan dukungan selama persalinan (suami, orang tua) b. Pengaturan posisi :duduk atau setengah duduk, posisi merangkak, berjongkok atau berdiri, berbaring miring ke kiri c. Relaksasi dan pernafasan d. Istirahat dan privasi e. Penjelasan mengenai proses/kemajuan/prosedur yang akan dilakukan f. Asuhan diri g. Sentuhan beberapa teknik dukungan untuk mengurangi rasa sakit a. Kehadiran seorang pendamping yang terus menerus, sentuhan yang nyaman, dan dorongan dari orang yang memberikan support b. Perubahan posisi dan pergerakan c. Sentuhan dan massase d. Counterpressure untuk mengurangi tegangan pada ligamen e. Pijatan ganda pada pinggul f. Penekanan pada lutut g. Kompres hangat dan kompres dingin h. Berendam i. Pengeluaran suara j. Visualisasi dan pemusatan perhatian (dengan berdoa) k. Musik yang lembut dan menyenangkan ibu Pemenuhan kebutuhan fisik dan psikologis ibu dan keluarga a. Mengatur posisi Anjurkan ibu untuk mengatur posisi yang nyaman selama persalinan, anjurkan suami atau pendamping untuk membantu ibu mengatur posisi. ibu boleh berjalan, berdiri atau jongkok (membantu proses turunnya bagian terendah janin). berbaring miring (memberi rasa santai, memberi oksigenisasi yang baik ke janin, mencegah laserasi) atau merangkak(mempercepat rotasi kepala janin, peregangan minimal pada perineum, baik pada ibu yang mengeluh sakit punggung). posisi terlentang kurang dianjurkan karena dapat menyebabkan menurunnya sirkulasi darah dari ibu ke plasenta berdampak pada terjadinya hipoksia janin. b. pemberian cairan dan nutrisi Berikan ibu asupan makanan ringan dan minum aior sesering mungkin agar tidak terjadi dehidrasi. dehidrasi dapat memperlambat kontraksi/ kontraksi menjadi kurang efektik. B. KOMPLIKASI/ PENYULIT PERSALINAN KALA II 1. KALA II LAMA a. Pengertian Partus lama adalah fase laten lebih dari 8 jam. Persalinan telah berlangsung 12 jam atau lebih, bayi belum lahir. Dilatasi serviks di kanan garis waspada persalinan aktif (Syaifuddin, AB., 2002). Partus lama : adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam pada primi, dan lebih dari 18 jam pada multi. Partus lama adalah proses persalinan yang mempunyai masalah fase laten yang panjang, persalinan telah berlangsung 12 jam atau lebih bayi belum lahir atau dilatasi serviks dikanan garis waspada pada persalinan fase aktif. Partus lama adalah perjalanan persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam, tetapi belum menimbulkan komplikasi maternal atau fetal. b. Etiologi 1) His tidak efisien (adekuat) 2) Faktor janin (malpresenstasi, malposisi, janin besar) 3) Faktor jalan lahir (panggul sempit, kelainan serviks, vagina, tumor Faktor-faktor ini sering saling berhubungan. 4) Kelainan letak janin 5) Pimpinan partus yang salah 6) Primitua 7) Perut gantung, grandmulti 8) Ketuban pecah dini c. Dampak Partus Lama 1) Infeksi Intrapartum Infeksi adalah bahaya yang serius yang mengancam ibu dan janinnya pada partus lama, terutama bila disertai pecahnya ketuban. Bakteri di dalam cairan amnion menembus amnion dan menginvasi desidua serta pembuluh korion sehingga terjadi bakteremia dan sepsis pada ibu dan janin. Pneumonia pada janin, akibat aspirasi cairan amnion yang terinfeksi, adalah konsekuensi serius lainnya. Pemeriksaan serviks dengan jari tangan akan memasukkan bakteri vagina ke dalam uterus. Pemeriksaan ini harus dibatasi selama persalinan, terutama apabila dicurigai terjadi persalinan lama. 2) Ruptura Uteri Penipisan abnormal segmen bawah uterus menimbulkan bahaya serius selama partus lama, terutama pada ibu dengan parietas tinggi dan pada mereka dengan riwayat SC. Apabila disproporsi antara kepala janin dan panggul sedemikian besar sehingga kepala tidak cakap (engaged) dan tidak terjadi penurunan, segmen bawah uterus menjadi sangat teregang kemudian dapat menyebabkan ruptura. Pada kasus ini, mungkin terbentuk cincin retraksi patologis yang dapat diraba sebagai sebuah Krista transversal atau oblik yang berjalan melintang di uterus antara simpisis dan umbilicus. Apabila dijumpai keadaan ini, diindikasikan persalinan perabdominan segera. 3) Cincin Retraksi Patologis Walaupun sangat jarang, dapat timbul konstriksi atau cincin local uterus pada persalianan yang berkepanjangan. Tipe yang paling sering adalah cincin retraksi patologis Bandl, yaitu pembentukan cincin retraksi normal yang berlebihan. Cincin ini sering timbul akibat persalinan yang terhambat, disertai peregangan dan penipisan berlebihan segmen bawah uterus. Pada situasi semacam ini identasi abdomen dan menandakan ancaman akan rupturnya SBR. Konstriksi uterus local jarang dijumpai saat ini karena terlambatnya persalinan secara berkepanjangan tidak lagi dibiarkan. Konstriksi local ini kadang-kadang masih terjadi sebagai konstriksi jam pasir (hourglass constriction) uterus setelah lahirnya kembar pertama. Pada keadaan ini, konstriksi tersebut kadang-kadang dapat dilemaskan dengan anesthesia umum yang sesuai dan janin dilahirkan secara normal, tetapi kadang-kadang SC yang dilakukan dengan segera menghasilkan prognosis yang lebih baik bagi kembar kedua. 4) Pembentukan Fistula Apabila bagian terbawah janin menekan kuat ke PAP, tetapi tidak maju untuk jangka waktu yang cukup lama, bagian jalan lahir yang terletak di antaranya dan dinding panggul dapat mengalami tekanan yang berlebihan. Karena gangguan sirkulasi, dapat terjadi nekrosis yang akan jelas dalam beberapa hari setelah melahirkan dengan munculnya fistula vesikovaginal, vesikoservikal, atau retrovaginal. Umumnya nekrosis akibat penekanan ini pada persalinan kala II yang berkepanjangan. 5) Cidera Otot-otot Dasar Panggul Saat kelahiran bayi, dasar panggul mendapat tekanan langsung dari kepala janin serta tekanan ke bawah akibat upaya mengejan ibu. Gaya-gaya ini meregangkan dan melebarkan dasar panggul sehingga terjadi perubahan fungsional dan anatomik otot, saraf, dan jaringan ikat. Efek-efek ini bisa menyebabkan inkontinensia urin dan alvi serta prolaps organ panggul. 6) Kaput Suksedaneum Apabila panggul sempit, sewaktu persalinan sering terjadi kaput suksedaneum yng besar di bagian terbawah kepala janin. Kaput ini dapat berukuran cukup besar dan menyebabkan kesalahan diagnostic yang serius. Kaput hampir dapat mencapai dasar panggul sementara kepala sendiri belum cakap. 7) Molase kepala Janin Akibat tekanan his yang kuat, lempeng-lempeng tulang tengkorak saling bertumpang tindih satu sama lain di sutura-sutura besar, suatu proses yang disebut molase. Biasanya batas median tulang parietal yang berkontak dengan promontorium bertumpang tindih dengan tulang di sebelahnya; hal yang sama terjadi pada tulang-tulang frontal. Namun, tulang oksipital terdorong ke bawah tulang parietal. Perubahan-perubahan ini sering terjadi tanpa menimbulkan kerugian yang nyata. Di lain pihak, apabila distorsi yang terjadi mencolok, molase dapat menyebabkan robekan tentorium, laserasi pembuluh darah janin, dan perdarahan intracranial pada janin d. Tanda dan gejala 1) Pada Ibu : a) Gelisah, letih, suhu badan meningkat, berkeringat, nadi cepat, pernapasan cepat, dan --meteorismus. Di daerah lokal sering dijumpai: Ring v/d Bandl, eedema vulva, edema serviks, cairan ketuban berbau, terdapat mekonium. b) Pembukaan serviks mengarah ke sebelah kanan garis waspada partograf. c) Pembukaan serviks kurang dari 1 cm per jam. d) Frekuensi kontraksi kurang dari 2 kali dalam 10 menit dan lamanya kurang dari 40 detik 2) Pada Janin a) DJJ cepat/hebat/tidak teratur bahkan negatif, air ketuban terdapat mekonium, kental kehijau-hijauan, berbau. b) Kaput suksedaneum yang besar c) Moulage kepala yang hebat d) Kematian Janin Dalam Kandungan (KJDK) e) Kematian Janin Intra Partal (KJIP) e. Batas Normal Persalinan 1) Primipara Mean :13-14 jam Median :10,6 jam Mode :7 jam. 2) Multipara Mean :8 jam Median : 6 jam Mode : 4 jam. f. Komplikasi 1) Ibu a) Infeksi sampai sepsis b) asidosis dengan gangguan elektrolit c) dehidrasi, syock, kegagalan fungsi organ-organ d) robekan jalan lahir e) fistula buli-buli, vagina, rahim dan rectum 2) Janin a) Gawat janin dalam rahim sampai meninggal b) lahir dalam asfiksia berat sehingga dapat menimbulkan cacat otak menetap c) trauma persalinan, fraktur clavicula, humerus, femur g. Penanganan 1) Perawatan pendahuluan: Penatalaksanaan penderita dengan partus kasep (lama) adalah sebagai berikutl: a) Suntikan cortone acetate: 100-200 mg intramuskular b) Penisilin prokain: 1 juta iu intramuskular c) Streptomisin: 1 gr intramuskular d) Infus cairan: • Larutan garam fisiologis • Larutan glukose 5-10% pada janin pertama: 1 liter/jam. e) Istirahat 1 jam untuk observasi, kecuali bila keadaan mengharuskan untuk segera bertindak. 2) Pertolongan Dapat dilakukan partus spontan, ekstraksi vakum, ekstraksi forsep, manualaid pada letak sungsang, embriotomi bila janin meninggal, seksio sesarea, dan lain-lain. h. Partus lama jika tidak segera diakhiri akan menimbulkan : 1) Kelelahan pada ibu karena mengejan terus-menerus sedangkan intake kalori biasanya berkurang 2) Dehidrasi dan gangguan keseimbangan asam basa/ elektrolit karena intake cairan yang kurang 3) Gawat janin sampai kematian karena asfiksia dalam jalan lahir. 4) Infeksi rahim, timbul karena ketuban pecah lama sehingga terjadi infeksi rahim yang dipermudah karena adanya manipulasi penolong yang kurang steril 5) Perlukaan jalan lahir, timbulkan persalinan yang traumatik 2. PARTUS TAK MAJU/ MACET a. Pengertian Partus macet adalah suatu keadaan dari suatu persalinan yang mengalami kemacetan dan berlangsung lama sehingga timbul komplikasi ibu maupun janin (anak). Partus macet merupakan persalinan yang berjalan lebih dari 24 jam untuk primigravida dan atau 18 jam untuk multi gravida. b. Etiologi Penyebab persalinan lama diantaranya adalah kelainan letak janin, kelainan panggul, kelainan keluaran his dan mengejan, terjadi ketidakseimbangan sefalopelfik, pimpinan persalinan yang salah dan primi tua primer atau sekunder. c. Tanda dan gejala 1) Tanda – tanda kelelahan dan intake yang kurang a) Dehidrasi, nadi cepat dan lemah b) Metorismus c) Febris d) His yang hilang/ melemah 2) Tanda – tanda rahim pecah (rupture uteri) a) Perdarahan melaluli orivisium eksternmu b) His yang hilang c) Bagian janin yang mudah teraba d) Robekan dapat meluas sampai cervix dan vagina 3) Tanda infeksi intra uteri a) Keluar air ketuban berwarna keruh kehijauan dan berbau, kadang bercampur dengan meconium b) Suhu rectal > 37,50 c.
4) Tanda gawat janin
a) Air ketuban bercampur dengan mekonium
b) Denyut jantung janin irreguler
c) Gerak anak berkurang atau hiperaktif ( gerak konfulsif).
d. Diagnosis
1) Keadaan umum ibu
a) Dehidrasi, panas
b) Meteorismus, shock
c) Anemia, oliguri.
2) Palpasi
a) His lemah
b) Gerak janin tidak ada
c) Janin mudah diraba
3) Auskultasi
a) Denyut jantung janin, takikardia, irreguler, negatif (jika janin sudah mati).
4) Pemeriksaan dalam
a) Keluar air ketuban yang keruh dan berbau bercamput dengan mekoniu
b) Bagian terendah anak sukar digerakkan, mudah didorong jika sudah terjadi rupture uteri
c) Suhu rectal lebih tinggi 37,50c.
e. Diagnosa Banding
Kehamilan / persalinan dengan infeksi ektra genital, disini suhu aksila lebih tinggi dari rectal dan ketuban biasanya masih utuh.
f. Komplikasi
1) Ibu
a) Infeksi sampai sepsis
b) Asidosis dengan gangguan elektrolit
c) Dehidrasi, syock, kegagalan fungsi organ-organ
d) Robekan jalan lahir
e) Fistula buli-buli, vagina, rahim dan rectum
2) Janin
a) Gawat janin dalam rahim sampai meninggal
b) Lahir dalam asfiksia berat sehingga dapat menimbulkan cacat otak menetap
c) Trauma persalinan, fraktur clavicula, humerus, femur
g. Tindakan
1) Memperbaiki keadaan umum ibu
a) Koreksi cairan ( rehidrasi)
b) Koreksi keseimbangan asam basa
c) Koreksi keseimbangan elektrolit
d) Pemberian kalori
e) Pemberantasan infeksi
f) Penurunan panas
2) Mengakhiri persalinan dengan cara tergantung dari penyebab kemacetan atau anakhidup atau mati.
Sebaiknya tindakan pertama dilakukan lebih dahulu sampai kondisi ibu optimal untuk dilakukan tindakan kedua, diharapkan dalam 2-3 jam sudah ada perbaikan
Bila pembukaan lengkap dan syarat-syarat persalinan pervaginam terpenuhi maka dapat dilakukan ekstraksi vacum, ekstraksi forcep, atau perforasi kranioflasi
Bila pembukaan belum lengkap dilakukan sectio caesarea
Persalinan normal berlangsung lebih kurang 14 jam, dari awal pembukaan sampai lahirnya anak
Apabila terjadi perpanjangan dari
a) Fase laten (primi : 20 jam, multi : 14 jam)
b) fase aktif (primi: 1,2 cm/ jam, multi 1 ½ cm/ jam)
c) kala III (primi : 2 jam, multi : 1jam)
maka disebut partus lama
C. KOMPLIKASI/ PENYULIT PERSALINAN KALA III
1. RETENSIO PLASENTA
a. Pengertian
Retensio plasenta (placental retention) merupakan plasenta yang belum lahir dalam setengah jam setelah janin lahir. Sedangkan sisa plasenta (rest placenta) merupakan tertinggalnya bagian plasenta dalam rongga rahim yang dapat menimbulkan perdarahan postpartum dini (early postpartum hemorrhage) atau perdarahan post partum lambat (late postpartum hemorrhage) yang biasanya terjadi dalam 6-10 hari pasca persalinan.
Retensio Plasenta adalah tertahannya plasenta atau belum lahirnya plasenta liingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir (Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, 2002:178).
Retensio plasenta adalah plasenta belum lahir ½ jam sesudah anak lahir.(Obstetri Patologi, hal. 234).
Retensio Plasenta adalah terlambatnya kelahiran plasenta selama setengah jam setelah kelahiran bayi. Plasenta harus dikeluarkan karena dapat menimbulkan bahaya perdarahan, infeksi karena sebagai benda mati, dapat terjadi plasenta inkarserata dapat terjadi polip plasenta, dan terjadi degenerasi ganas korio karsinoma (Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan, hal. 300).
b. Jenis-Jenis Retensio Plasenta
1) Plasenta Adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
2) Plasenta Akreta adalah implantasi jonjot korion plasetita hingga memasuki sebagian lapisan miornetrium.
3) Plasenta Inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai / memasuki miornetnum.
4) Plasenta Perlireta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.
5) Plaserita Inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum utrri disebabkan oleh kontriksi osteuni uteri.
c. Etiologi
Sebab-sebabnya plasenta belum lahir bisa oleh karena:
1) plasenta belum lepas dari dinding uterus; atau
2) plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan.
Apabila plasenta belum lahir sama sekali, tidak terjadi perdarahan; jika lepas sebagian, terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya.
Plasenta belum lepas dari dinding uterus karena:
1) kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesiva);
2) plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vili korialis menembus desidua sampai miometrium- sampai di bawah peritoneum (plasenta akreta-perkreta).
Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar, disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III, sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta).
d. Tanda dan gejala
1) Anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta informasi mengenai episode perdarahan postpartum sebelumnya, paritas, serta riwayat multipel fetus dan polihidramnion. Serta riwayat pospartum sekarang dimana plasenta tidak lepas secara spontan atau timbul perdarahan aktif setelah bayi dilahirkan.
2) Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis servikalis tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus.
e. Patofisiologi
Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi. Kontraksi dan retraksi otot-otot uterus menyelesaikan proses ini pada akhir persalinan. Sesudah berkontraksi, sel miometrium tidak relaksasi, melainkan menjadi lebih pendek dan lebih tebal. Dengan kontraksi yang berlangsung kontinyu, miometrium menebal secara progresif, dan kavum uteri mengecil sehingga ukuran juga mengecil. Pengecian mendadak uterus ini disertai mengecilnya daerah tempat perlekatan plasenta.
Ketika jaringan penyokong plasenta berkontraksi maka plasenta yang tidak dapat berkontraksi mulai terlepas dari dinding uterus. Tegangan yang ditimbulkannya menyebabkan lapis dan desidua spongiosa yang longgar memberi jalan, dan pelepasan plasenta terjadi di tempat itu. Pembuluh darah yang terdapat di uterus berada di antara serat-serat oto miometrium yang saling bersilangan. Kontraksi serat-serat otot ini menekan pembuluh darah dan retaksi otot ini mengakibatkan pembuluh darah terjepit serta perdarahan berhenti.
Pengamatan terhadap persalinan kala tiga dengan menggunakan pencitraan ultrasonografi secara dinamis telah membuka perspektif baru tentang mekanisme kala tiga persalinan. Kala tiga yang normal dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu:
1) Fase laten, ditandai oleh menebalnya duding uterus yang bebas tempat plasenta, namun dinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis.
2) Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat plasenta melekat (dari ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm).
3) Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan pemisahannya dari dinding uterus dan lepas. Tidak ada hematom yang terbentuk antara dinding uterus dengan plasenta.
Terpisahnya plasenta disebabkan oleh kekuatan antara plasenta yang pasif dengan otot uterus yang aktif pada tempat melekatnya plasenta, yang mengurangi permukaan tempat melekatnya plasenta. Akibatnya sobek di lapisan spongiosa.
Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur. Saat plasenta bergerak turun, daerah pemisahan tetap tidak berubah dan sejumlah kecil darah terkumpul di dalam rongga rahim. Ini menunjukkan bahwa perdarahan selama pemisahan plasenta lebih merupakan akibat, bukan sebab. Lama kala tiga pada persalinan normal ditentukan oleh lamanya fase kontraksi. Dengan menggunakan ultrasonografi pada kala tiga, 89% plasenta lepas dalam waktu satu menit dari tempat implantasinya.
Tanda-tanda lepasnya plasenta adalah sering ada pancaran darah yang mendadak, uterus menjadi globuler dan konsistensinya semakin padat, uterus meninggi ke arah abdomen karena plasenta yang telah berjalan turun masuk ke vagina, serta tali pusat yang keluar lebih panjang.
Sesudah plasenta terpisah dari tempat melekatnya maka tekanan yang diberikan oleh dinding uterus menyebabkan plasenta meluncur ke arah bagian bawah rahim atau atas vagina. Kadang-kadang, plasenta dapat keluar dari lokasi ini oleh adanya tekanan inter-abdominal. Namun, wanita yang berbaring dalam posisi terlentang sering tidak dapat mengeluarkan plasenta secara spontan. Umumnya, dibutuhkan tindakan artifisial untuk menyempurnakan persalinan kala tinggi. Metode yang biasa dikerjakan adalah dengan menekan dan mengklovasi uterus, bersamaan dengan tarikan ringan pada tali pusat.
f. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelepasan Plasenta :
1) Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks; kelemahan dan tidak efektifnya kontraksi uterus; kontraksi yang tetanik dari uterus; serta pembentukan constriction ring.
2) Kelainan dari plasenta, misalnya plasenta letak rendah atau plasenta previa; implantasi di cornu; dan adanya plasenta akreta.
3) Kesalahan manajemen kala tiga persalinan , seperti manipulasi dari uterus yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik; pemberian uterotonik yang tidak tepat waktunya yang juga dapat menyebabkan serviks kontraksi dan menahan plasenta; serta pemberian anestesi terutama yang melemahkan kontraksi uterus.
g. Pemeriksaan Penunjang
1) Hitung darah lengkap: untuk menentukan tingkat hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Hct), melihat adanya trombositopenia, serta jumlah leukosit. Pada keadaan yang disertai dengan infeksi, leukosit biasanya meningkat.
2) Menentukan adanya gangguan koagulasi dengan hitung protrombin time (PT) dan activated Partial Tromboplastin Time (aPTT) atau yang sederhana dengan Clotting Time (CT) atau Bleeding Time (BT). Ini penting untuk menyingkirkan perdarahan yang disebabkan oleh faktor lain.
h. Diagnosa Bandin
Meliputi plasenta akreta, suatu plasenta abnormal yang melekat pada miometrium tanpa garis pembelahan fisiologis melalui garis spons desidua.
i. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi meliputi:
1) Komplikasi yang berhubungan dengan transfusi darah yang dilakukan.
2) Multiple organ failure yang berhubungan dengan kolaps sirkulasi dan penurunan perfusi organ.
3) Sepsis
4) Kebutuhan terhadap histerektomi dan hilangnya potensi untuk memiliki anak selanjutnya.
j. Prognosis
Prognosis tergantung dari lamanya, jumlah darah yang hilang, keadaan sebelumnya serta efektifitas terapi. Diagnosa dan penatalaksanaan yang tepat sangat penting.
k. Penatalaksanaan
Penanganan retensio plasenta atau sebagian plasenta adalah:
1) Resusitasi. Pemberian oksigen 100%. Pemasangan IV-line dengan kateter yang berdiameter besar serta pemberian cairan kristaloid (sodium klorida isotonik atau larutan ringer laktat yang hangat, apabila memungkinkan). Monitor jantung, nadi, tekanan darah dan saturasi oksigen. Transfusi darah apabila diperlukan yang dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan darah.
2) Drips oksitosin (oxytocin drips) 20 IU dalam 500 ml larutan Ringer laktat atau NaCl 0.9% (normal saline) sampai uterus berkontraksi.
3) Plasenta coba dilahirkan dengan Brandt Andrews, jika berhasil lanjutkan dengan drips oksitosin untuk mempertahankan uterus.
4) Jika plasenta tidak lepas dicoba dengan tindakan manual plasenta. Indikasi manual plasenta adalah: Perdarahan pada kala tiga persalinan kurang lebih 400 cc, retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir, setelah persalinan buatan yang sulit seperti forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir, tali pusat putus.
5) Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan dapat dikeluarkan dengan tang (cunam) abortus dilanjutkan kuret sisa plasenta. Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase. Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus.
6) Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral.
7) Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk pencegahan infeksi sekunder.
2. PLASENTA REST
a. Pengertian
sisa plasenta merupakan tertinggalnya bagian plasenta dalam uterus yang dapat menimbulkan perdarahan post partum primer atau perdarahan post partum sekunder.
Sewaktu suatu bagian plasenta (satu atau lebih lobus) tertinggal, maka uterus tidak dapat berkontraksi secara efektif dan keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan. Gejala dan tanda yang bisa ditemui adalah perdarahan segera, uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak berkurang.
b. Etiologi
1) Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta ( plasenta adhesiva)
2) Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vili korialis menembus desidua sampai miometrium.
c. Tanda dan gejala
Sisa plasenta dan ketuban yang masih tertinggal dalam rongga rahim dapat menimbulkan perdarahan postpartum dini atau perdarahan pospartum lambat (biasanya terjadi dalam 6 – 10 hari pasca persalinan). Pada perdarahan postpartum dini akibat sisa plasenta ditandai dengan perdarahan dari rongga rahim setelah plasenta lahir dan kontraksi rahim baik. Pada perdarahan postpartum lambat gejalanya sama dengan subinvolusi rahim, yaitu perdarahan yang berulang atau berlangsung terus dan berasal dari rongga rahim. Perdarahan akibat sisa plasenta jarang menimbulkan syok.
Penilaian klinis sulit untuk memastikan adanya sisa plasenta, kecuali apabila penolong persalinan memeriksa kelengkapan plasenta setelah plasenta lahir. Apabila kelahiran plasenta dilakukan oleh orang lain atau terdapat keraguan akan sisa plasenta, maka untuk memastikan adanya sisa plasenta ditentukan dengan eksplorasi dengan tangan, kuret atau alat bantu diagnostik yaitu ultrasonografi. Pada umumnya perdarahan dari rongga rahim setelah plasenta lahir dan kontraksi rahim baik dianggap sebagai akibat sisa plasenta yang tertinggal dalam rongga rahim.
d. Penatalaksanaan
Pengelolaan
1) Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase. Dalam kondisi tertentu apabila memungkinkan, sisa plasenta dapat dikeluarkan secara manual. Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus.
2) Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral.
3) Antibiotika dalam dosis pencegahan sebaiknya diberikan.
Penanganan perdarahan postpartum yang disebabkan oleh sisa plasenta:
1) Penemuan secara dini hanya mungkin dengan melakukan pemeriksaan kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa plasenta dengan perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian besar pasien akan kembali lagi ke tempat bersalin dengan keluhan perdarahan
2) Berikan antibiotika, ampisilin dosis awal 1g IV dilanjutkan dengan 3 x 1g oral dikombinasikan dengan metronidazol 1g supositoria dilanjutkan dengan 3 x 500mg oral.
3) Lakukan eksplorasi (bila servik terbuka) dan mengeluarkan bekuan darah atau jaringan. Bila servik hanya dapat dilalui oleh instrument, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan AMV atau dilatasi dan kuretasi
4) Bila kadar Hb<8 gr% berikan transfusi darah. Bila kadar Hb>8 gr%, berikan sulfas ferosus 600 mg/hari selama 10 hari.
3. PLASENTA AKRETA
a. Pengertian
Plasenta akreta adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan implantasi plasenta yang sangat kuat menempel pada dinding uterus, akibat dari tidak adanya desidua basalis dan ketidaksempurnaan pembentukan lapisan fibrinoid atau lapisan nitabuch. Seperti telah disebutkan sebelumnya lapisan ini menghalangi masuknya trofoblas lebih dalam lagi.
Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian lapisan miometrium.
Plasenta akreta adalah pelekatan abnormal plasenta ke lapisan otot uterus.
1) Pembagian dari keadaan ini ialah:
2) Plasenta akreta: dimana implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai lapisan miometrium.
3) Plasenta inkreta: dimana implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki lapisan miometrium.
4) Plaenta percreta: dimana implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.
b. Etiologi
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa etiologinya ialah kelainanan pada desidua basialis dan tidak terbentuk lapisan fibrinoid (lapisan nitabuch), sehingga jonjot koroin dapat terus masuk untuk berimplantasi. Keadaan yang mempengaruhi hal ini ialah implantasi pada segmen bawa rahim, jaringan parut pada bekas seksiosesar sebelumnya atau bekas insisi pada uterus ataupun bekas kuretase.
Fox melaporkan dari 622 kasus plasenta akreta yang di dapatkan pada tahun 1945 sampai 1969, di temukan karaktristik sebagai berikut :
1) Plasenta previa di temukan pada sepertiga kasus
2) Seperempat kasus ternyata adalah wanita dengan wanita bekas seksiosesar pada persalinan sebelumnya
3) Hampir seperempat kasus sebelumnya mendapatkan kuratase
4) Seperempatnya merupakan kehamilan ke enam atau lebih
Diagnosa pasti dari plasenta akreta,inkreta dan precreta hanya di dapatkan dari hasil pemeriksaan hitopatologi, dengan demikian dapt terlihat sedalam apa invasi dari jonjot korion
c. Tanda dan gejala
Tanda penting dari adanya plasenta akreta ialah pada pemeriksaan luar di dapatkan ikutnya fundus atau korpus uteri apabila tali pusat di tarik tindakan yang dilakukan ialah tindakan operatif
d. Terapi
Plasenta akreta parsialis masih dapat dilepaskan secara manual tetapi plasenta akreta komplit tidak boleh dilepaskan secara manual karena usaha ini dapat menimbulkan perforasi dinding rahim. Terapi terbaik dalam hal ini adalah histerektomi.
D. KOMPLIKASI/ PENYULIT PERSALINAN KALA IV
1. ATONIA UTERI
a. Pengertian
Atonia uteria (relaksasi otot uterus) adalah Uteri tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir). (JNPKR, Asuhan Persalinan Normal, Depkes Jakarta ; 2002)
Atonia Uteri didefinisikan sebagai suatu kondisi kegagalan uterus dalam berkontraksi dengan baik setelah persalinan, sedangkan atonia uteri juga didefinisikan sebagai tidak adanya kontraksi uterus segera setelah plasenta lahir.
Sebagian besar perdarahan pada masa nifas (75-80%) adalah akibat adanya atonia uteri. Sebagaimana kita ketahui bahwa aliran darah uteroplasenta selama masa kehamilan adalah 500-800 ml/menit, sehingga bisa kita bayangkan ketika uterus itu tidak berkontraksi selama beberapa menit saja, maka akan menyebabkan kehilangan darah yang sangat banyak. Sedangkan volume darah manusia hanya berkisar 5-6 liter saja.
b. Etiologi
Dalam kasus atonia uteri penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Namun demikian ada beberapa faktor predisposisi yang biasa dikenal. Antara lain:
1) Distensi rahim yang berlebihan
Penyebab distensi uterus yang berlebihan antara lain:
a) kehamilan ganda
b) poli hidramnion
c) makrosomia janin (janin besar)
Peregangan uterus yang berlebihan karena sebab-sebab tersebut akan mengakibatkan uterus tidak mampu berkontraksi segera setelah plasenta lahir.
2) Pemanjangan masa persalinan (partus lama) dan sulit
Pada partus lama uterus dalam kondisi yang sangat lelah, sehingga otot-otot rahim tidak mampu melakukan kontraksi segera setelah plasenta lahir.
3) Grandemulitpara (paritas 5 atau lebih)
Kehamilan seorang ibu yang berulang kali, maka uterus juga akan berulang kali teregang. Hal ini akan menurunkan kemampuan berkontraksi dari uterus segera setelah plasenta lahir.
4) Kehamilan dengan mioma uterus
Mioma yang paling sering menjadi penyebab perdarahan post partum adalah mioma intra mular, dimana mioma berada di dalam miometrium sehingga akan menghalangi uterus berkontraksi.
5) Persalinan buatan (SC, Forcep dan vakum ekstraksi)
Persalinan buatan mengakibatkan otot uterus dipaksa untuk segera mengeluarkan buah kehamilan dengan segera sehingga pada pasca salin menjadi lelah dan lemah untuk berkontraksi.
6) Persalinan lewat waktu
Peregangan yang berlebihan ada otot uterus karena besarnya kehamilan, ataupun juga terlalu lama menahan beban janin di dalamnya menjadikan otot uterus lelah dan lemah untuk berkontraksi.
7) Infeksi intrapartum
Korioamnionitis adalah infeksi dari korion saat intrapartum yang potensial akan menjalar pada otot uterus sehingga menjadi infeksi dan menyebabkan gangguan untuk melakukan kontraksi.
8) Persalinan yang cepat
Persalainan cepat mengakibatkan otot uterus dipaksa untuk segera mengeluarkan buah kehamilan dengan segera sehingga pada pasca salin menjadi lelah dan lemah untuk berkontraksi.
9) Kelainan plasenta
Plasenta akreta, plasenta previa dan plasenta lepas prematur mengakibatkan gangguan uterus untuk berkontraksi. Adanya benda asing menghalangi kontraksi yang baik untuk mencegah terjadinya perdarahan.
10) Anastesi atau analgesik yang kuat
Obat anastesi atau analgesi dapat menyebabkan otot uterus menjadi dalam kondisi relaksasi yang berlebih, sehingga saat dibutuhkan untuk berkontraksi menjadi tertunda atau terganggu. Demikian juga dengan magnesium sulfat yang digunakan untuk mengendalikan kejang pada preeklamsi/eklamsi yang berfungsi sebagai sedativa atau penenang.
11) Induksi atau augmentasi persalinan
Obat-obatan uterotonika yang digunakan untuk memaksa uterus berkontraksi saat proses persalinan mengakibatkan otot uterus menjadi lelah.
12) Penyakit sekunder maternal
Anemia, endometritis, kematian janin dan koagulasi intravaskulere diseminata merupakan penyebab gangguan pembekuan darah yang mengakibatkan tonus uterus terhambat untuk berkontraksi.
c. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala atonia uteri adalah:
1) Perdarahan pervaginam
Perdarahan yang terjadi pada kasus atonia uteri sangat banyak dan darah tidak merembes. Yang sering terjadi adalah darah keluar disertai gumpalan, hal ini terjadi karena tromboplastin sudah tidak mampu lagi sebagai anti pembeku darah.
2) Konsistensi rahim lunak
Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia dan yang membedakan atonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya.
3) Fundus uteri naik
Disebabkan adanya darah yang terperangkap dalam cavum uteri dan menggumpal
4) Terdapat tanda-tanda syok
Tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas dingin, gelisah, mual dan lain-lain.
d. Pencegahan Atonia Uteri
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi. Menejemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah.
Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani seperti ergometrin. Pemberian oksitosin paling bermanfaat untuk mencegah atonia uteri. Pada manajemen kala III harus dilakukan pemberian oksitosin setelah bayi lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit IM, 5 unit IV bolus atau 10-20 unit per liter IV drip 100-150 cc/jam.
Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti sebagai uterotonika untuk mencegah dan mengatasi perdarahan pospartum dini. Karbetosin merupakan obat long-acting dan onset kerjanya cepat, mempunyai waktu paruh 40 menit dibandingkan oksitosin 4-10 menit. Penelitian di Canada membandingkan antara pemberian karbetosin bolus IV dengan oksitosin drip pada pasien yang dilakukan operasi sesar. Karbetosin ternyata lebih efektif dibanding oksitosin.
e. Manajemen Atonia Uteri
1) Resusitasi
Apabila terjadi perdarahan pospartum banyak, maka penanganan awal yaitu resusitasi dengan oksigenasi dan pemberian cairan cepat, monitoring tanda-tanda vital, monitoring jumlah urin, dan monitoring saturasi oksigen. Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk persiapan transfusi darah.
2) Masase dan kompresi bimanual
Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus yang akan menghentikan perdarahan.
Pemijatan fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta (max 15 detik)
a) Jika uterus berkontraksi
Evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi perdarahan uterus berlangsung, periksa apakah perineum / vagina dan serviks mengalami laserasi dan jahit atau rujuk segera
b) Jika uterus tidak berkontraksi maka :
Bersihkanlah bekuan darah atau selaput ketuban dari vagina & lobang serviks
Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong
Lakukan kompresi bimanual internal (KBI) selama 5 menit.
a) Jika uterus berkontraksi, teruskan KBI selama 2 menit, keluarkan tangan perlahan-lahan dan pantau kala empat dengan ketat.
b) Jika uterus tidak berkontraksi, maka : Anjurkan keluarga untuk mulai melakukan kompresi bimanual eksternal; Keluarkan tangan perlahan-lahan; Berikan ergometrin 0,2 mg LM (jangan diberikan jika hipertensi); Pasang infus menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 500 ml RL + 20 unit oksitosin. Habiskan 500 ml pertama secepat mungkin; Ulangi KBI
c) Jika uterus berkontraksi, pantau ibu dengan seksama selama kala empat
d) Jika uterus tidak berkontraksi maka rujuk segera
3) Uterotonika
Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring dengan meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis rendah oksitosin menguatkan kontraksi dan meningkatkan frekwensi, tetapi pada dosis tinggi menyababkan tetani. Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif diberikan lewat infus dengan ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal (IMM). Efek samping pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan.
Metilergonovin maleat merupakan golongan ergot alkaloid yang dapat menyebabkan tetani uteri setelah 5 menit pemberian IM. Dapat diberikan secara IM 0,25 mg, dapat diulang setiap 5 menit sampai dosis maksimum 1,25 mg, dapat juga diberikan langsung pada miometrium jika diperlukan (IMM) atau IV bolus 0,125 mg. obat ini dikenal dapat menyebabkan vasospasme perifer dan hipertensi, dapat juga menimbulkan nausea dan vomitus. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan hipertensi.
Uterotonika prostaglandin merupakan sintetik analog 15 metil prostaglandin F2alfa. Dapat diberikan secara intramiometrikal, intraservikal, transvaginal, intravenous, intramuscular, dan rectal. Pemberian secara IM atau IMM 0,25 mg, yang dapat diulang setiap 15 menit sampai dosis maksimum 2 mg. Pemberian secara rektal dapat dipakai untuk mengatasi perdarahan pospartum (5 tablet 200 µg = 1 g). Prostaglandin ini merupakan uterotonika yang efektif tetapi dapat menimbulkan efek samping prostaglandin seperti: nausea, vomitus, diare, sakit kepala, hipertensi dan bronkospasme yang disebabkan kontraksi otot halus, bekerja juga pada sistem termoregulasi sentral, sehingga kadang-kadang menyebabkan muka kemerahan, berkeringat, dan gelisah yang disebabkan peningkatan basal temperatur, hal ini menyebabkan penurunan saturasi oksigen. Uterotonika ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan kelainan kardiovaskular, pulmonal, dan disfungsi hepatik. Efek samping serius penggunaannya jarang ditemukan dan sebagian besar dapat hilang sendiri. Dari beberapa laporan kasus penggunaan prostaglandin efektif untuk mengatasi perdarahan persisten yang disebabkan atonia uteri dengan angka kesuksesan 84%-96%. Perdarahan pospartum dini sebagian besar disebabkan oleh atonia uteri maka perlu dipertimbangkan penggunaan uterotonika ini untuk mengatasi perdarahan masif yang terjadi.
4) Uterine lavage dan Uterine Packing
Jika uterotonika gagal menghentikan perdarahan, pemberian air panas ke dalam cavum uteri mungkin dapat bermanfaat untuk mengatasi atonia uteri. Pemberian 1-2 liter salin 47°C-50°C langsung ke dalam cavum uteri menggunakan pipa infus. Tangan operator tidak boleh menghalangi vagina untuk memberi jalan salin keluar.
Penggunaan uterine packing saat ini tidak disukai dan masih kontroversial. Efeknya adalah hiperdistended uterus dan sebagai tampon uterus.
Prinsipnya adalah membuat distensi maksimum sehingga memberikan tekanan maksimum pada dinding uterus. Segmen bawah rahim harus terisi sekuat mungkin, anestesi dibutuhkan dalam penanganan ini dan antibiotika broad-spectrum harus diberikan. Uterine packing dipasang selama 24-36 jam, sambil memberikan resusitasi cairan dan transfusi darah masuk. Uterine packing diberikan jika tidak tersedia fasilitas operasi atau kondisi pasien tidak memungkinkan dilakukan operasi.
5) Operatif
Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka keberhasilan 80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina yang berjalan disamping uterus setinggi batas atas segmen bawah rahim. Jika dilakukan SC, ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah irisan segmen bawah rahim. Untuk melakukan ini diperlukan jarum atraumatik yang besar dan benang absorbable yang sesuai. Arteri dan vena uterina diligasi dengan melewatkan jarum 2-3 cm medial vasa uterina, masuk ke miometrium keluar di bagian avaskular ligamentum latum lateral vasa uterina. Saat melakukan ligasi hindari rusaknya vasa uterina dan ligasi harus mengenai cabang asenden arteri miometrium, untuk itu penting untuk menyertakan 2-3 cm miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan jika langkah diatas tidak efektif dan jika terjadi perdarahan pada segmen bawah rahim. Dengan menyisihkan vesika urinaria, ligasi kedua dilakukan bilateral pada vasa uterina bagian bawah, 3-4 cm dibawah ligasi vasa uterina atas. Ligasi ini harus mengenai sebagian besar cabang arteri uterina pada segmen bawah rahim dan cabang arteri uterina yang menuju ke servik, jika perdarahan masih terus berlangsung perlu dilakukan bilateral atau unilateral ligasi vasa ovarian.
a) Ligasi arteri Iliaka Interna
Identiffikasi bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk melakukannya harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral paralel dengan garis ureter. Setelah peritoneum dibuka, ureter ditarik ke medial kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka interna dan eksterna. Klem dilewatkan dibelakang arteri, dan dengan menggunakan benang non absobable dilakukan dua ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm. Hindari trauma pada vena iliaka interna. Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis harus dilakukan sebelum dan sesudah ligasi.
Risiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat menyebabkan perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter harus mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien.
b) Teknik B-Lynch
Teknik B-Lynch dikenal juga dengan “brace suture”, ditemukan oleh Christopher B Lynch 1997, sebagai tindakan operatif alternative untuk mengatasi perdarahan pospartum akibat atonia uteri.
c) Histerektomi
Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering dilakukan jika terjadi perdarahan pospartum masif yang membutuhkan tindakan operatif. Insidensi mencapai 7-13 per 10.000 kelahiran, dan lebih banyak terjadi pada persalinan abdominal dibandingkan vaginal.
2. PERDARAHAN KALA IV
a. Pengertian
Perdarahan postpartum adalah perdarahan lebih dari 500-600 ml selama 24 jam setelah anak lahir. Termasuk perdarahan karena retensio plasenta. Perdarahan post partum adalah perdarahan dalam kala IV lebih dari 500-600 cc dalam 24 jam setelah anak dan plasenta lahir (Prof. Dr. Rustam Mochtar, MPH, 1998).
Haemoragic Post Partum (HPP) adalah hilangnya darah lebih dari 500 ml dalam 24 jam pertama setelah lahirnya bayi (Williams, 1998)
HPP biasanya kehilangan darah lebih dari 500 ml selama atau setelah kelahiran (Marylin E Dongoes, 2001).
Perdarahan Post partum diklasifikasikan menjadi 2, yaitu:
1) Early Postpartum : Terjadi 24 jam pertama setelah bayi lahir
2) Late Postpartum : Terjadi lebih dari 24 jam pertama setelah bayi lahir
b. Etiologi
Penyebab umum perdarahan postpartum adalah:
a) Atonia Uteri
b) Retensi Plasenta
c) Sisa Plasenta dan selaput ketuban
1) Pelekatan yang abnormal (plasaenta akreta dan perkreta)
2) Tidak ada kelainan perlekatan (plasenta seccenturia)
d) Trauma jalan lahir
Episiotomi yang lebar
Lacerasi perineum, vagina, serviks, forniks dan rahim
Rupture uteri
e) Penyakit darah
Kelainan pembekuan darah misalnya afibrinogenemia /hipofibrinogenemia.
Tanda yang sering dijumpai :
1) Perdarahan yang banyak.
2) Solusio plasenta.
3) Kematian janin yang lama dalam kandungan.
4) Pre eklampsia dan eklampsia.
5) Infeksi, hepatitis dan syok septik.
d) Hematoma
e) Inversi Uterus
f) Subinvolusi UterusHal-hal yang dicurigai akan menimbulkan perdarahan pasca persalinan. Yaitu;
1) Riwayat persalinan yang kurang baik, misalnya:
• Riwayat perdarahan pada persalinan yang terdahulu.
• Grande multipara (lebih dari empat anak).
• Jarak kehamilan yang dekat (kurang dari dua tahun).
• Bekas operasi Caesar.
• Pernah abortus (keguguran) sebelumnya.
2) Hasil pemeriksaan waktu bersalin, misalnya:
• Persalinan/kala II yang terlalu cepat, sebagai contoh setelah ekstraksi vakum, forsep.
• Uterus terlalu teregang, misalnya pada hidramnion, kehamilan kembar, anak besar.
• Uterus yang kelelahan, persalinan lama.
• Uterus yang lembek akibat narkosa.
• Inversi uteri primer dan sekunder.
c. Tanda dan gejala
Gejala klinis umum yang terjadi ialah kehhilangan darah dalam jumlah banyak > 500 ml ), nadi lemah, pucat, lochea berwarna merah, haus, pusing, gelisah, letih dan dapat terjadi syol hipovolemik, tekanan darah rendah, ekstremitas dingin, mual.
Gejala Klinis berdasarkan penyebab:
1) Atonia Uteri:
Gejala yang selalu ada: Uterus tidak berkontraksi dan lembek dan perdarahan segera setelah anak lahir (perarahan postpartum primer)
Gejala yang kadang-kadang timbul: Syok (tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas dingin, gelisah, mual dan lain-lain)
2) Robekan jalan lahir
Gejala yang selalu ada: perdarahan segera, darah segar mengalir segera setelah bayi lahir, kontraksi uteru baik, plasenta baik.
Gejala yang kadang-kadang timbul: pucat, lemah, menggigil.
3) Retensio plasenta
Gejala yang selalu ada: plasenta belum lahir setelah 30 menit, perdarahan segera, kontraksi uterus baik
Gejala yang kadang-kadang timbul: tali pusat putus akibat traksi berlebihan, inversi uteri akibat tarikan, perdarahan lanjutan
4) Tertinggalnya plasenta (sisa plasenta)
Gejala yang selalu ada : plasenta atau sebagian selaput (mengandung pembuluh darah ) tidak lengkap dan perdarahan segera
Gejala yang kadang-kadang timbul: Uterus berkontraksi baik tetapi tinggi fundus tidak berkurang.
5) Inversio uterus
Gejala yang selalu ada: uterus tidak teraba, lumen vagina terisi massa, tampak tali pusat (jika plasenta belum lahir), perdarahan segera, dan nyeri sedikit atau berat.
Gejala yang kadang-kadang timbul: Syok neurogenik dan pucatIV. Patofisiologi
Dalam persalinan pembuluh darah yang ada di uterus melebar untuk meningkatkan sirkulasi ke sana, atoni uteri dan subinvolusi uterus menyebabkan kontraksi uterus menurun sehingga pembuluh darah-pembuluh darah yang melebar tadi tidak menutup sempurna sehingga perdarahan terjadi terus menerus. Trauma jalan lahir seperti epiostomi yang lebar, laserasi perineum, dan rupture uteri juga menyebabkan perdarahan karena terbukanya pembuluh darah, penyakit darah pada ibu; misalnya afibrinogemia atau hipofibrinogemia karena tidak ada atau kurangnya fibrin untuk membantu proses pembekuan darah juga merupakan penyebab dari perdarahan postpartum. Perdarahan yang sulit dihentikan bisa mendorong pada keadaan shock hemoragik.
Perbedaan perdarahan pasca persalinan karena atonia uteri dan robekan jalan lahir adalah:
a) Atonia uteri (sebelum/sesudah plasenta lahir).
• Kontraksi uterus lembek, lemah, dan membesar (fundus uteri masih tinggi.
• Perdarahan terjadi beberapa menit setelah anak lahir.
• Bila kontraksi lemah, setelah masase atau pemberian uterotonika, kontraksi yang lemah tersebut menjadi kuat.
b) Robekan jalan lahir (robekan jaringan lunak).
• Kontraksi uterus kuat, keras dan mengecil.
• Perdarahan terjadi langsung setelah anak lahir. Perdarahan ini terus-menerus. Penanganannya, ambil spekulum dan cari robekan.
• Setelah dilakukan masase atau pemberian uterotonika langsung uterus mengeras tapi perdarahan tidak berkurang.
Perdarahan Postpartum akibat Atonia Uteri
Perdarahan postpartum dapat terjadi karena terlepasnya sebagian plasenta dari rahim dan sebagian lagi belum; karena perlukaan pada jalan lahir atau karena atonia uteri. Atoni uteri merupakan sebab terpenting perdarahan postpartum.
Atonia uteri dapat terjadi karena proses persalinan yang lama; pembesaran rahim yang berlebihan pada waktu hamil seperti pada hamil kembar atau janin besar; persalinan yang sering (multiparitas) atau anestesi yang dalam. Atonia uteri juga dapat terjadi bila ada usaha mengeluarkan plasenta dengan memijat dan mendorong rahim ke bawah sementara plasenta belum lepas dari rahim.
Perdarahan yang banyak dalam waktu pendek dapat segera diketahui. Tapi bila perdarahan sedikit dalam waktu lama tanpa disadari penderita telah kehilangan banyak darah sebelum tampak pucat dan gejala lainnya. Pada perdarahan karena atonia uteri, rahim membesar dan lembek.Terapi terbaik adalah pencegahan. Anemia pada kehamilan harus diobati karena perdarahan yang normal pun dapat membahayakan seorang ibu yang telah mengalami anemia. Bila sebelumnya pernah mengalami perdarahan postpartum, persalinan berikutnya harus di rumah sakit. Pada persalinan yang lama diupayakan agar jangan sampai terlalu lelah. Rahim jangan dipijat dan didorong ke bawah sebelum plasenta lepas dari dinding rahim.
Pada perdarahan yang timbul setelah janin lahir dilakukan upaya penghentian perdarahan secepat mungkin dan mengangatasi akibat perdarahan. Pada perdarahan yang disebabkan atonia uteri dilakukan massage rahim dan suntikan ergometrin ke dalam pembuluh balik. Bila tidak memberi hasil yang diharapkan dalam waktu singkat, dilakukan kompresi bimanual pada rahim, bila perlu dilakukan tamponade utero vaginal, yaitu dimasukkan tampon kasa kedalam rahim sampai rongga rahim terisi penuh. Pada perdarahan postpartum ada kemungkinann dilakukan pengikatan pembuluh nadi yang mensuplai darah ke rahim atau pengangkatan rahim.
Penilaian Klinik
Tabel II.1. Penilaian Klinik untuk Menentukan Derajat Syok
Volume Kehilangan Darah Tekanan Darah (sistolik) Gejala dan Tanda Derajat Syok
500-1.000 mL
(10-15%) Normal Palpitasi, takikardia, pusing Terkompensasi
1000-1500 mL (15-25%) Penurunan ringan (80-100 mm Hg) Lemah, takikardia, berkeringat Ringan
1500-2000 mL (25-35%) Penurunan sedang (70-80 mm Hg) Gelisah, pucat, oliguria Sedang
2000-3000 mL (35-50%) Penurunan tajam (50-70 mm Hg) Pingsan, hipoksia, anuria Berat
d. Patofisiologi
Dalam persalinan pembuluh darah yang ada di uterus terus melebar untuk meningkatkan sirkulasi ke sana, atoni uteri dan subinvolusi uterus menyebabkan kontraksi uterus menurun sehingga pembuluh darah – pembuluh darah yang melebar tadi tidak menutup sempurna sehingga perdarahan terjadi tterus menerus. Trauma jalan lahir seperti epiotomi yang lebar, laserasi perineum, dan rupture uteri juga menyebabkan perdarahan karena terbukanya pembuluh darah. Penyakit pada darah ibu misalnya afibrinogemia atau hipofibrinogemia karena tidak adanya atau kurangnya fibrin untuk membantu proses pembekuan darah juga merupakan penyebab dari perdarahan postpartum. Perdarahan yang sulit dihentikan bisa mendorong pada keadaan shock hemoragik.
e. Pemeriksaan Penunjang
1) Hitung darah lengkap
Untuk menetukan tinghkat hemoglobin ( Hb ) dan hematokrit ( Hct ), melihat adanya trombositopenia, serta jumlah leukosit. Pada keadaan yang disertai dengan infeksi
2) Menentukan adanya gangguan kongulasi
Dengan hitung protombrin time ( PT ) dan activated Partial Tromboplastin Time ( aPTT ) atau yang sederhanadengan Clotting Time ( CT ) atau Bleeding Time ( BT ). Ini penting untuk menyingkirkan garis spons desidua.
f. Penatalaksanaan
Penanganan perdarahan post partum berupa mencegah perdarahan post partum, mengobati perdarahan kala uri dan mengobati perdarahan post partum pada atoni uteri.
Cara mencegah perdarahan post partum yaitu memeriksa keadaan fisik, keadaan umum, kadar hemoglobin, golongan darah dan bila mungkin tersedia donor darah. Sambil mengawasi persalinan, dipersiapkan keperluan untuk infus dan obat-obatan penguat rahim (uterotonika). Setelah ketuban pecah, kepala janin mulai membuka vulva, infus dipasang dan sewaktu bayi lahir diberikan 1 ampul methergin atau kombinasi dengan 5 satuan sintosinon (sintometrin intravena). Hasilnya biasanya memuaskan.
Cara mengobati perdarahan kala uri :
1) Memberikan oksitosin.
2) Mengeluarkan plasenta menurut cara Credee (1-2 kali).
3) Mengeluarkan plasenta dengan tangan.
Pengeluaran plasenta dengan tangan segera sesudah janin lahir dilakukan bila :
1) Menyangka akan terjadi perdarahan post partum.
2) Perdarahan banyak (lebih 500 cc).
3) Retensio plasenta.
4) Melakukan tindakan obstetri dalam narkossa.
5) Riwayat perdarahan post partum pada perssalinan yang lalu.
Jika masih ada sisa-sisa plasenta yang agak melekat dan masih terdapat perdarahan segera lakukan utero-vaginal tamponade selama 24 jam, diikuti pemberian uterotonika dan antibiotika selama 3 hari berturut-turut dan pada hari ke-4 baru dilakukan kuretase untuk membersihkannya.
Jika disebabkan oleh luka-luka jalan lahir, luka segera dijahit dan perdarahan akan berhenti.
Pengobatan perdarahan post partum pada atoni uteri tergantung banyaknya perdarahan dan derajat atoni uteri yang dibagi dalam 3 tahap :
1. Tahap I : perdarahan yang tidak banyak dapat diatasi dengan memberikan uterotonika, mengurut rahim (massage) dan memasang gurita.
2. Tahap II : bila perdarahan belum berhenti dan bertambah banyak, selanjutnya berikan infus dan transfusi darah lalu dapat lakukan :
a. Perasat (manuver) Zangemeister.
b. Perasat (manuver) Fritch.
c. Kompresi bimanual.
d. Kompresi aorta.
e. Tamponade utero-vaginal.
f. Jepit arteri uterina dengan cara Henkel.
b. Tahap III : bila belum tertolong maka usaha terakhir adalah menghilangkan sumber perdarahan dengan 2 cara yaitu meligasi arteri hipogastrika atau histerektomi.
Pasien dengan perdarahan post partum harus ditangani dalam 2 komponen, yaitu: (1) resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok hipovolemik dan (2) identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan post partum3.
Resusitasi cairan
Pengangkatan kaki dapat meningkatkan aliran darah balik vena sehingga dapat memberi waktu untuk menegakkan diagnosis dan menangani penyebab perdarahan. Perlu dilakukan pemberian oksigen dan akses intravena. Selama persalinan perlu dipasang peling tidak 1 jalur intravena pada wanita dengan resiko perdarahan post partum, dan dipertimbangkan jalur kedua pada pasien dengan resiko sangat tinggi.
Berikan resusitasi dengan cairan kristaloid dalam volume yang besar, baik normal salin (NS/NaCl) atau cairan Ringer Laktat melalui akses intravena perifer. NS merupakan cairan yang cocok pada saat persalinan karena biaya yang ringan dan kompatibilitasnya dengan sebagian besar obat dan transfusi darah. Resiko terjadinya asidosis hiperkloremik sangat rendah dalam hubungan dengan perdarahan post partum. Bila dibutuhkan cairan kristaloid dalam jumlah banyak (>10 L), dapat dipertimbangkan pengunaan cairan Ringer Laktat.
Cairan yang mengandung dekstrosa, seperti D 5% tidak memiliki peran pada penanganan perdarahan post partum. Perlu diingat bahwa kehilangan I L darah perlu penggantian 4-5 L kristaloid, karena sebagian besar cairan infus tidak tertahan di ruang intravasluler, tetapi terjadi pergeseran ke ruang interstisial. Pergeseran ini bersamaan dengan penggunaan oksitosin, dapat menyebabkan edema perifer pada hari-hari setelah perdarahan post partum. Ginjal normal dengan mudah mengekskresi kelebihan cairan. Perdarahan post partum lebih dari 1.500 mL pada wanita hamil yang normal dapat ditangani cukup dengan infus kristaloid jika penyebab perdarahan dapat tertangani. Kehilanagn darah yang banyak, biasanya membutuhkan penambahan transfusi sel darah merah.
Cairan koloid dalam jumlah besar (1.000 – 1.500 mL/hari) dapat menyebabkan efek yang buruk pada hemostasis. Tidak ada cairan koloid yang terbukti lebih baik dibandingkan NS, dan karena harga serta resiko terjadinya efek yang tidak diharapkan pada pemberian koloid, maka cairan kristaloid tetap direkomendasikan.
Transfusi Darah
Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan masih terus berlanjut dan diperkirakan akan melebihi 2.000 mL atau keadaan klinis pasien menunjukkan tanda-tanda syok walaupun telah dilakukan resusitasi cepat3.
PRC digunakan dengan komponen darah lain dan diberikan jika terdapat indikasi. Para klinisi harus memperhatikan darah transfusi, berkaitan dengan waktu, tipe dan jumlah produk darah yang tersedia dalam keadaan gawat.
Tujuan transfusi adalah memasukkan 2 – 4 unit PRC untuk menggantikan pembawa oksigen yang hilang dan untuk mengembalikan volume sirkulasi. PRC bersifat sangat kental yang dapat menurunkan jumlah tetesan infus. Msalah ini dapat diatasi dengan menambahkan 100 mL NS pada masing-masing unit. Jangan menggunakan cairan Ringer Laktat untuk tujuan ini karena kalsium yang dikandungnya dapat menyebabkan penjendalan.
Tabel II.3. Jenis uterotonika dan cara pemberiannya
Jenis dan Cara Oksitosin Ergometrin Misoprostol
Dosis dan cara pemberian awal IV: 20 U dalam 1
L larutan garam
fisiologis dengan
tetesan cepat
IM: 10 U IM atau IV (lambat): 0,2 mg Oral atau rektal 400 mg
Dosis lanjutan IV: 20 U dalam 1
L larutan garam
fisiologis dengan
40 tetes/menit Ulangi 0,2 mg IM setelah 15 menit
Bila masih diperlukan, beri IM/IV setiap 2-4 jam 400 mg 2-4 jam setelah dosis awal
Dosis maksimal per hari Tidak lebih dari 3 L larutan fisiologis Total 1 mg (5 dosis) Total 1200 mg atau 3 dosis
Kontraindikasi atau hati-hati Pemberian IV secara cepat atau bolus Preeklampsia, vitium kordis, hipertensi Nyeri kontraksi
Asma
Pencegahan
Bukti dan penelitian menunjukkan bahwa penanganan aktif pada persalinan kala III dapat menurunkan insidensi dan tingkat keparahan perdarahan post partum3. Penanganan aktif merupakan kombinasi dari hal-hal berikut:
1. Pemberian uterotonik (dianjurkan oksitosin) segera setelah bayi dilahirkan.
2. Penjepitan dan pemotongan tali pusat dengan cepat dan tepat
3. Penarikan tali pusat yang lembut dengan traksi balik uterus ketika uterus berkontraksi dengan baik
3. RUPTUR JALAN LAHIR
a. Pengertian
Perdarahan dalam keadaan dimana plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi rahim baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan jalan lahir. Perlukaan jalan lahin terdiri dari :
1. Robekan Perinium
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengan dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu panggul bawah dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia suboksipito bregmatika
Perinium merupakan kumpulan berbagai jaringan yang membentuk perinium (Cunningham,1995). Terletak antara vulva dan anus, panjangnya kira-kira 4 cm (Prawirohardjo, 1999). Jaringan yang terutama menopang perinium adalah diafragma pelvis dan urogenital. Diafragma pelvis terdiri dari muskulus levator ani dan muskulus koksigis di bagian posterior serta selubung fasia dari otot-otot ini. Muskulus levator ani membentuk sabuk otot yang lebar bermula dari permukaan posterior ramus phubis superior, dari permukaan dalam spina ishiaka dan dari fasia obturatorius.
Serabut otot berinsersi pada tempat-tempat berikut ini: di sekitar vagina dan rektum, membentuk sfingter yang efisien untuk keduanya, pada persatuan garis tengah antara vagina dan rektum, pada persatuan garis tengah di bawah rektum dan pada tulang ekor. Diafragma urogenitalis terletak di sebelah luar diafragma pelvis, yaitu di daerah segitiga antara tuberositas iskial dan simpisis phubis. Diafragma urogenital terdiri dari muskulus perinialis transversalis profunda, muskulus konstriktor uretra dan selubung fasia interna dan eksterna (Cunningham, 1995).
Persatuan antara mediana levatorani yang terletak antara anus dan vagina diperkuat oleh tendon sentralis perinium, tempat bersatu bulbokavernosus, muskulus perinialis transversalis superfisial dan sfingter ani eksterna. Jaringan ini yang membentuk korpus perinialis dan merupakan pendukung utama perinium, sering robek selama persalinan, kecuali dilakukan episiotomi yang memadai pada saat yang tepat. Infeksi setempat pada luka episiotomi merupakan infeksi masa puerperium yang paling sering ditemukan pada genetalia eksterna.
LukaPerinium
Luka perinium adalah perlukaan yang terjadi akibat persalinan pada bagian perinium dimana muka janin menghadap (Prawirohardjo S,1999).
Luka perinium, dibagi atas 4tingkatan :
a) Tingkat I : Robekan hanya pada selaput lender vagina dengan atau tanpa mengenai kulit perinium
b) Tingkat II : Robekan mengenai selaput lender vagina dan otot perinea transversalis, tetapi tidak mengenai spingter ani
c) Tingkat III : Robekan mengenai seluruh perinium dan otot spingter ani
d) Tingkat IV : Robekan sampai mukosa rektum
2) Robekan Serviks
Robekan serviks paling sering terjadi pada jam 3 dan 9. bibir depan dan bibir belakang servik dijepit dengan klem fenster kemudian serviks ditariksedidikit untuk menentukan letak robekan dan ujung robekan. Selanjutnya robekan dijahit dengan catgut kromik dimulai dari ujung untuk menghentikan perdarahan.
3) Rupture Uteri
Ruptur uteri merupakan peristiwa yang paling gawat dalam bidang kebidanan karena angka kematiannya yang tinggi. Janin pada ruptur uteri yang terjadi di luar rumah sakit sudah dapat dipastikan meninggal dalam kavum abdomen.
Ruptura uteri masih sering dijumpai di Indonesia karena persalinan masih banyak ditolong oleh dukun. Dukun seagian besar belum mengetahui mekanisme persalinan yang benar, sehingga kemacetan proses persalinan dilakukan dengan dorongan pada fundus uteri dan dapat mempercepat terjadinya rupturauteri.
Menurut Sarwono Prawirohardjo pengertian ruptura uteri adalah robekan atau diskontinuitas dinding rahim akiat dilampauinya daya regang mio metrium. Penyebab ruptura uteri adalah disproporsi janin dan panggul, partus macet atau traumatik. Ruptura uteri termasuk salahs at diagnosis banding apabila wanita dalam persalinan lama mengeluh nyeri hebat pada perut bawah, diikuti dengan syok dan perdarahan pervaginam. Robekan tersebut dapat mencapai kandung kemih dan organ vital di sekitarnya.
Resiko infeksi sangat tinggi dan angka kematian bayi sangat tinggi pada kasus ini. Ruptura uteri inkomplit yang menyebabkan hematoma pada para metrium, kadang-kadang sangat sulit untuk segera dikenali sehingga menimbulkan komplikasi serius atau bahkan kematian. Syok yang terjadi seringkali tidak sesuai dengan jumlah darah keluar karena perdarhan heat dapat terjadi ke dalam kavum abdomen. Keadaan-keadaan seperti ini, sangat perlu untuk diwaspadai pada partus lama atau kasep.
Ruptur Uteri adalah robekan atau diskontinuita dinding rahim akibat dilampauinya daya regang miomentrium. ( buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal ). Rupture uteri adalah robeknya dinding uterus pada saat kehamilan atau dalam persalinan dengan atau tanpa robeknya perioneum visceral.( Obstetri dan Ginekologi ).
Ruptur uteri dapat dibagi menurut beberapa cara :
1. Menurut waktu terjadinya
a. R. u. Gravidarum
Waktu sedang hamil
Sering lokasinya pada korpus
b. R. u. Durante Partum
Waktu melahirkan anak
Ini yang terbanyak
2. Menurut lokasinya:
a. Korpus uteri, ini biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi seperti seksio sesarea klasik ( korporal ), miemoktomi
b. Segmen bawah rahim ( SBR ), ini biasanya terjadi pada partus yang sulit dan lama tidak maju, SBR tambah lama tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah ruptur uteri yang sebenarnya
c. Serviks uteri ini biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsipal atau versi dan ekstraksi sedang pembukaan belum lengkap
d. Kolpoporeksis, robekan-robekan di antara serviks dan vagina
3. Menurut robeknya peritoneum
a. R. u. Kompleta : robekan pada dinding uterus berikut peritoneumnya ( perimetrium ) ; dalam hal ini terjadi hubungan langsung antara rongga perut dan rongga uterus dengan bahaya peritonitis
b. R. u. Inkompleta : robekan otot rahim tanpa ikut robek peritoneumnya. Perdarahan terjadi subperitoneal dan bisa meluas ke lig.latum
4. Menurut etiologinya
Ruptur uteri spontanea
Menurut etiologinya dibagi 2 :
a) Karena dinding rahim yang lemah dan cacat bekas seksio sesarea bekas miomectomia
b) bekas perforasi waktu keratase.
Pembagian rupture uteri menurut robeknya dibagi menjadi :
a. Ruptur uteri kompleta
1) Jaringan peritoneum ikut robek
2) Janin terlempar ke ruangan abdomen
3) Terjadi perdarahan ke dalam ruangan abdomen
4) Mudah terjadi infeksi
b. Ruptura uteri inkompleta
1) Jaringan peritoneum tidak ikut robek
2) Janin tidak terlempar ke dalam ruangan abdomen
3) Perdarahan ke dalam ruangan abdomen tidak terjadi
4) Perdarahan dapat dalam bentuk hematoma
b. Etiologi
1) Robekan perinium
Umumnya terjadi pada persalinan
a) Kepala janin terlalu cepat lahir
b) Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya
c) Jaringan parut pada perinium
d) Distosia bahu
2) Robekan serviks
a) Partus presipitatus
b) Trauma krn pemakaian alat-alat operasi
c) Melahirkan kepala pd letak sungsang scr paksa, pembukaan belum lengkap
d) Partus lama
3) Ruptur Uteri
a) riwayat pembedahan terhadap fundus atau korpus uterus
b) induksi dengan oksitosin yang sembarangan atau persalinan yang lama
c) presentasi abnormal ( terutama terjadi penipisan pada segmen bawah uterus ).( Helen, 2001 )
d) panggul sempit
e) letak lintang
f) hydrosephalus
g) tumor yg menghalangi jalan lahir
h) presentasi dahi atau muka
c. Patofisiologi
1) Robekan Perinium
Robekan perineum terjadi pada semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindarkan atau dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat, sebaliknya kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlampau kuat dan lama, karena akan menyebabkan asfiksia dan pendarahan dalam tengkorok janin, dan melemahkan otot-otot dan fasia pada dasar panggul karena diregangkan terlalu lama.
Robekan perineum umumnya terjadi digaris tengah dan bias menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa sehingga kepala janin terpaksa lahir lebih ke belakang daripada biasa, kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia suboksipito-bregmatika, atau anak dilahirkan dengan pembedahan vaginial.
2) Robekan Serviks
Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks, sehingga serviks seorang multiparaberbeda daripada yang belum pernah melahirkan per vaginam. Robekan serviks yang luas mengakibatkan perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila terjadi perdarahan yang tidak berhenti meskipun plasenta sudah lahir lengkap dan uterus berkontraksi baik, perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir, khususnya robekan serviks uteri.
3) Rupture Uteri
a) Ruptura uteri spontan
• Terjadi spontan dan seagian besar pada persalinan
• Terjadi gangguan mekanisme persalinan sehingga menimbulkan ketegangan segmen bawah rahim yang berlebihan
b) Ruptur uteri trumatik
• Terjadi pada persalinan
• Timbulnya ruptura uteri karena tindakan seperti ekstraksi farsep, ekstraksi vakum, dll
4) Rupture uteri pada bekas luka uterus
Terjadinya spontan atau bekas seksio sesarea dan bekas operasi pada uterus
d. Tanda dan gejala
1. Robekan jalan lahir
Tanda dan Gejala yang selalu ada :
a) Pendarahan segera
b) Darah segar yang mengalir segera setelah bayi hir
c) Uterus kontraksi baik
d) Plasenta baik
Gejala dan tanda yang kadang-kadang ada
a) Pucat
b) Lemah
c) Menggigil
2. Rupture Uteri
Tanda dan gejala ruptur uteri dapat terjadi secara dramatis atau tenang.
Dramatis
a. Nyeri tajam, yang sangat pada abdomen bawah saat kontraksi hebat memuncak
b. Penghentian kontraksi uterus disertai hilangnya rasa nyeri
c. Perdarahan vagina ( dalam jumlah sedikit atau hemoragi )
d. Terdapat tanda dan gejala syok, denyut nadi meningkat, tekanan darah menurun dan nafas pendek ( sesak )
e. Temuan pada palpasi abdomen tidak sama dengan temuan terdahulu
f. Bagian presentasi dapat digerakkan diatas rongga panggul
g. Janin dapat tereposisi atau terelokasi secara dramatis dalam abdomen ibu
h. Bagian janin lebih mudah dipalpasi
i. Gerakan janin dapat menjadi kuat dan kemudian menurun menjadi tidak ada gerakan dan DJJ sama sekali atau DJJ masih didengar
j. Lingkar uterus dan kepadatannya ( kontraksi ) dapat dirasakan disamping janin ( janin seperti berada diluar uterus ).
Tenang
a. Kemungkinan terjadi muntah
b. Nyeri tekan meningkat diseluruh abdomen
c. Nyeri berat pada suprapubis
d. Kontraksi uterus hipotonik
e. Perkembangan persalinan menurun
f. Perasaan ingin pingsan
g. Hematuri ( kadang-kadang kencing darah )
h. Perdarahan vagina ( kadang-kadang )
Tanda-tanda syok progresif
a. Kontraksi dapat berlanjut tanpa menimbulkan efek pada servik atau kontraksi mungkin tidak dirasakan
b. DJJ mungkin akan hilang
e. Penatalaksanaan
Penjahitan Robekan Serviks
1. Tinjau kembali prinsip perawatan umum dan oleskan larutan anti septik ke vagina dan serviks
2. Berikan dukungan dan penguatan emosional. Anastesi tidak dibutuhkan padasebasian besar robekan serviks. Berikan petidin dan diazepam melalui IV secara perlahan (jangan mencampur obat tersebut dalam spuit yang sama) atau gunakan ketamin untuk robekan serviks yang tinggi dan lebar
3. Minta asisten memberikan tekanan pada fundus dengan lembut untuk membantu mendorong serviks jadi terlihat
4. Gunakan retraktor vagina untuk membuka serviks, jika perlu
5. Pegang serviks dengan forcep cincin atau forcep spons dengan hati–hati. Letakkan forcep pada kedua sisi robekan dan tarik dalam berbagai arah secara perlahan untuk melihat seluruh serviks. Mungkin terdapat beberapa robekan.
6. Tutup robekan serviks dengan jahitan jelujur menggunakan benang catgut kromik atau poliglokolik 0 yang dimulai pada apeks(tepi atas robekan) yang seringkali menjadi sumber pendarahan.
7. Jika bagian panjang bibir serviks robek, jahit dengan jahitan jelujur menggunakan benang catgut kromik atau poliglikolik 0.
8. Jika apeks sulit diraih dan diikat, pegang pegang apeks dengan forcep arteri atau forcep cincin. Pertahankan forcep tetap terpasang selama 4 jam. Jangan terus berupaya mengikat tempat pendarahan karena upaya tersebut dapat mempererat pendarahan. Selanjutnya :
a. Setelah 4 jam, buka forcep sebagian tetapi jangan dikeluarkan.
b. Setelah 4 jam berikutnya, keluarkan seluruh forcep.
Penjahitan Robekan Vagina Dan Perinium
Terdapat empat derajat robekan yang bisa terjadi saat pelahiran, yaitu :
1. Tingkat I : Robekan hanya pada selaput lender vagina dan jaringan ikat
2. Tingkat II : Robekan mengenai mukosa vagina, jaringan ikat, dan otot dibawahnya tetapi tidak menenai spingter ani
3. Tingkat III : robekan mengenai trnseksi lengkap dan otot spingter ani
4. Tingkat IV : robekan sampai mukosa rectum.
Penjahitan Robekan Derajat I Dan II
Sebagian besar derajat I menutup secara spontan tanpa dijahit.
1. Tinjau kembali prinsip perawatan secara umum.
2. Berikan dukungan dan penguatan emosional. Gunakan anastesi lokal dengan lignokain. Gunakan blok pedendal, jika perlu.
3. Minta asisten memeriksa uterus dan memastikan bahwa uterus berkontraksi.
4. Periksa vagina, perinium, dan serviks secara cermat.
5. Jika robekan perinium panjang dan dalam, inspeksi untuk memastikan bahwa tidak terdapat robekan derajat III dan IV.
a. Masukkan jari yang memakai sarung tangan kedalam anus
b. Angkat jari dengan hati-hati dan identifikasi sfingter.
c. Periksa tonus otot atau kerapatan sfingter
6. Ganti sarung tangan yang bersih, steril atau DTT
7. Jika spingter cedera, lihat bagian penjahitan robekan derajat III dan IV.
8. Jika spingter tidak cedera, tindak lanjuti dengan penjahitan
Penjahitan Robekan Perineum Derajat III Dan IV
Jahit robekan diruang operasi
1. Tinjau kembali prinsip perawatan umum
2. Berikan dukungan dan penguatan emosional. Gunakan anastesi lokal dengan lignokain. Gunakan blok pedendal, ketamin atau anastesi spinal. Penjahitan dapat dilakukan menggunakn anastesi lokal dengan lignokain dan petidin serta diazepam melalui IV dengan perlahan ( jangan mencampurdengan spuit yang sama ) jika semua tepi robekan dapat dilihat, tetapi hal tersebut jarang terjadi.
3. Minta asisten memeriksa uterus dan memastikan bahwa uterus berkontraksi.
4. Periksa vagina, perinium, dan serviks secara cermat.
5. Untuk melihat apakah spingter ani robek.
a. Masukkan jari yang memakai sarung tangan kedalam anus
b. Angkat jari dengan hati-hati dan identifikasi sfingter.
c. Periksa permukaan rektum dan perhatikan robekan dengan cermat.
6. Ganti sarung tangan yang bersih, steril atau yang DTT
7. Oleskan larutan antiseptik kerobekan dan keluarkan materi fekal, jika ada.
8. Pastikan bahwa tidak alergi terhadap lignokain atau obat-obatan terkait.
9. Masukan sekitar 10 ml larutan lignokain 0,5 % kebawah mukosa vagina, kebah kulit perineum dan ke otot perinatal yang dalam.
10. Pada akhir penyuntikan, tunggu selama dua menit kemudian jepit area robekan denagn forcep. Jika ibu dapat merasakan jepitan tsb, tunggu dua menit algi kemudian lakukan tes ulang.
11. Jahit rektum dengan jahitan putus-putus mengguanakan benang 3-0 atau 4-0 dengan jarak 0,5 cm untuk menyatukan mukosa.
12. Jika spingter robek
a. Pegang setiap ujung sfingter dengan klem Allis ( sfingter akan beretraksi jika robek ). Selubung fasia disekitar sfingter kuat dan tidak robek jika ditarik dengan klem.
b. Jahit sfingter dengan dua atau tiga jahitan putus-putus menggunakan benang 2-0.
13. Oleskan kembali larutan antiseptik kearea yang dijahit.
14. Periksa anus dengan jari yang memakai sarung tangan untuk memastikan penjahitan rektum dan sfingter dilakukan dengan benar. Selanjutnya, ganti sarung tangan yang bersih, steril atau yang DTT.
15. Jahit mukosa vagina, otot perineum dan kulit.
Perbaikan Rupture Uterus
1. Tinjau kembali indikasi.
2. Tinjau kembali prinsip prawatan umum, prinsipperawatan operasi dan pasang infus IV.
3. Berikan dosis tunggal antibiotik profilaksis.
a. Ampisilin 2g melalui IV.
b. Atau sefazolin 1g melalui IV.
4. Buka abdomen
a. Buat insisi vertikalgaris tengah dibawah umbilikus sampai kerambut pubis melalui kulit sampai di fasia.
b. Buat insisi vertikal 2-3 cm di fasia.
c. Pegang tepi fasia dengan forcep dan perpanjang insisi keatas dan kebawah dengan menggunakan gunting.
d. Gunakan jari atau gunting untuk memisahkan otot rektus (otot dinding abdomen )
e. Gunakan jari untuk membuka peritoneum dekat umbilikus. Gunakan gunting untuk memperpanjang insisi ke atas dan ke bawah guna melihat seluruh uterus. Gunakan gunting untuk memisahkan lapisan peritoneum dan membuka bagian bawah peritoneum dengan hati-hati guna mencegah cedera kandung kemih.
f. Periksa area rupture pada abdomen dan uterus dan keluarkan bekuan darah.
g. Letakkan retraktor abdomen.
5. Lahirkan bayi dan plasenta.
6. Infuskan oksitoksin 20 unit dalam 1L cairan IV ( salin normal atau laktat ringer ) dengan kecepatan 60 tetes permenit sampai uterus berkontraksi, kemudian kurangi menjadi 20 tetes permenit.
7. Angkat uterus keluar panggul untukmelihat luasnya cedera.
8. Periksa bagian depan dan belakang uterus.
9. Pegang tepi pendarahan uterus denganklem Green Armytage ( forcep cincin )
10. Pisahkan kandungan kemih dari segmen bawah uterus dengan diseksi tumpul atau tajam. Jika kandung kemih memiliki jaringan parut sampai uterus, gunakan gunting runcing.
Rupture Sampai Serviks Dan Vagina
1. Jika uterus robek sampai serviks dan vagina, mobilisasi kandung kemih minimal 2cm dibawah robekan.
2. Jika memungkinkan, buat jahitan sepanjang 2cm diatas bagian bawah robekan serviks dan pertahankan traksi pada jahitan untuk memperlihatkan bagian-bagian robekan jika perbaikan dilanjutkan.
Rupture Meluas Secara Lateral Sampai Arteria Uterina
1. Jika rupture meluas secara lateral sampai mencederai satu atau kedua arteri uterina, ikat arteri yang cedera.
2. Identifikasi arteri dan ureter sebelum mengikat pembuluh darah uterus.
Rupture Dengan Hematoma Ligamentum Latum Uteri
1. Jika rupture uterus menimbulkan hematoma pada ligamentum latum uteri, pasang klem, potong dan ikat ligamentum teres uteri.
2. Buka bagian anterior ligamentum atum uteri.
3. Buat drain hematoma secara manual, bila perlu.
4. Inspeksi area rupture secara cermat untuk mengetahui adanya cedera pada arteria uterina atau cabang-cabangnya. Ikat setiap pembuluh darah yang mengalami pendarahan.
Penjahitan Robekan Uterus
1. Jahit robekan dengan jahitan jelujur mengunci (continous locking ) menggunakan benang catgut kromik (atau poliglikolik)0. Jika perdarahan tidak terkandali atau jika ruptur melalui insisi klasik atau insisi vertikal terdahulu, buat jahitan lapisan kedua.
2. Jika rupture terlalu luas untuk dijahit, tindak lanjuti dengan histerektomi.\
3. Kontrol pendarahan dalam, gunakan jahitan berbentuk angka delapan.
4. Jika ibu meminta ligasi tuba, lakukan prosedur tsb pada saat ini.
5. Pasang drain abdomen
6. Tutup abdomen.
a. Pastikan tidak ada pendarahan. Keluarkan bekuan darah dengan menggunakn spons.
b. Pada semua kasus, periksa adanya cedera pada kandung kemih. Jka teridentifikasi adanya cedera kandung kemih, perbaiki cedera tsb.
c. Tutup fasia engan jahitan jelujur menggunakan benang catgut kromik (poliglikolik) 0.
d. Jika terdapat tanda-tanda infeksi, tutup jaringan subcutan dengan kasa dan buat jahitan longgar menggunakan benang catgut ( poligkolik ) 0. Tutup kulit dengan penutupan lambat setelah infeksi dibersihkan.
e. Jika tidak terdapat tanda-tanda infeksi, tutup kulit dengan jahitan matras vertikal menggunakan benang nelon ( sutra ) 3-0 dan tutup dengan balutan steril.
DAFTAR PUSTAKA
http://kuliahbidan.wordpress.com/2008/12/02/perdarahan-postpartum/
http://superbidanhapsari.wordpress.com/2009/12/14/makalah-perlukaan-jalan-lahir/
ames R Scott, et al. Danforth buku saku obstetric dan ginekologi. Alih bahasa TMA Chalik. Jakarta: Widya Medika, 2002.
Obstetri fisiologi, Bagian Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Unversitas Padjajaran Bandung, 1993.
Mochtar, Rustam. Sinopsis obstetrik. Ed. 2. Jakarta: EGC, 1998.
Manuaba, Ida Bagus Gede. Ilmu kebidanan, penyakit kandungan dan keluarga berencana. Jakarta: EGC, 1998.
Bobak, Lowdermilk, Jensen. Buku ajar keperawatan maternitas. Alih bahasa: Maria A. Wijayarini, Peter I. Anugerah. Jakarta: EGC. 2004
Heller, Luz. Gawat darurat ginekologi dan obstetric. Alih bahasa H. Mochamad martoprawiro, Adji Dharma. Jakarta: EGC, 1997.
http://hidayat2.wordpress.com/2009/06/10/askep-atonia-uteri/
http://detarie.blogspot.com/2009/06/atonia-uteri.html
http://www.scribd.com/doc/6502612/Perdarahan-Postpartum
http://www.alhamsyah.com/blog/artikel/referat-retensio-plasenta.html
http://medlinux.blogspot.com/2009/02/perdarahan-post-partum.html
http://infobidanfitri.blogspot.com/2009/03/kelainan-presentasi-dan-posisi-janin.html
Definisi distosia
Yang dimaksud dengan distosia adalah persalinan yang sulit yang ditandai adanya hambatan kemajuan dalam persalinan. Persalinan yang normal (Eutocia) ialah persalinan dengan presentasi belakang kepala yang berlangsung spontan dalam 18 jam.
Distosia adalah kelambatan atau kesulitan persalinan. Dapat disebabkan kelainan tenaga, kelainan letak, dan bentuk janin, serta kelainan jalan lahir
Mekanisme distosia
Pada akhir kehamilan, agar dapat melewati jalan lahir kepala harus dapat mengatasi tebalnya segmen bawah rahim dan servik yang masih belum mengalami dilatasi. Perkembangan otot uterus di daerah fundus uteri dan daya dorong terhadap bagian terendah janin adalah faktor yang mempengaruhi kemajuan persalinan kala I.
Setelah dilatasi servik lengkap, hubungan mekanis antara ukuran dan posisi kepala janin serta kapasitas panggul (fetopelvic proportion) dikatakan baik bila sudah terjadi desensus janin.
Gangguan fungsi otot uterus dapat disebabkan oleh regangan uterus berlebihan dan atau partus macet [obstructed labor]. Dengan demikian maka persalinan yang tidak berlangsung secara efektif adalah merupakan tanda akan adanya fetopelvic disproportion.
Membedakan gangguan persalinan menjadi disfungsi uterus dan fetopelvic disproportion secara tegas adalah tindakan yang tidak tepat oleh karena kedua hal tersebut sebenarnya memiliki hubungan yang erat.
Kondisi tulang panggul bukan satu-satunya penentu keberhasilan berlangsungnya proses persalinan pervaginam. Bila tidak ada data objektif untuk mendukung adanya disfungsi uterus dan FPD, harus dilakukan TRIAL of LABOR untuk menentukan apakah persalinan pervaginam dapat berhasil pada sebuah persalinan yang diperkirakan akan berlangsung tidak efektif.
1. DISTOSIA POWER
a. Pengertian
Yang dimaksud dengan distosia power adalah tenaga persalinan/his yang tidak normal, baik kekuatan maupun sifatnya, sehingga menghambat kelancaran persalinan.
Kelainan tenaga (kelainan his). His yang tidak normal dalam kekuatan atau sifatnya menyebabkan bahwa rintangan pada jalan lahir yang lazim terdapat pada setiap persalinan, tidak dapat di atasi, sehingga persalinan mengali hambatan atau kemacetan.
Kelainan his dapat berupa inersia uteri hipotonik atau inersia uteri hipertonik.
Distosia adalah kesulitan dalam jalannya persalinan. Distosia karena kelainan tenaga (his)yang tidak normal, baik kekuatan maupun sifatnya, sehingga menghambat kelancranpersalinan.
b. Etiologi
Kelainan his sering dijumpai pada primigravida tua sedangkan inersia uteriseringdijumpai pada multigravida dan grandemulti. Faktor herediter mungkin memegang pulaperanan dalam kelainan his dan juga factor emosi (ketakutan) mempengaruhi kelainanhis. Salah satu sebab yang penting dalam kelainan his inersia uteri, ialah apabila bahwajanin tidak berhubungan rampat dengan segmen bawah rahim ini dijumpai padakesalahan-kesalahan letak janin dan disproporsi sefalopelvik. Salah pimpinan persalinanatau salah pemberian obat-obatan seperti oksitosin dan obat penenang. Kelainan padauterus misalnya uterus birkornis unikolis dapat pula mengakibatkan kelainan his.
1) Inersia uteri hipotonik
Adalah kelainan his dengan kekuatan yang lemah / tidak adekuat untuk melakukan pembukaan serviks atau mendorong anak keluar. Di sini kekuatan his lemah dan frekuensinya jarang. Sering dijumpai pada penderita dengan keadaan umum kurang baik seperti anemia, uterus yang terlalu teregang misalnya akibat hidramnion atau kehamilan kembar atau makrosomia, grandemultipara atau primipara, serta pada penderita dengan keadaan emosi kurang baik.
Dapat terjadi pada kala pembukaan serviks, fase laten atau fase aktif, maupun pada kala pengeluaran.
Inertia uteri hipotonik terbagi dua, yaitu :
1) Inersia uteri primer
Terjadi pada permulaan fase laten. Sejak awal telah terjadi his yang tidak adekuat ( kelemahan his yang timbul sejak dari permulaan persalinan ), sehingga sering sulit untuk memastikan apakah penderita telah memasuki keadaan inpartu atau belum.
2) Inersia uteri sekunder
Terjadi pada fase aktif kala I atau kala II. Permulaan his baik, kemudian pada keadaan selanjutnya terdapat gangguan / kelainan.
Penanganan :
a) Keadaan umum penderita harus diperbaiki. Gizi selama kehamilan harus diperhatikan.
b) Penderita dipersiapkan menghadapi persalinan, dan dijelaskan tentang kemungkinan-kemungkinan yang ada.
c) Teliti keadaan serviks, presentasi dan posisi, penurunan kepala / bokong bila sudah masuk PAP pasien disuruh jalan,
d) bila his timbul adekuat dapat dilakukan persalinan spontan, tetapi bila tidak berhasil maka akan dilakukan sectio cesaria.
2) Inersia uteri hipertonik
Adalah kelainan his dengan kekuatan cukup besar (kadang sampai melebihi normal) namun tidak ada koordinasi kontraksi dari bagian atas, tengah dan bawah uterus, sehingga tidak efisien untuk membuka serviks dan mendorong bayi keluar. Disebut juga sebagai incoordinate uterine action. Contoh misalnya “tetania uteri” karena obat uterotonika yang berlebihan. Pasien merasa kesakitan karena his yang kuat dan berlangsung hampir terus-menerus. Pada janin dapat terjadi hipoksia janin karena gangguan sirkulasi uteroplasenter. Faktor yang dapat menyebabkan kelainan ini antara lain adalah rangsangan pada uterus, misalnya pemberian oksitosin yang berlebihan, ketuban pecah lama dengan disertai infeksi, dan sebagainya.
Penanganan
Dilakukan pengobatan simtomatis untuk mengurangi tonus otot, nyeri, mengurangi ketakutan. Denyut jantung janin harus terus dievaluasi. Bila dengan cara tersebut tidak berhasil, persalinan harus diakhiri dengan sectio cesarea.
2. DISTOSIA PASSAGE (Distosia kelainan jalan lahir)
Gangguan persalinan akibat passage ini, biasanya berkaitan dengan kelainan panggul wanita. Bentuk dan ukuran panggul sangat menentukan kelancaran persalinan. Karena proses persalinan merupakan suatu proses mekanik, dimana janin didorong melalui jalan lahir oleh his. Tetapi, kesalahan tidak selalu terletak pada ukuran panggul, karena pada panggul normal pun bisa saja terjadi gangguan persalinan. Misalnya, panggul normal tersebut bisa saja dinilai sempit jika diperimbangkan dengan janinnya. Pada kasus janin yang terlalu besar, sehingga tidak muat. Dengan demikian bisa terjadi sebaliknya, kendati panggulnya sempit, jika janinnya kecil maka tak ada masalah gangguan jalan lahir.
Distosia karena kelainan jalan lahir dapat disebabkan adanya kelainan pada jaringan keras / tulang panggul, atau kelainan pada jaringan lunak panggul.
a) Distosia karena kelainan panggul/bagian keras
1) Pengertian
Distosia karena kelainan panggul adalah persalinan yang sulit yang disebabkan oleh adanya kelainan dari bentuk panggul atau ukuran panggul.
2) Patofisiologi
Menurut Caldwell dan Moloy bentuk panggul di bagi dalam empat jenis pokok. Jenis – jenis panggul ini dengan ciri – ciri pentingnya ialah
• Panggul Ginekoid
Ciri pentingnya pintu panggul yang bundar, atau dengan diameter transversa yang lebih panjang sedikit daripada diameter anteroposterior dan dengan panggul tegah serta pintu bawah panggul yang cukup luas.
• Panggul Antropoid
Ciri pentingnya diameter anteroposterior yang lebih panjang daripada diameter transversa dan dengan arkus pubis menyempit sedikit.
• Panggul Android
Ciri pentingnya pintu atas panggul yang berbentuk sebagai segitiga berhubungan dengan penyempitan kedepan dengan spina iskiadika menonjol kedalam dan dengan arkus pubis menyempit.
• Panggul Platipelloid
Ciri pentingnya dengan diameter anteroposterior yang lebih jelas lebih pendek daripada diameter transversa pada pintu atas panggul dan dengan arkus pubis yang luas.
Bentuk panggul dipengaruhi oleh banyak factor terutama ras dan social ekonomi, frekuensi, dan ukuran – ukuran jenis – jenis panggul yang berbeda diantara berbagai bangsa. Dengan demikian standar panggul normal pada seorang wanita Eropa berbeda dengan standar seorang wanita Asia Tenggara.
Pada panggul dengan ukuran normal, apapun pokoknya, kelahiranpervaginam janin dengan berat badan yang normal tidak akan mengalami kesukaran. Akan tetapi karena pengaruh gizi , lingkungan atau hal – hal lain, ukuran – ukuran panggul dapat lebih kecil daripada standar normal, sehingga bisa terjadi kesulitan dalam persalinan pervaginam terutama kelainan pada panggul android dapat menimbulkan distosia yang sukar diatasi.
Selain dari ukuran – ukuran empat jenis panggul diatas yang kurang dari normal, terdapat pula penyebab panggul sempit yang lain, yang umumnya juga disertai perubahan dalam bentuknya.
Menurut Munro Kery perubahan panggul itu digolongkan sebagai berikut
a) Perubahan Bentuk Karena Kelainan Pertumbuhan Uterin
• Naegele ; hanya punya sebuah sayap pada sacrum, sehingga pnggul tumbuh sebagai panggul miring.
• Panggul Robert ; kedua sayap sacrum tidak ada , sehingga sempit dalam ukuran melintang.
• Spit Pelvis ; penyatuan tulang – tulang panggul pada simfisis tidak terjadi sehingga panggul terbuka didepan.
• Panggul Asimilasi ; sacrum terdiri atas 6 os vertebrata ( asimilasi tinggi ) atau 4 os vertebrata (asimilasi rendah ). Ini bisa menimbulkan kesukaran dalam turunnya kepala kedalam rongga panggul.
b) Perubahan bentuk karena penyakit pada tulang – tulang panggul dan/atau sendi panggul :
• Rakitis : Ciri pokok panggul karena rakitis adalah mengecilnya dimeter anteroposterior pada pintu atas panggul.
• Osteomalasis : penyakit karena gangguan gizi dan kekurangan sinar matahari, bentuk panggul bisa menjadi sempit ( rongganya ), ini jarang terjadi.
c) perubahan bentuk karena penyakit tulang belakang
• Kifosis ; timbul panggul corong ( tunnel pelvis ) dengan pintu atas panggul yang luas dan bidang lain menyempit.
• Skoliosis ; panggul jadi miring.
• Spondilolistesis
d) Perubahan bentuk karena penyakit kaki
Koksitis, Luksasio Koksa, Atofi atau kelumpuhan satu kaki : beban kaki tidak sempurna sehingga jadi miring.
3) Pengaruh Kesempitan Panggul Terhadap Mekanisme Persalinan
Kesempitan panggul bukan factor satu – satunya yang menentukan apakah persalinan normal bisa lancer. Semuanya itu tergantung dari dimana kesempitan itu terjadi. Berikut mekanisme persalinan sesuai dengn tingkat kesempitan :
• Kesempitan pada pintu atas panggul
Pintu atas panggul dianggap sempit apabila konjugatavera kurang dari 10 cm atau diameter transversal kurang dari 12 cm.
Seperti kita ketahui bahwa pada pintu atas panggul ditentukan tiga ukuranpenting yaitu ukuran muka belakang ( konjugata vera = 11 cm ). Ukuran lintang yaitu jarak kedua linea terminalis ( dimeter transversa = 12,5 cm ). Ukuran oblique ( jarak antara artikulasio sacroiliaca menuju tuberkulum pubikum yang bertentangan dan tidak bisa diukur ).
Pada proses persalinan karena panggul sempit, kepala tertahan oleh pintu atas panggul sehingga servik kurang mengalami tekanan kepala. Ini bisa menimbulkan inersia uteri serta lambannya pedataran dan pembukaan serviks. Apabila pada panggul sempit pintu atas panggul tidak tertutup dengan sempurna oleh kepala janin, ketuban bis pecah pada pembukaan kecil dan bahaya Prolapsus Funikuli. Pada panggul picak turunnya belakang kepala bisa tertahan sehingga bisa terjadi defleksi kepala. Ini merupakan penyebab presentasi kepala. Moulase kepala yang berlebihan akan menimbulkan cedera intra cranial.
• Kesempitan panggul tengah
Dengan sacrum melengkung sempurna, dinding – dinding panggul tidak berkonvergensi, foramen iskiadikum mayor cukup luas, dan spina iskhiadika tidak menonjol kedalam, dapat diharapkan bahwa panggul tengah tidak akan menyebabkan rintangan bagi lewatnya kepala janin. Ukuran terpenting yang hanya dapat ditetapkan secara pasti dengan pelvimetri rontgenologik ialah distantia interspinarum, Apabila kurang dari 9,5 cm kemungkinan sukar. Pada panggul tengah yang sempit, sering ditemukan posisi oksipitalis posterior atau presentasi kepala dalam posisi lintang tetap.
• Kesempitan pintu bawah panggul
Kesempitan pintu bawah panggul biasanya diartikan sebagai keadaan dimana distantia tuberum 8 cm atau lebih kecil. Agar bayi dapat lahir diperlukan ruangan yang lebih besar pada bagian belakang pintu bawah panggul. Dengan diameter sagitalis posterior cukup panjang persalinan pervaginam bisa terjadi dengan pembukaan. Bila ukuran kurang dari 15 cm bisa timbul kemacetan bila bayi normal.
• Kesempitan panggul umum
Karena kesempitan panggul melibatkan semua bagian dari rongga panggul, persalinan tidak cepat selesai setelah kepala janin melewati pintu atas panggul. Pemanjangan persalinan ini bukan hanya terjadi karena tekanan oleh panggul tapi karena banyak kedaan yang abnormal dari panggul.
4) Diagnosa
a) Pemeriksaan umum
Anamnesis tentang riwayat hidup penyakit sangat menentukn diagnosis misalnya adanya tuberculosis pada kolumna vertebra, luksasiokoksa kongenitalis dan poliomyelitis.
Pada wanita yang pendek kemungkinan panggul lebih kecil perlu dipikirkan , tetapi tidak semua wanita pendek anggulnya sempit.
Anamnesis riwayat persalinan juga dapat memberi petunjuk apabila persalinan terdahulu normal dengan berat badan bayi normal maka kecil kemungkinan wanita tersebut menderita kesempitan panggul yang berarti.
b) Pengukuran panggul ( pelvimetri ) merupakan cara pemeriksaan yang penting
Pelvimetri luar tidak banyak artinya, kecuali untuk pengukuran pintu bawah panggul dan panggul miring. Pelvimetri dalam dengan tangan artinya sangat penting untuk menilai secara agak kasar pintu atas panggul serta panggul tengah, dan gambaran yang jelas pada pintu bawah panggul.
Pelvimetri roentgenologik diperoleh gambaran jelas tentang bentuk panggul dan angka – angka mengenai ukuran ketiga bidang panggul. Pemeriksaan ini mengandung resiko terutama pada janinnya. Oleh karena itu pemeriksaan hanya berdasarkan indikasi.
c) Pemeriksaan ukuran kepala janin
Besarnya ukuran kepala janin dalam perbandingan dengan luasnya panggul menentukan apakah ada disproporsi sefalopelvik atau tidak. Diameter biparietalis dapat diukur dengan USG atau roentgen.
5) Prognosis
a) Bahaya pada ibu
• Partus lama disertai dengan pecahnya ketuban pada pembukaan kecil dapat menimbulkn dehidrasi serta asidosis.
• Dengan his kuat, sedang kemajuan janin tertahan, timbul regangan segmen bawah rahim dan lingkaran Bandl bisa timbul rupture uteri.
• Dengan persalinan tidak maju karena CPD, jalan lahir pada suatu tempat mengalami tekanan lama. Timbul gangguan sirkulasi sampai terjadi iskemia dan kemudian nekrosis. Setelah pest parum timbul; fistula vesikoservikalis atau fistula vesikovaginalis dan fistula rektovaginalis.
b) Bahaya pada janin
• Partus lama bisa menimbulkan kematian pevinatal
• Prolalpsu Funikulli
• Moulage yang berlebihan bisa terjadi sobekan pada tentorium merebeili dan perdarahan intracranial.
• Tekanan oleh promontorium/simfisis pada panggul picak menyebabkan permukaan pada jaringan di atas tulang kepala janin sampai fraktur os parietalis.
6) Penanganan
Tindakan yang sudah lama ditinggalkan karena membahayakan janin yaitu cunam tinggi dengan ekstraksi foreeps dan induksi persalinan.
Tindakan yang masih digunakan dan sering yaitu seksiop sesrea dan parius
percobaan. Kadang – kadang ada indikasi untuk simfisiotomia dan raniotomia, tetapi simfisiotomia jarang dilakukan di Indonesia, sedangkan kraniotomia hanya pada janin mati.
a) Seksio sesare
Dapat dilakukan elektif atau primer yakni sebelum persalinan mulai atau pada awal pesalinan berlangsung selama beberapa waktu. Seksio elektif dilakukan pada kehamilan cukup bulan dengan disproporsi sefalopelvik yang nyata atau pada yang ringan tapi dengan factor komplikasi seperti primigravida tua, kelainan letak, penyakit jantung dan lain – lain.
Sedangkan seksio sekunder dilakukan apabila percobaan persalinan dianggap gagal atau harus segera dilakukan persalinan sedang pervaginam idak mungkin.
b) Persalinan percobaan
Dilakukan bila pemeriksaan menunjukkan ada kemungkinan bisa pervaginam dengan syarat kehamilan tidak lebih dari 42 minngu. Yang perlu diperhatikan pada persalinan ini adalah :
Pengawasan yang sama pada ibu dan janin. Cegah dehidrasi dan asidesis pada ibu, berikut makanan dan cukup istirahat.
Pengawasan turunnya kepala janin ketuban dan adanya moulage
c) Simfisiotemi
Simfisiotemi adalah tindakan untuk memisahkan tulang panggul kiri dari tulang panggul kanan pada simfisis supaya rongga panggul menjadi lebih luas. Hal ini jarang dilakukan satu – satunya indikasi adalah apabila janin masih hidup terdapat infeksi intra partum, sehingga seksio dianggap berbahaya
d) Kraniotomi
Pada persalinan yang dibiarkan berlarut –larut dan dengan janin dudah meninggal, sebaiknya persalinan diselesaikan dengan kraniotomi dan kranioklasi. Tetapi apabila panggulnya sempit harus dilakukan seksio sesaria.
b) Kelainan jalan lahir lunak
Adalah kelainan serviks uteri, vagina, selaput dara dan keadaan lain pada jalan lahir yang menghalangi lancarnya persalinan.
1) Distosia Servisis
Adalah terhalangnya kemajuan persalinan disebabkan kelainan pada servik uteri. Walaupun harus normal dan baik, kadang – kadang permukaan servik menjadi macet karena ada kelainan yang menyebabkan servik tidak mau membuka.
Ada 4 jenis kelainan pada servik uteri :
• Servik kaku (rigid cervix)
Adalah suatu keadaan dimana seluruh serviks kaku. Keadaan ini sering dijumpai pada primigravida tua, atau karena adanya parut-parut bekas luka atau bekas luka infeksi atau pada karsinoma serviksis
kejang atau kaku serviks dibagi 2 :
a. Primer
karena takut atau pada primi gravida tua
b. Sekunder
karena bekas luka-luka tau infeksi yang sembuh dan meninggalkan luka parut
Diagnosis
Diagnosis distosia persalinan karena serviks kaku dibuat bila terdapat his yang baik dan normal pada kala I disetai pembukaan, dan setelah dilakukan beberapa kali pemeriksaan dalam waktu tertentu. Juga pada pemeriksaan terasa serviks tegang dan kaku.
Penanganan:
Bila setelah pemberian obat-obatan seperti valium dan petidin tidak merubah kekauan, tindakan kita melakukan seksio sesaria
• Servik gantung (hanging cervix)
Adalah suatu keadaan dimana ostium uteri eksternum dapat terbuka lebar, sedangkan ostium uteri internum tidak mau membuka. Serviks akan tergantung seperti corong. Bila dalam observasi keadaan tetap dan tidak ada kemajuan berkembang pembukaan ostium eksternum, maka pertolongan yang tepat adalah dengan seksio sesaria.
• Servik konglumer (conglumer cervix)
Adalah suatu keadaan dimana ostium uteri internum dapat terbuka sampai lengkap, sedangkan ostium uteri eksternum tidak mau terbuka.
Keadaan ini sering dijumpai pada ibu hamil dengan prolaps uteri disertai servik dan porposi yang panjang (elongation services at portionis). Dalam hal ini servik menjadi tipis, namun ostium uteri eksternum tidak membuka atau hanya terbuka 5 cm.
Penanganan
Penanganan tergantung pada keadaan turunnya kepala janin:
a. Coba lebarkan pembukaan ostium uteri eksternum secara digital atau memakai dilatator
b. Bila hal-hal diatas tidak berhasil atau tidak mungkin sebaiknya dilakukan seksio sesarea.
• Edema servik
Bila dijumpai edema yang hebat pada serviks dan disertai hematoma serta nekrosis, maka ini merupakan tanda adanya obstruksi. Bila syarat-syarat untuk ekstraksi vakum atau forsep tidak dipenuhi, lakukan seksio sesaria
c. Distosia Karena Kelainan Vulva dan Vagina
1) Atresia vulva
Atresia vulva (tertutupnya vulva) ada yang bawaan dan ada yang diperoleh misalnya karena radang atau trauma. Atresia yang sempurna menyebabkan kemandulan dan yang menyebabkan distosia hanya atresia yang inkomplit.
2) Edema vulva
Edema bisa timbul pada waktu kehamilan. Biasanya sebagai gejala pre-eklamsi akan tetapi dapat pula timbul karena sebab lain misalnya gangguan gizi atau malnutrisi atau pada persalinan yang lama. Edema dapat juga terjadi pada persalinan dengan dispoporsi sefalopelvik atau wanita mengejan terlampau lama (terus menerus), sedangkan kepala belum cukup turun. Hal itu mempersulit pemeriksaan dalam dan menghambat kemajuan persalinan yang akhirnya dapat menimbulakn kerusakan luas pada jalan lahir. Kelainan ini umumnya jarang merupakan rintangan bagi kelahiran pervaginam.
3) Stenosis vulva
Stenosis pada vulva biasanya terjadi sebagai akibat perlukaan dan radang, yang menyebabkan ulkus-ulkus dan yang sembuh dengan parut-parut dapat menimbulkan kesulitan, walaupun umumnya dapat diatasi dengan melakukan episiotomi yang cukup luas agar persalinan berjalan lancar. Penanganannya dengan melakukan sayatan median secukupnya untuk melahirkan kepala janin
4) Tumor vulva
Dapat berupa abses bartholini atau kista atau suatu kondilomata, tetapi apabila tidak terlalu besar tidak akan menghalangi persalinan.
Kista kelenjar bartholin
Kista kelenjar bartholin merupakan bentuk radang menahun kelenjar bartholin. Abses kelenjar bartholin diserap isinya, sehingga tinggal kantung yang mengandung cairan yang disebut kista bartholin. Pengobatan kista bartholin adalah dengan mengangkat seluruh kista dan marsivialisasi. Operasi ini memerlukan keahlian sehingga perlu dilakukan di rumah sakit. Bidan dilapangan yang menemukan kista bartholin perlu merujuk ke rumah sakit sehingga mendapat pengobatan sebagaimana mestinya.
5) Stenosis vagina kongenital
Stenosis vagina kogenital jarang terjadi. Lebih sering ditemukan septum vagina yang memisahkan vagina secara lengkap atau tidak lengkap dalam bagian kiri dan bagian kanan. Septum lengkap adalah septum yang terbentang dalam seluruh vagina dari serviks sampai introitus vagina. Septum yang lengkap sangat jarang mengalami distosia, karena separuh vagina yang harus dilewati oleh janin biasanya cukup melebar baik untuk coitus maupun untuk lahirnya janin. Akan tetapi septum yang tidak lengkap kadang- kadang menghambat turunnya kepala janin pada persalinan dan harus dipotong terlebih dahulu. Stenosis dapat terjadi karena parut-parut akibat perlukaan dan radang. Pada stenosis vagina yang tetap kaku dalam kehamilan dan merupakan halangan untuk lahirnya janin, perlu dipertimbangkan seksio sesaria.
6) Kista vagina
Kista vagina berasal dari duktus Gartner atau duktus Muller, biasanya berukuran kecil dan dapat menjadi besar sehingga bukan saja mengganggu coitus namun bisa juga menyulitkan persalinan. Letaknya lateral dalam vagina bagian proksimal, ditengah, distal dibawah orificium uretra eksternum. Isi kista adalah cairan jernih dan dindingnya ada yang sangat tipis ada pula yang agak tebal. Wanita tidak mengalami kesulitan waktu coitus dan persalinan, karena jarang sekali kista ini demikian besarnya sehingga menghambat turunnya kepala dan perlu di punksi, atau pecah akibat tekanan kepala. Bila kecil dan tidak ada keluhan dibiarkan tapi bila besar dilakukan pembedahan. Marsupialisasi sebaiknya 3 bulan setelah lahir.(Ilmu kebidanan, 2005)
Penanganan dalam kehamilan muda adalah di ekstirpasi setelah kehamilan 3-4 bulan. Dalam persalinan yaitu jika kista berukuran kecil maka tidak akan menghalangi turunya kepala dan tidak mengganggu persalinan. Setelah 3 bulan pasca persalinan dilakukan ekstirpasi tumor. Bila besar dan menghalangi turunnya kepala, untuk mengecilkannya dilakukan aspirasi cairan tumor. (Sinopsis Obstetri Jilid 1,1998)
Adakalanya pada kista terjadi peradangan, bahkan dapat pula terjadi abses. Biasanya abses akan pecah spontan bila ukuranya sudah besar. Apabila tidak, maka perlu dilakukan insisi. Terapi kista vagina pada umumnya tergantung pada besarnya, tempatnya dan saat ditemukannya. Kista kecil yang tidak melebihi buah duku biasanya tidak diketahui oleh penderita dan tidak perlu penanganan. Akan tetapi, kista yang besar dan disadari oleh wanita atau apabila disertai keluhan sebaiknya diangkat. Saat yang paling baik untuk pembedahan adalah diluar kehamilan. Dalam kehamilan tua atau apabila kista baru pertama kali diketahui sewaktu wanita dalam persalinan sikap konservatif lebih baik.
7) Tumor vagina
Tumor vagina dapat merupakan rintangan bagi lahirnya janin pervaginam. Berupa kista gardner yang kalau besar dapat menghalangi jalannya persalinan. Adanya tumor vagina bisa pula menyebabkan persalinan pervaginam dianggap mengandung terlalu banyak resiko. Tergantung dari jenis dan besarnya tumor, perlu dipertimbangkan apakah persalinan dapat berlangsung pervaginam atau harus diselesaikan dengan seksio cesarea.
d. Karena Kelainan Uterus
1) Kelainan bawaan uterus
a) Uterus didelfis atau uterus dupleks separatus terjadi apabila kedua saluran muller berkembang sendiri- sendiri tanpa penyatuan sedikitpun, sehingga terdapat 2 korpus uteri, 2 serviks dan 2 vagina.
b) Uterus subseptus terdiri atas 1 korpus uteri dengna septum tidak lengkap, 1 serviks dan 1 vagina ; kavum uteri kanan dan kiri terpisah secra tidak lengkap. Pada uterus bikornis unikollis pemisahan korpus uteri sebelah kanan dan sebelah kiri lebih jelas lagi; serviks uteri tetap menjadi satu.
c) Uterus arkuatus hanya mempunyai cekungan di fundus uteri. Kelainan ini paling ringan sifatnya dan paling sering dijumpai.
d) Uterus bikornis unilateral rudimentarus terdiri atas 1 uterus dan disampingnya terdapat tanduk lain yang sangat terbelakang perkembangnnya.
e) Uterus unikornis terdiri atas 1 uterus dan 1 serviks yang berkembang dari 1 saluran Muller, kanan atau kiri. Saluran lain yang tidak berkembang sama sekali. Sering kelainan ini disertai pula oleh tidak berkembangnya saluran kencing secara unilateral.
Jalannya partus pada kelainan bawaan uterus umumnya kurang lancar, karena his kurang baik. Mungkin fungsi uterus kurang baik karena miometrium tidak normal akibat perkembangan uterus yang tidak wajar. Kala pembukaan berlangsung lama dengan segala akibat yang kurang baik bagi ibu dan anak. Kelainan letak terutama letak lintang pada uterus arkuatus dan uterus subseptus, menyebabkan resiko bagi ibu dan anak lebih tinggi. Biasanya indikasi seksio sesaria baru timbul apabila partus sudah berlangsung, kecuali apabila kelainan bawaan uterus yang dianggap tidak memungkinkan partus pervaginam dengan cukup aman diketahui sebelumnya, misalnya dengan histerogram.
Diagnosis
Untuk membuat diagnosis kadang- kadang mudah juga sukar. Anamnesis abortus habitualis dan beberapa partus prematurus bersama- sama dengan histerogram membantu ke arah diagnosis yang tepat. Sayang sekali banyak diagnosis baru dapat dibuat pada waktu partus, saat plasenta dikeluarkan secara manual atau ketika seksio sesarea. Diagnosis yang pasti hanya mungkin dengan histerografi atau dengan USG.
Penanganan
Apabila kehamilan mencapai 36 minggu atau lebih dan persalinannya berlangsung lancar, maka partus spontan dapat diharapkan. Jikalau ada indikasi, maka partus diakhiri dalam kala II.
Bidan melakukan kolaborasi dan rujukan dalam menangani hal ini. Apabila partus tidak maju setelah ibu diberikan uterotonika, sebaiknya dilakukan seksio sesarea.
Prognosis
Seperti telah disebut di atas prognosis baik pada kelainan bawaan uterus yang ringan. Partus prematurus terjadi 2- 3 kali lebih sering, disertai angka kematian perinatal antara 15- 30 %. Frekuensi abortus sangat tinggi.
2) Kelainan letak uterus
a) Anteversio uteri
Kelainan letak uterus ke depan dijumpai pada perut gantung (abdomen pendulum) dan setelah operasi ventrofiksasio.
Perut gantung terdapat pada multipara karena melemahnya dinding perut, terutama multipara yang gemuk. Uterus membengkok ke depan sedemikian rupa, sehingga letak fundus uteri dapat lebih rendah daripada simfisis. Wanita mengeluh tentang rasa nyeri di perut bawah dan pinggang bawah, menderita intertrigo di lipatan kulit, dan kadang- kadang varises atau edema di vulva. Selain itu perut gantung menghalangi masuknya kepala kedalam panggul, sehingga sering terjadi kelainan letak anak, seperti letak sungsang dan letak lintang. Dalam persalinan kala 1 pembukaan serviks kurang lancar karena tenaga his salah arah, serviks terdorong ke sakrum. Karena sumbu uterus tidak sesuai dengan sumbu jalan lahir, maka bagian janin terendah masih tinggi tidak mungkin memasuki pintu atas panggul, dan bagian terendah yang sebagian sudah melewati pintu atas panggul terdorong ke arah promontorium atau sakrum, sehingga sulit untuk turun lebih lanjut. Akan tetapi, sekali bagian terendah itu masuk di dalam panggul, persalinan selanjutnya akan berlangsung dengan lancar.
Pemakaian ikat perut yang kencang, seperti korset dan angkin atau bengkung, sehingga perut bawah kosong, dapat mengurangi penderitaan. Menjelang persalinan wanita disuruh tidur terlentang terus menerus untuk memperbesar kemungkinan masuknya kepala kedalam panggul dan mencegah terjadinya kelainan letak janin pada saat- saat terakhir kehamilan. Karena perut gantung menyebabkan banyak kesulitan dalam persalinan, maka pimpinan partus harus mendapat perhatian khusus. Setiap ada his, fundus uteri didorong ke atas supaya tenaga his terarah lebih baik sampai bagian terendah masuk betul di dalam panggul. Kelemahan dinding perut menyebabkan tenaga meneran kurang sempurna, sehingga partus kala II perlu diakhiri dengan forseps atau ekstraktor vakum.
Ventrofiksasio untuk memperbaiki retrofleksi uteri untuk sekarang sudah tidak dilakukan lagi, karena wanita yang menjadi hamil setelah pembedahan itu mengalami banyak kesulitan, baik dalam kehamilan maupun persalinan. Bagian uterus yang melekat pada dinding depat uterus dan bagian dibawahnya tidak mengikuti perkembangan membesarnya rahim, sehingga uterus bagian atas diregangkan lebih dari pada biasa, serviks ditarik keatas, sehingga kadang- kadang portio letaknnya lebih tinggi dari pada promontorium. Sering terjadi ketuban pecah dini dan kepala tidak turun. Ruptur uteri merupakan bahaya yang mengancam apabila persalinan tidak lekas diakhiri dengan SC.
b) Retrofleksio uteri
Retrofleksio uteri tidak selalu menyebabkan keluhan. Kadang- kadang menyebabkan kemandulan, karena kedua tuba tertekuk atau terlipat, sehingga patensi kurang juga karena ostium uteri eksternum tidak tetap bersentuhan dengan air mani sewaktu dan setelah persetubuhan . Apabila wanita menjadi hamil, biasanya kopus uteri naik ke atas sehingga lekukan uterus berkurang. Selanjutnya uterus yang hamil lebih tua keluar dari panggul dan kehamilan berlangsung terus sampai cukup bulan. Kadang- kadang hal itu tidak terjadi dan uterus gravidus yang bertumbuh terus pada sewaktu- waktu terkurung dalam ronga panggul (retrofleksio uteri gravidi inkarserata ). Terkurungnya uterus dapat disebabkna oleh uterus yang tertahan oleh perlekatan- perlekatan atau oleh sebab lainya yang tidak diketahui.
Keluhan muncul pada kehamilan diatas 16 minggu, dimana uterus hamil mengisi rongga panggul. Portio tertarik ke atas dan leher uretra ikut tertarik. Kemudian uterus yang menjadi lebih besar menekan urethra pada sympisis dan rektum pada sakrum. Dengan demikian dapat diterangkan gejala- gejala kelainan miksi dan defekasi, seperti retensio urin, iskuria, paradoksa (air kencing menetes dengan kandung kencing penuh ), dan kadang- kadang retensio alvi. Diagnosis biasanya tidak sulit, apalagi jika wanita hamil 16 minggu mengeluh tentang iskuria paradoksa. Satu- satunya kesalahan yang dapat dibuat adalah apabila kandung kencing yang penuh dan tegang disangka uterus gravidus.
Terdapat empat kemungkinan dari kehamilan :
• Koreksi spontan : dimana pada kehamilan 3 bulan korpus dan fundus naik masuk kedalam rongga perut.
• Abortus : hasil konsepsi terhenti berkembang dan keluar, karena sirkulasi terganggu. Adanya gangguan sirkulasi dalam uterus dan panggul dengan peredaran kedalam decidua.
• Koreksi tidak sempurna : dimana bagian yang melekat tetap tertinggal, sedangkan bagian uterus yang hamil naik masuk kedalam rongga perut disebut retrofleksi uteri gravidi partialis. Kehamilan dapat mencapai cukup bulan, atau dapat terjadi abortus, partus prematurus, terjadinya kesalah letak, dan bersalin biasa.
• RUGI (Retrofleksio Uteri Gravidi Inkarserata)
Penanganan bila tidak terjadi perlekatan dapat dilakukan :
a. Posisi digital jika perlu dalam narkose
b. Koreksi dengan posisi genu-pektoral selama 3x15 perhari atau langsung koreksi melalui vagina dengan 2 jari mendorong korpus uteri kearah atas keluar rongga atas panggul.
c. Posisi trendelenberg dan istirahat.
d. Reposisi operatif.
Inkarserasi uterus didalam panggul jarang terjadi, akan tetapi bila terjadi akan menimbulkan gejala-gejala yang nyata, dengan atau tanpa kateterisasi dapat terjadi sistitis, bahkan inkarserasi dapat menyebabkan perdarahan dan gangren kandung kencing. Terapi RUGI biasanya tidak sulit, asal saja keadaan itu tidak disebabkan oleh perlekatan. Setelah kateterisasi wanita diletakkan dalam posisi lutu-bahu: dengan 2 jari melalui vagina, korpus uteri didorong perlahan-lahan ke luar rongga panggul. Setelah koreksi wanita ditidurkan dalam letak trendelenberg untuk mencegah kembalinya uterus kedalam panggul. Kadang-kadang uterus kembali kedalam posisi semula, sehingga menyebabkan keluhan lagi. Dalam hal demikian kateterisasi dan reposisi perlu diulang dan dipasang pessarium atau tampon vaginam yang mengisi seluruh pelvis minor. Setelah 2-4 hari uterus telah menjadi lebih besar dan apabila tampon diangkat, maka uterus tidak bisa masuk lagi kedalam rongga panggul. Jarang sekali sampai diperlukan penarikan serviks kebawah dengan cunam serviks dalam usaha reposisi. Dalam hal ini diperlukan anastesi.
c) Prolapsus uteri
Turunnya uterus dari tempat yang biasa disebut desensus uteri dan ini dibagi dalam tiga tingkat :
Tingkat I: Apabila serviks belum keluar dari vulva
Tingkat II: Apabila serviks sudah keluar dari vulva, akan tetapi korpus uteri belum keluar.
Tingkat III: Apabila korpus uteri sudah berada diluar vulva.
Kehamilan dapat terjadi pada prolapsus uteri tingkat I dan II dengan lanjutnya kehamilan korpus uteri naik keatas dan bersama dengan itu serviks tertarik pula ke atas. Apabila uterus yang makin lama makin besar tetap di dalam panggul pada suatu waktu timbul gejala- gejala :
a. Inkarserasi dalam kehamilan 16 minggu dan kehamilan akan berakhir dengan keguguran.
b. Kehamilan dapat berlangsung sampai aterm
c. Persalinan dapat berjalan dengan lancar namun sesekali terjadi kesulitan pada kala I dan kala II yaitu pembukaan berjalan pelan dan tidak sampai lengkap. Bila ada indikasi penyelesaian dapat dikerjakan insisi Duhrssen dan janin dilahirkan dengan ekstraksi vakum dan forseps.
d. Koreksi prolaps dengan jalan operasi dilakukan setelah tiga bulan melahirkan.
3) Kelainan-kelainan lain pada jalan lahir
a) Tumor jalan lahir lunak, seperti kista vagina, polip serviks, mioma uteri, kista ovari dan sebagainya
b) Kandung kemih yang penuh atau batu kandung kemih yang besar
c) Rectum yang skibala atau tumor
d) Kelainan letak serviks, seperti dijumpai pada multipara dengan perut gantung
e) Ginjal yang turun kedalam rongga pelvis
f) Kelainan-kelainan bentuk uterus, seperti uterus bikornis, uterus septus, uterus arkuatus, dan sebagainya.
g) Dasar panggul atau perineum yang ketat dan tegang dan tidak elastis, penanganannya dengan melakukan episiotomi.
3. DISTOSIA PASSANGER (Distosia kelainan janin dan plasenta)
Distosia passenger/janin ini sangat tergantung pada besar janin dan posisinya. Sebab berat janin melebihi kapasitas jalan lahir.
a. Pertumbuhan janin yang berlebihan (bayi besar)
Janin besar adalah bila berat badan melebihi dari 4000 gram. Frekuensi bayi yang lahir dengan berat badan lebih dari 4000 gr adalah 5,3 % dan yang lebih dari 4500 gr adalah 0,4 %. Pernah dilaporkan berat bayi lahir pervaginam 10,8-11,3 kg.
b. Hidrosefalus
Penimbunan cairan serebrospinal dalam ventrikel otak sehingga kepala menjadi besar serta ubun-ubun menjadi lebar.hidrosefalus memungkinkan terjadinya kepala tidak masuk pintu atas panggul pada panggul yang normal sedangkan his baik dan kepala teraba besar di atas panggul.
c. Anensefalus atau hemifalus : badan ada tetapi pembentukan otak dan tengkorak kepala tidak ada atau terkebelakang
d. Kembar siam yaitu penyatuan dua janin kembar
e. Gawat janin
4. DISTOSIA POSITIONS (Distosia karena kelainan letak)
a. Presentasi belakang kepala oksiput posterior menetap
b. Presentasi belakang kepala oksiput melintang
c. Presentasi puncak kepala
d. Presentasi dahi
e. Presentasi muka
f. Presentasi rankap
g. Letak sungsang
h. Letak lintang
i. Presentasi ganda
j. Kehamilan ganda
a. Letak Sungsang
Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang/membujur dengan kepala difundus uteri dan bokong dibagian bawah kavum uteri.
.
Macam –Macam Letak Sungsang :
1) Presentasi bokong (frank breech) (50-70%).
Pada presentasi bokong akibat ekstensi kedua sendi lutut, kedua kaki terangkat ke atas sehingga ujungnya terdapat setinggi bahu atau kepala janin. Dengan demikian pada pemeriksaan dalam hanya dapat diraba bokong.
2) Presentasi bokong kaki sempurna (complete breech) ( 5-10%).
Pada presentasi bokong kaki sempurna disamping bokong dapat diraba kaki
3) Presentasi bokong kaki tidak sempurna dan presentasi kaki (incomplete or footling) (10-30%).
Pada presentasi bokong kaki tidak sempurna hanya terdapat satu kaki di samping bokong, sedangkan kaki yang lain terangkat ke atas. Pada presentasi kaki bagian paling rendah adalah satu atau dua kaki
Tanda Dan Gejala
Kehamilan dengan letak sungsang seringkali oleh ibu hamil dinyatakan bahwa kehamilannya terasa lain dari kehamilan sebelumnya, karena perut terasa penuh dibagian atas dan gerakan lebih hanyak dibagian bawah. Pada kehamilan pertama kalinya mungkin belum bisa dirasakan perbedaannya. Dapat ditelusuri dari riwayat kehamilan sebelumnya apakah ada yang sungsang.
Pada pemeriksaan luar berdasarkan pemeriksaan Leopold ditemukan bahwa Leopold I difundus akan teraba bagian yang keras dan bulat yakni kepala. Leopold II teraba punggung disatu sisi dan bagian kecil disisi lain. Leopold III-IV teraba bokong dibagian bawah uterus. Kadang-kadang bokong janin teraba bulat dan dapat memberi kesan seolah-olah kepala, tetapi bokong tidak dapat digerakkan semudah kepala. Denyut jantung janin pada umumnya ditemukan setinggi pusat atau sedikit lebih tinggi daripada umbilicus.
Pada pemeriksaan dalam pada kehamilan letak sungsang apabila didiagnosis dengan pemeriksaan luar tidak dapat dibuat oleh karena dinding perut tebal, uterus berkontraksi atau air ketuban banyak. Setelah ketuban pecah dapat lebih jelas adanya bokong vang ditandai dengan adanya sakrum, kedua tuberositas iskii dan anus. Bila dapat diraba kaki, maka harus dibedakan dengan tangan. Pada kaki terdapat tumit, sedangkan pada tangan ditemukan ibu jari vang letaknya tidak sejajar dengan jari-jari lain dan panjang jari kurang lebih sama dengan panjang telapak tangan. Pada persalinan lama, bokong mengalami edema sehingga kadang-kadang sulit untuk membedakan bokong dengan muka. Pemeriksaan yang teliti dapat membedakan bokong dengan muka karena jari yang akan dimasukkan ke dalam anus mengalami rintangan otot, sedangkan jari yang dimasukkan kedalam mulut akan meraba tulang rahang dan alveola tanpa ada hambatan, mulut dan tulang pipi akan membentuk segitiga, sedangkan anus dan tuberosis iskii membentuk garis lurus. Pada presentasi bokong kaki sempurna, kedua kaki dapat diraba disamping bokong, sedangkan pada presentasi bokong kaki tidak sempuma hanya teraba satu kaki disamping bokong. Informasi yang paling akurat berdasarkan lokasi sakrum dan prosesus untuk diagnosis posisi
Etiologi Letak Sungsang :
Faktor-faktor yang memegang peranan dalam terjadinya letak sungsang diantaranya ialah prematuritas, rnultiparitas, hamil kembar, hidramnion, hidrosefalus, plasenta previa dan panggul sempit. Kadang-kadang juga disebabkan oleh kelainan uterus (seperti fibroid) dan kelainan bentuk uterus (malformasi). Plasenta yang terletak didaerah kornu fundus uteri dapat pula menyebabkan letak sungsang, karena plasenta mengurangi luas ruangan didaerah fundus. Kelainan fetus juga dapat menyebabkan letak sungsang seperti malformasi CNS, massa dileher, aneuploidi
Diagnosis Letak Sungsang :
Diagnosis letak sungsang pada umumnya tidak sulit. Diagnosis ditegakkan berdasarkan keluhan subyektif dan pemeriksaan fisik atau penunjang yang telah dilakukan. Dari anamnesis didapatkan kalau ibu hamil akan merasakan perut terasa penuh dibagian atas dan gerakan anak lebih banyak dibagian bawah rahim. Dari riwayat kehamilan mungkin diketahui pernah melahirkan sungsang. Sedangkan dari pemeriksaan fisik Leopold akan ditemukan dari Leopold I difundus akan teraba bagian bulat dan keras yakni kepala, Leopold II teraba punggung dan bagian kecil pada sisi samping perut ibu, Leopold III-IV teraba bokong di segmen bawah rahim. Dari pemeriksaan dalam akan teraba bokong atau dengan kaki disampingnya. Disini akan teraba os sakrum, kedua tuberosis iskii dan anus. Pemeriksaan penunjang juga dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis seperti ultrasonografik atau rontgen
Syarat Partus Pervagina Pada Letak Sungsang :
1) Janin tidak terlalu besar
2) Tidak ada suspek CPD
3) Tidak ada kelainan jalan lahir
Jika berat janin 3500 g atau lebih, terutama pada primigravida atau multipara dengan riwayat melahirkan kurang dari 3500 g, sectio cesarea lebih dianjurkan.
Penatalaksanaan
Menolong persalinan letak sungsang diperlukan lebih banyak ketekunan dan kesabaran dibandingkan dengan persalinan letak kepala. Pertama-tama hendaknya ditentukan apakah tidak ada kelainan lain yang menjadi indikasi seksio, seperti kesempitan panggul, plasenta previa atau adanya tumor dalam rongga panggul .
Pada kasus dimana versi luar gagal/janin tetap letak sungsang, maka penatalaksanaan persalinan lebih waspada. Persalinan pada letak sungsang dapat dilakukan pervaginam atau perabdominal (seksio sesaria). Pervaginam dilakukan jika tidak ada hambatan pada pembukaan dan penurunan bokong (1,4). Syarat persalinan pervaginam pada letak sungsang: bokong sempurna (complete) atau bokong murni (frank breech), pelvimetri, klinis yang adekuat, janin tidak terlalu besar, tidak ada riwayat seksio sesaria dengan indikasi CPD, kepala fleksi. Mekanisme persalinan letak sungsang berlangsung melalui tiga tahap yaitu:
1. Persalinan bokong
a. Bokong masuk ke pintu atas panggul dalam posisi melintang atau miring.
b. Setelah trokanter belakang mencapai dasar panggul, terjadi putaran paksi dalam sehingga trokanter depan berada di bawah simfisis.
c. Penurunan bokong dengan trokanter belakangnya berlanjut, sehingga distansia bitrokanterika janin berada di pintu bawah panggul.
d. Terjadi persalinan bokong, dengan trokanter depan sebagai hipomoklion.
e. Setelah trokanter belakang lahir, terjadi fleksi lateral janin untuk persalinan trokanter depan, sehingga seluruh bokong janin lahir.
f. Terjadi putar paksi luar, yang menempatkan punggung bayi ke arah perut ibu.
g. Penurunan bokong berkelanjutan sampai kedua tungkai bawah lahir.
2. Persalinan bahu
a. Bahu janin memasuki pintu atas panggul dalam posisi melintang atau miring.
b. Bahu belakang masuk dan turun sampai mencapai dasar panggul.
c. Terjadi putar paksi dalam yang menempatkan bahu depan dibawah simpisis dan bertindak sebagai hipomoklion.
d. Bahu belakang lahir diikuti lengan dan tangan belakang.
e. Penurunan dan persalinan bahu depan diikuti lengan dan tangan depan sehingga seluruh bahu janin lahir.
f. Kepala janin masuk pintu atas panggul dengan posisi melintang atau miring.
g. Bahu melakukan putaran paksi dalam.
3. Persalinan kepala janin
a. Kepala janin masuk pintu atas panggul dalam keadaan fleksi dengan posisi dagu berada dibagian posterior.
b. Setelah dagu mencapai dasar panggul, dan kepala bagian belakang tertahan oleh simfisis kemudian terjadi putar paksi dalam dan menempatkan suboksiput sebagai hipomiklion.
c. Persalinan kepala berturut-turut lahir: dagu, mulut, hidung, mata, dahi dan muka seluruhnya
d. Setelah muka, lahir badan bayi akan tergantung sehingga seluruh kepala bayi dapat lahir.
e. Setelah bayi lahir dilakukan resusitasi sehingga jalan nafas bebas dari lendir dan mekoneum untuk memperlancar pernafasan. Perawatan tali pusat seperti biasa. Persalinan ini berlangsung tidak boleh lebih dari delapan menit
Mekanisme letak sungsang dapat dilihat dalam gambar berikut:
Komplikasi persalinan letak sungsang antara lain:
1. Dari faktor ibu:
a. Perdarahan oleh karena trauma jalan lahir atonia uteri, sisa placenta.
b. Infeksi karena terjadi secara ascendens melalui trauma (endometritits)
c. Trauma persalinan seperti trauma jalan lahir, simfidiolisis.
2. Dari faktor bayi:
a. Perdarahan seperti perdarahan intracranial, edema intracranial, perdarahan alat-alat vital intra-abdominal.
b. Infeksi karena manipulasi
Trauma persalinan seperti dislokasi/fraktur ektremitas, persendian leher, rupture alat-alat vital intraabdominal, kerusakan pleksus brachialis dan fasialis, kerusakan pusat vital di medulla oblongata, trauma langsung alat-alat vital (mata, telinga, mulut), asfiksisa sampai lahir mati
b. Presentasi muka
Adalah keadaan dimana kepala dalam kedudukan defleksi maksimal, sehingga oksiput tertekan pada punggung dan muka merupakan bagian terendah menghadap kebawah.
Primer bila terjadi sejak kehamilan, sekunder bila terjadi pada proses persalinan.
1) Diagnosis :
a) Tubuh janin dalam keadaan fleksi, sehingga pada pemeriksaan luar dada akan teraba punggung.
b) bagian kepala menonjol yaitu belakang kepala berada di sebelah yang berlawanan dengan letak dada.
c) Didaerah itu juga dapat diraba bagian-bagian kecil janin dan DJJ lebih jelas.
d) Periksa dalam meraba dagu, mulut, hidung, pinggir orbita.
2) Etiologi :
Penyebabnya keadaan – keadaan yang memaksa terjadi defleksi kepala atau keadaan yang menghalangi terjadinya fleksi kepala.
1) Sering ditemukan pada janin besar atau panggul sempit.
2) Multiparitas, perut gantung
3) Anensefalus, tumor leherbagian depan.
3) Mekanisme Persalinan
Kepala turun melalui PAP dengan sirkum ferensiatrakelo-parietalis dan dengan dagu melintang / miring.Setelah muka mencapai dasar panggul terjadi PPD, sehingga dagu memutar kedepan dan berada di bawah arkus pubis.Dengan daerah submentum sebagai hipomoklion kepala lahir dengan gerakan fleksi sehingga dahi, UUB, belakang kepala melewati perineum.Setelah kepala lahir terjadi PPL dan badan janin lahir seperti pada presentasi kepala.kalau dagu bedara dibelakang pada waktu putaran dalam dagu harus melewati jarak yang jarak yang lebih jauh supaya dapat berada di depan. Kadang dagu tidak memutar ke depan dan tetap berada di belakang.Keadaan ini disebut posisi mento posterior persisten dan janin tidak dapat lahir spontan, kecuali bila janin mati atau kecil.Hal ini karena kepala sudah berada dalam fleksi maksimal dan tidak mungkin menambah defleksinya lagi, sehingga kepala dan bahu terjepit dalam pangguldan persalinan tidak akan maju.
4) Penanganan
Pada persalinan cek ada tidaknya CPD.
a) Bila tidak ada CPD, dagu didepan persalinan spontan
b) Bila dagu dibelakang beri kesempatan dagu memutar ke depan dengan memasukkan 1 tangan dalam vagina.
c) Keadaan tertentu dicoba merubah menjadi presentasi belakang kepala dengan memasukkan tangan dalam vagina, kemudian memutar muka padadaerah mulut dan dagu keatas. Bila gagal, coba perasat Thorn.
Indikasi ekstraksi cunam : bila dagu di depan.
Indikasi SC pada ; posisi mento posterior persisten, kesempitan panggul dan kesulitan turunnya kepala dalam rongga panggul
b. Presentasi dahi
Adalah keadaan dimana kedudukan kepala berada diantara fleksi maksimal dan defleksi maksimal, sehingga dahi menjadi bagian terendah. Sebagian besar berubah menjadi belakang kepala.
1) Diagnosis
a) Pemeriksaan liuar seperti pada presentasi muka , tapi bagian belakang kepala tidak seberapa menonjol.
b) DJJ terdengar dibagian dada, disebelah yang sama dengan bagian-bagian kecil janin.
c) Pada persalinan : kepala janin tidak turun ke dalam rongga panggul bila pada persalinan sebelumnya normal.
d) Periksa dalam : meraba sutura frontalis, ujung satu teraba UUB dan ujung lain teraba pangkal hidung dan lingkaran orbita., mulut dan dagu tidak teraba.
2) Etiologi
Sama dengan presentasi muka.
3) Mekanisme Persalinan
Kepala masuk melalui PAPdengan sirkumferensia maksilo-parietalis dan dengan sutura frontalis melintang / miring.Setelah terjadi moulage dan ukuran terbesar kepala telah melalui PAP ,dagu memutar ke depan. Setelah dagu didepan dengan fosa kanina sebagai hipomoklion terjadi fleksi sehingga UUB,dan belakang kepala melewati perineum.Kemudian terjadi dfleksi sehingga mulut dan dagu lahir dibawah simpisis. Yang ,menghalangi presentasi dahi untuk menjadi presentasi muka , biasanya terjadi karena moulage dan kaput sucsedaneum yang besar padadahi waktu kepala memasuki panggul, sehingga sulit terjadi penambahan defleksi .
4) Penanganan
Janin kecil mungkin lahir spontan, bila normal dan besar tidak dapat lahir spontan. Presentasi dahi dengan ukuran panggul dan janin yang normal, tidak akan dapat lahir spontan pervaginam, sehingga harus dilahirkan secara seksio sesaria. Pada janin yang kecil dan panggul yang luas pada garis besarnya sikap dalam menghadapi persalinan presentasi dahi sama dengan sikap menghadapi persalinan presentasi muka. Bila persalinan menunjukkan kemajuan, tidak perlu dilakukan tindakan. Demikian pula bila harapan presentasi dahi dapat berubah menjadi presentasi belakang kepala atau presentasi muka. Jika pada akhir kala I kepala belum masuk ke dalam rongga panggul, dapat diusahakan dengan mengubah presentasi dengan perasat Thorn, tetapi jika tidak berhasil, sebaiknya dilakukan seksio sesaria. Meskipun kepala telah masuk ke rongga panggul, tetapi bila kala II tidak mengalami kemajuan sebaiknya juga dilakukan seksio sesaria. Bayi yang lahir dalam presentasi dahi menunjukkan kaput seksudanium yang besar pada dahi serta moulage kepala yang hebat.
c. Letak lintang
Letak lintang ialah suatu kehamilan dimana letak janin melintang terhadap rahim ibu, atau sumbu panjang janin melintang terhadap sumbu panjang ibu. Sesungguhnya tidak ada letak lintang sejati, atau letak lintang dimana sumbu panjang janin dan ibu membentuk sudut 90o. Biasanya letak anak itu seikit miring, dengan bokong atau kepala yang lebih rendah mendekati pintu atas panggul.
Letak lintang lebih penting artinya dibandingkan presentasi bokong, karena pada umumnya letak lintang tidak dapat dilahirkan pervaginam sehingga jika tidak mendapat pertolongan, akan menimbulkan bahaya besar baik terhadap anak ataupun ibu.
Letak lintang dapat dibagi menjadi 2 macam, yang dibagi berdasarkan:
1) Letak kepala
a) Kepala anak bisa di sebelah kiri ibu
b) Kepala anak bisa di sebelah kanan ibu
2) Letak punggung
a) Jika punggung terletak di sebelah depan ibu, disebut dorso-anterior
b) Jika punggung terletak di sebelah belakang ibu, disebut dorso-posterior
c) Jika punggung terletak di sebelah atas ibu, disebut dorso-superior
d) Jika punggung terletak di sebelah bawah ibu, disebut dorso-inferior
Frekuensi letak lintang dalam literatur disebutkan sekitar 0,5%-2%. Sedangkan di Indonesia sekitar 0,5%.
Letak lintang lebih banyak pada multipara daripada primipara, karena yang menjadikan letak lintang pada umumnya hampir sama dengan kelainan yang menyebabkan presentasi bokong .
Namun harus dikemukakan satu faktor yang terpenting , yaitu jika ruang rahim memberi kesempatan bagi janin untuk bergerak lebih leluasa. Ini mungkin, jika dinding uterus dan dinding perut ibu sudah begitu lembek, misalnya pada wanita grandemultipara, atau malah pada panggul sempit
.
1) Diagnosis
Dengan pemeriksaan luar, biasanya tidak begitu sulit untuk menentukan letak lintang, kecuali pada keadaan-keadaan pada primipara dengan perut yang sangat kencang, atau pda hidramnion, gemelli (kembar), atau jika ada tumor.
Pada inspeksi kelihatan perut membuncit tidak dalam ukuran memanjang, melainkan dalam ukuran melintang. Pada palpasi menunjukkan fundus uteri lebih rendah jika dibandingkan dengan usia kehamilan. Selain itu pada sebelah bawah di atas simfisis tidak teraba bagian besar, sedangkan kepala anak dapat diraba di samping kiri atau kanan. Kadan dapat teraba jelas bagian kecil , ini jika punggung anak terletak di sebelah belakang. Denyut jantung janin kerapkali terdengar di sebelah belakang.
Pada periksa dalam, pada permulaan partus, jika ketuban belum pecah, umumnya dengan periksa dalam masih sukar untuk menentukan dengan pasti diagnosis letak lintang. Hanya kita harus memfokuskan bahwa dapat dirasakan rongga panggul masih kosong , atau dalam waktu his, tidak teraba dengan nyata bagian-bagian kecil dari janin yang terdapat di atas pintu atas panggul.
Dengan kata lain, diagnosis akan lebih pasti jika pembukaan sudah cukup luas. Dalam pemeriksaan kita harus berusaha dengan periksa dalam yang dilakukan tidak malah memecahkan ketuban. Ini berhubungan dengan kemungkinan apakah kita masih dapat merubah letak anak menjadi letak kepala, yaitu dengan versi luar.
Jika ketuban sudah pecah, dan pembukaan sudah lebih luas, maka barulah periksa dalam memberi kenyataan yang cukup dan diagnosis menjadi lebih mudah. Jika mungkin, supaya jelas, periksa dalam dilakukan dengan 4 jari atau tangan seluruhnya. Dengan demikian bisa diketahui dengan pasti bagian-bagian tubuh anak yang dapat diraba.
Bagian tubuh anak yang jelas diraba ialah dimana terdapat tulang keras dan berhubung dengan ini sebagai pokok diagnosis letak lintang, ialah jika dapat diraba tulang-tulang iga, lebih nyata lagi jika disamping itu dapat diraba tulang belikat (scapula) yang berbentuk segitiga, atau tulang scapula.
Pada letak lintang seringkali terjadi dengan tangan letak terkemuka, artinya tangan sudah turun terlebih dahulu dan dapat diraba di dalam vagina, atau selurh lengan sudah menumbung dan kelihatan tangan di luar vulva.
Tangan harus dibedakan dengan kaki, yaitu jika kaki akan teraba tulang kalkaneus, dan jari-jari lebih pendek dan rapat, bahkan hampir sama panjang. Berbeda dengan tangan yang lebih jarang dan jari-jari berbeda panjangnya. Jika betul tangan , untuk membedakannya tangan kanan atau kiri, dapat dilakukan dengan menjabat tangan tersebut. Jika cocok dalam berjabat tangan kanan, maka tangan yang menumbung itu adalah tangan kanan.
2) Mekanisme Persalinan Pada Letak Lintang
Pada permulaan persalinan dalam letak lintang, pintu atas panggung tidak tertutup oleh bagian bawah anak seperti pada letak memanjang. Oleh karena itu seringkali ketuban sudah lebih dulu pecah sebelum pembukaan lengkap atau hampir lengkap. Setelah ketuban pecah, maka tidak ada lagi tekanan pada bagian bawah, sehingga persalinan berlangsung lebih lama.
His berperan dalam meluaskan pembukaan, selain itu dengan kontraksi yang semakin kuat, maka anak makin terdorong ke bawah. Akibatnya tubuh anak menjadi membengkok sedikit, terutama pada bagian yang mudah membengkok, yaitu di daerah tulang leher. Ini pun disebabkan karena biasnaya ketuban sudah lekas pecah dan karena tak ada lagi air ketuban, maka dinding uterus lebih menekan anak di dalam rahim. Dengan demikian bagian anak yang lebih rendah akan masuk lebih dulu ke dalam pintu atas panggul, yaitu bahu anak.
Karena pada letak lintang pintu atas panggul tidak begitu tertutup, maka tali pusat seringkali menumbung, dan ini akan memperburuk keadaan janin.
Bila pembukaan telah lengkap, ini pada awalnya tidak begitu jelas tampaknya. Karena tidak ada tekanan dari atas oleh bagian anak pada lingkaran pembukaan, makan lingkaran ini tidak dapat lenyap sama sekali, senantiasa masih berasa pinggirnya seperti suatu corong yang lembut. Penting untuk diketahui, bahwa tidak ada pembukaan yang benar-benar lengkap pada letak lintang seperti halnya pembukaan lengkap pada letak memanjang. Tandanya pembukaan itu sudah lengkap adalah lingkaran pembukaan itu mudah dilalui oleh kepalan tangan pemeriksa, sedangkan pada pembukaan yang belum lengkap, kepalan tangan pemeriksa sukar untuk memasuki lingkaran tersebut.
Lain halnya dengan letak memanjang, pada letak lintang setelah pembukaan lengkap, karena his dan tenaga mengejan, badan anak tidak dapat dikeluarkan dari rongga rahim, akan tetapi sebagian besar masih di dalam uterus, meskipun tubuh anak menjadi semakin membengkok.. Jika ini terjadi terus menerus, maka akan terjadi suatu letak lintang kasep, dimana tubuh anak tidak dapat lagi didorong ke atas. Letak lintang kasep terjadi bukanlah karena lamanya persalinan, namun faktor yang penting ialah karena faktor kuatnya his. Pada letak lintang kasep, biasanya anak telah mati, yang disebabkan karena kompresi pada tali pusat, perdarahan pada plasenta, ataupun cedera organ dalam karena tubuh anak terkompresi dan membengkok.
Gambar 1. Letak lintang Kasep dengan lengan menumbung
Bila keadaan kasep ini dibiarkan saja, makan dapat terjadi ruptur uteri yang sangat berbahaya pada bagi ibu.
Persalinan Pervaginam Pada Letak Lintang
Kadangkala dalam letak lintang anak dapat dilahirkan secara pervaginam, ini dapat terjadi pada anak yang kecil (preterm), atau pada anak yang telah mati. Pada anak yang normal dan hidup, hal ini sama sekali tidak diharapkan
Evolutio Spontanea
Karena tenaga his dan tenaga mengejan, maka bahu anak turun dan masuk ke dalam rongga panggul, sedangkan kepala tertekan dan tinggal di atas. Pada suatu waktu, bahu itu lahir di bawah simfisis, dan sekarang dengan bahu itu sebagai hipomoklion, lahirlah berturut turut bagian atas badan, yaitu samping dada diikuti oleh perut, bokong , kaki dan kepala. Cara ini disebut cara DOUGLAS.
Gambar 2. Evolutio Spontanea cara Douglas
Ada keadaan dimana bahu dan kepala anak tertekan dan tinggal di atas pintu atas panggul. Yang tertekuk adalah punggung dan pinggang. Dengan demikian maka pada suatu ketika bokong sama tingginya dengan bahu dan selanjutnya lahir lebih dahulu bokong, dan kaki, dilanjutkan dengan badan dan kepala. Cara ini disebut cara DENMAN
Gambar 3. Evolutio Spontanea Cara Denman
Conduplicatio Corpore
Hal ini berlaku terutama pada panggul luar dan anak yang kecil, yaitu kepala anak tidak tertahan di atas, sehingga kepala dan perut sama-sama turun ke dalam rongga panggul dan dengan keadaan terlipat lahirlah kepala dan perut, dilanjutkan dengan bokong dan kaki.
Gambar 4. Conduplicatio Corpore
3) Penatalaksanaan Pada Letak Lintang
a) Saat Hamil
Pada saat hamil, pada usia kehamilan 34-36 minggu dapat dianjurkan untuk dilakukan knee chest position sampai usia kehamilan >36 minggu. Setelah itu , jika masih dalam letak lintang, maka dapat dilakukan versi luar jika syarat memenuhi
b) Saat Persalinan
Ada dua hal yang harus diperhatikan dalam pertolongan persalinan pada letak lintang, yaitu ketuban dan pembukaan.
c) Jika ketuban belum pecah, dan pembukaan masih kecil (<4cm), dapat dicoba untuk dilakukan versi luar hingga menjadi presentasi kepala atau presentasi bokong. Jika versi luar gagal dan tidak terjadi komplikasi maka dapat ditunggu sampai pembukaan lengkap. d) Namun jika pembukaan sudah besar, versi luar sangat tidak dianjurkan. Dalam hal ini ketuban harus dijaga jangan sampai pecah dan ibu diminta berbaring miring dan dilarang mengejan. Ditunggu sampai pembukaan lengkap, setelah lengkap , ketuban dipecahkan dan dilakukan versi ekstraksi. e) Jika ketuban sudah pecah, dan pembukaan belum lengkap, maka seksio sesarea adalah jalan terbaik. Meskipun pada literatur lama mengatakan dapat ditunggu sampai lengkap dan dilakukan versi ekstraksi, namun mungkin hal ini tidak relevan lagi pada masa sekarang. f) Jika pembukaan sudah lengkap, maka perlu diketahui apakah sudah terjadi letak lintang kasep atau belum. g) Jika sudah terjadi letak lintang kasep, cara mengetahuinya adalah dengan mencoba mendorong bagian terbawah janin, jika tidak dapat didorong lagi, maka dapat ditegakkan diagnosis letak lintang kasep. Penatalaksanaanya adalah dengan melihat anak hidup atau sudah mati. h) Jika anak masih hidup, maka segera dilakukan seksio sesarea. Namun jika anak mati, dapat dipertimbangkan untuk dilakukan embriotomi. i) Jika belum terjadi letak lintang kasep, maka dapat dicoba untuk dilakukan versi ekstraksi. d. Presentasi rangkap/ ganda Adalah keadaan dimana disamping kepala janin didalam rongga panggul dijumpai tangan, lengan atau kaki atau keadaan dimana disamping bokong janin dijumpai lengan(Wiknjosastro, 2002). Presentasi rangkap atau ganda adalah bagian kecil menumbung disamping bagian besar janin dan bersama-sama memasuki panggul, sehingga ukuran yang akan melalui jalan lahir menjadi besar dan tidak sesuai dengan ukuran pintu bawah panggul (Manuaba, 1998). e. Kehamilan ganda Adalah keadaan dimana disamping kepala janin didalam rongga panggul dijumpai tangan, lengan atau kaki atau keadaan dimana disamping bokong janin dijumpai lengan (Wiknjosastro, 2002). Presentasi rangkap atau ganda adalah bagian kecil menumbung disamping bagian besar janin dan bersama-sama memasuki panggul, sehingga ukuran yang akan melalui jalan lahir menjadi besar dan tidak sesuai dengan ukuran pintu bawah panggul (Manuaba, 1998). f. Posisi Oksipitalis Posterior Persisten. Pada letak belakang kepala biasanya ubun-ubun kecil akan memutar ke depan dengan sendirinya dan janin lahir secara spontan. Kadang-kadang UUK tidak berputar ke depan, tetapi tetap berada di belakang, yang disebut Positio Occiput Posterior Persistens. Dalam menghadapi persalinan dimana UUK terdapat di belakang, kita harus sabar, sebab rotasi ke depan kadang-kadang baru terjadi didasar pangggul. Dalam hal ini persalinan akan menjadi lebih lama dan dapat terjadi perlukaan pada perinium. (Mochtar, 1998). g. Presentasi Belakang Kepala Oksiput Melintang Adalah keadaan dimana kepala sudah masuk panggul sedangkan ubun-ubun masih disamping, terjadi karena putaran paksi terlambat sehingga persalinan berlangsung lama.(Mochtar, 1998). h. Presentasi Puncak Kepala Adalah keadaan dimana puncak kepala merupakan bagian terendah, hal ini terjadi apabila derajat defleksinya ringan. Pada umumnya presentasi puncak kepala merupakan kedudukan sementara yang kemudian berubah menjadi presentasi belakang kepala. Mekanisme persalinannya hampir sama dengan posisi oksipitalis posterior persistens, sehingga keduanya sering kali dikacaukan satu dengan yang lainnya. Perbedaannya ialah : pada presentasi puncak kepala tidak terjadi fleksi kepala yang maksimal, sedangkan lingkaran kepala yang melalui jalan lahir adalah sirkumferensia frontooksipitalis dengan titik perputaran yang berada dibawah symfisis ialah glabella (Wiknjosastro,2002). i. Prolaps Tali Pusat Yaitu tali pusat berada disamping atau melewati bagian terendah janin setelah ketuban pecah. Bila ketuban belum pecah disebut tali pusat terdepan. Pada keadaan prolaps tali pusat ( tali pusat menumbung ) timbul bahaya besar, tali pusat terjepit pada waktu bagian janin turun dalam panggul sehingga menyebabkan asfiksia pada janin. Prolaps tali pusat mudah terjadi bila pada waktu ketuban pecah bagian terdepan janin masih berada di atas PAP dan tidak seluruhnya menutup seperti yang terjadi pada persalinan ; hidramnion, tidak ada keseimbangan antara besar kepala dan panggul, premature, kelainan letak. Diagnosa prolaps tali pusat ditegakkan bila tampak tali pusat keluar dari liang senggama atau bila ada pemeriksaan dalam teraba tali pusat dalam liang senggama atau teraba tali pusat di samping bagian terendah janin. Pencegahan Prolaps Tali Pusat : 1) Menghindari pecahnya ketuban secara premature akibat tindakan kita. Penanganan Tali Pusat Terdepan ( Ketuban belum pecah ) : a) Usahakan agar ketuban tidak pecah b) Ibu posisi trendelenberg c) Posisi miring, arah berlawanan dengan posisi tali pusat d) Reposisi tali pusat Penanganan Prolaps Tali Pusat : a) Apabila janin masih hidup , janin abnormal, janin sangat kecil harapan hidup Tunggu partus spontan. a) Pada presentasi kepala apabila pembukaan kecil, pembukaan lengkap Vacum ekstraksi, porcef. b) Pada Letak lintang atau letak sungsang Sectio cesaria 5. DISTOSIA PSIKOLOGIS Masalah psikologis yang mungkin terjadi: a. Kecemasan menghadapi persalinan Intervensinya: kaji penyebab kecemasan, orientasikan ibu terhadap lingkungan , pantau tanda vital (tekanan darah dan nadi), ajarkan teknik2 relaksasi, pengaturan nafas untuk memfasilitasi rasa nyeri akibat kontraksi uterus b. Kurang pengetahuan tentang proses persalinan Intervensinya: kaji tingkat pengetahuan, beri informasi tentang proses persalinan dan pertolongan persalinan yang akan dilakukan, informed consent c. Kemampuan mengontrol diri menurun (pada kala 1 fase aktif) Intervensinya: berikan support emosi dan fisik, libatkan keluarga (suami) untuk selalu mendampingi selama proses persalinan berlangsung Perubahan psikologis pada kala I dipengaruhi oleh: a. Pengalaman sebelumnya b. Kesiapan emosi c. Persiapan menghadapi persalinan (fisik, mental, materi dsb) d. Support sistem e. Lingkungan f. Mekanisme koping g. Kultur h. Sikap terhadap kehamilan menurut Varney, pendekatan untuk mengurangi rasa sakit dapat dilakukan dengan cara: a. Menghadirkan seseorang yang dapat memberikan dukungan selama persalinan (suami, orang tua) b. Pengaturan posisi :duduk atau setengah duduk, posisi merangkak, berjongkok atau berdiri, berbaring miring ke kiri c. Relaksasi dan pernafasan d. Istirahat dan privasi e. Penjelasan mengenai proses/kemajuan/prosedur yang akan dilakukan f. Asuhan diri g. Sentuhan beberapa teknik dukungan untuk mengurangi rasa sakit a. Kehadiran seorang pendamping yang terus menerus, sentuhan yang nyaman, dan dorongan dari orang yang memberikan support b. Perubahan posisi dan pergerakan c. Sentuhan dan massase d. Counterpressure untuk mengurangi tegangan pada ligamen e. Pijatan ganda pada pinggul f. Penekanan pada lutut g. Kompres hangat dan kompres dingin h. Berendam i. Pengeluaran suara j. Visualisasi dan pemusatan perhatian (dengan berdoa) k. Musik yang lembut dan menyenangkan ibu Pemenuhan kebutuhan fisik dan psikologis ibu dan keluarga a. Mengatur posisi Anjurkan ibu untuk mengatur posisi yang nyaman selama persalinan, anjurkan suami atau pendamping untuk membantu ibu mengatur posisi. ibu boleh berjalan, berdiri atau jongkok (membantu proses turunnya bagian terendah janin). berbaring miring (memberi rasa santai, memberi oksigenisasi yang baik ke janin, mencegah laserasi) atau merangkak(mempercepat rotasi kepala janin, peregangan minimal pada perineum, baik pada ibu yang mengeluh sakit punggung). posisi terlentang kurang dianjurkan karena dapat menyebabkan menurunnya sirkulasi darah dari ibu ke plasenta berdampak pada terjadinya hipoksia janin. b. pemberian cairan dan nutrisi Berikan ibu asupan makanan ringan dan minum aior sesering mungkin agar tidak terjadi dehidrasi. dehidrasi dapat memperlambat kontraksi/ kontraksi menjadi kurang efektik. B. KOMPLIKASI/ PENYULIT PERSALINAN KALA II 1. KALA II LAMA a. Pengertian Partus lama adalah fase laten lebih dari 8 jam. Persalinan telah berlangsung 12 jam atau lebih, bayi belum lahir. Dilatasi serviks di kanan garis waspada persalinan aktif (Syaifuddin, AB., 2002). Partus lama : adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam pada primi, dan lebih dari 18 jam pada multi. Partus lama adalah proses persalinan yang mempunyai masalah fase laten yang panjang, persalinan telah berlangsung 12 jam atau lebih bayi belum lahir atau dilatasi serviks dikanan garis waspada pada persalinan fase aktif. Partus lama adalah perjalanan persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam, tetapi belum menimbulkan komplikasi maternal atau fetal. b. Etiologi 1) His tidak efisien (adekuat) 2) Faktor janin (malpresenstasi, malposisi, janin besar) 3) Faktor jalan lahir (panggul sempit, kelainan serviks, vagina, tumor Faktor-faktor ini sering saling berhubungan. 4) Kelainan letak janin 5) Pimpinan partus yang salah 6) Primitua 7) Perut gantung, grandmulti 8) Ketuban pecah dini c. Dampak Partus Lama 1) Infeksi Intrapartum Infeksi adalah bahaya yang serius yang mengancam ibu dan janinnya pada partus lama, terutama bila disertai pecahnya ketuban. Bakteri di dalam cairan amnion menembus amnion dan menginvasi desidua serta pembuluh korion sehingga terjadi bakteremia dan sepsis pada ibu dan janin. Pneumonia pada janin, akibat aspirasi cairan amnion yang terinfeksi, adalah konsekuensi serius lainnya. Pemeriksaan serviks dengan jari tangan akan memasukkan bakteri vagina ke dalam uterus. Pemeriksaan ini harus dibatasi selama persalinan, terutama apabila dicurigai terjadi persalinan lama. 2) Ruptura Uteri Penipisan abnormal segmen bawah uterus menimbulkan bahaya serius selama partus lama, terutama pada ibu dengan parietas tinggi dan pada mereka dengan riwayat SC. Apabila disproporsi antara kepala janin dan panggul sedemikian besar sehingga kepala tidak cakap (engaged) dan tidak terjadi penurunan, segmen bawah uterus menjadi sangat teregang kemudian dapat menyebabkan ruptura. Pada kasus ini, mungkin terbentuk cincin retraksi patologis yang dapat diraba sebagai sebuah Krista transversal atau oblik yang berjalan melintang di uterus antara simpisis dan umbilicus. Apabila dijumpai keadaan ini, diindikasikan persalinan perabdominan segera. 3) Cincin Retraksi Patologis Walaupun sangat jarang, dapat timbul konstriksi atau cincin local uterus pada persalianan yang berkepanjangan. Tipe yang paling sering adalah cincin retraksi patologis Bandl, yaitu pembentukan cincin retraksi normal yang berlebihan. Cincin ini sering timbul akibat persalinan yang terhambat, disertai peregangan dan penipisan berlebihan segmen bawah uterus. Pada situasi semacam ini identasi abdomen dan menandakan ancaman akan rupturnya SBR. Konstriksi uterus local jarang dijumpai saat ini karena terlambatnya persalinan secara berkepanjangan tidak lagi dibiarkan. Konstriksi local ini kadang-kadang masih terjadi sebagai konstriksi jam pasir (hourglass constriction) uterus setelah lahirnya kembar pertama. Pada keadaan ini, konstriksi tersebut kadang-kadang dapat dilemaskan dengan anesthesia umum yang sesuai dan janin dilahirkan secara normal, tetapi kadang-kadang SC yang dilakukan dengan segera menghasilkan prognosis yang lebih baik bagi kembar kedua. 4) Pembentukan Fistula Apabila bagian terbawah janin menekan kuat ke PAP, tetapi tidak maju untuk jangka waktu yang cukup lama, bagian jalan lahir yang terletak di antaranya dan dinding panggul dapat mengalami tekanan yang berlebihan. Karena gangguan sirkulasi, dapat terjadi nekrosis yang akan jelas dalam beberapa hari setelah melahirkan dengan munculnya fistula vesikovaginal, vesikoservikal, atau retrovaginal. Umumnya nekrosis akibat penekanan ini pada persalinan kala II yang berkepanjangan. 5) Cidera Otot-otot Dasar Panggul Saat kelahiran bayi, dasar panggul mendapat tekanan langsung dari kepala janin serta tekanan ke bawah akibat upaya mengejan ibu. Gaya-gaya ini meregangkan dan melebarkan dasar panggul sehingga terjadi perubahan fungsional dan anatomik otot, saraf, dan jaringan ikat. Efek-efek ini bisa menyebabkan inkontinensia urin dan alvi serta prolaps organ panggul. 6) Kaput Suksedaneum Apabila panggul sempit, sewaktu persalinan sering terjadi kaput suksedaneum yng besar di bagian terbawah kepala janin. Kaput ini dapat berukuran cukup besar dan menyebabkan kesalahan diagnostic yang serius. Kaput hampir dapat mencapai dasar panggul sementara kepala sendiri belum cakap. 7) Molase kepala Janin Akibat tekanan his yang kuat, lempeng-lempeng tulang tengkorak saling bertumpang tindih satu sama lain di sutura-sutura besar, suatu proses yang disebut molase. Biasanya batas median tulang parietal yang berkontak dengan promontorium bertumpang tindih dengan tulang di sebelahnya; hal yang sama terjadi pada tulang-tulang frontal. Namun, tulang oksipital terdorong ke bawah tulang parietal. Perubahan-perubahan ini sering terjadi tanpa menimbulkan kerugian yang nyata. Di lain pihak, apabila distorsi yang terjadi mencolok, molase dapat menyebabkan robekan tentorium, laserasi pembuluh darah janin, dan perdarahan intracranial pada janin d. Tanda dan gejala 1) Pada Ibu : a) Gelisah, letih, suhu badan meningkat, berkeringat, nadi cepat, pernapasan cepat, dan --meteorismus. Di daerah lokal sering dijumpai: Ring v/d Bandl, eedema vulva, edema serviks, cairan ketuban berbau, terdapat mekonium. b) Pembukaan serviks mengarah ke sebelah kanan garis waspada partograf. c) Pembukaan serviks kurang dari 1 cm per jam. d) Frekuensi kontraksi kurang dari 2 kali dalam 10 menit dan lamanya kurang dari 40 detik 2) Pada Janin a) DJJ cepat/hebat/tidak teratur bahkan negatif, air ketuban terdapat mekonium, kental kehijau-hijauan, berbau. b) Kaput suksedaneum yang besar c) Moulage kepala yang hebat d) Kematian Janin Dalam Kandungan (KJDK) e) Kematian Janin Intra Partal (KJIP) e. Batas Normal Persalinan 1) Primipara Mean :13-14 jam Median :10,6 jam Mode :7 jam. 2) Multipara Mean :8 jam Median : 6 jam Mode : 4 jam. f. Komplikasi 1) Ibu a) Infeksi sampai sepsis b) asidosis dengan gangguan elektrolit c) dehidrasi, syock, kegagalan fungsi organ-organ d) robekan jalan lahir e) fistula buli-buli, vagina, rahim dan rectum 2) Janin a) Gawat janin dalam rahim sampai meninggal b) lahir dalam asfiksia berat sehingga dapat menimbulkan cacat otak menetap c) trauma persalinan, fraktur clavicula, humerus, femur g. Penanganan 1) Perawatan pendahuluan: Penatalaksanaan penderita dengan partus kasep (lama) adalah sebagai berikutl: a) Suntikan cortone acetate: 100-200 mg intramuskular b) Penisilin prokain: 1 juta iu intramuskular c) Streptomisin: 1 gr intramuskular d) Infus cairan: • Larutan garam fisiologis • Larutan glukose 5-10% pada janin pertama: 1 liter/jam. e) Istirahat 1 jam untuk observasi, kecuali bila keadaan mengharuskan untuk segera bertindak. 2) Pertolongan Dapat dilakukan partus spontan, ekstraksi vakum, ekstraksi forsep, manualaid pada letak sungsang, embriotomi bila janin meninggal, seksio sesarea, dan lain-lain. h. Partus lama jika tidak segera diakhiri akan menimbulkan : 1) Kelelahan pada ibu karena mengejan terus-menerus sedangkan intake kalori biasanya berkurang 2) Dehidrasi dan gangguan keseimbangan asam basa/ elektrolit karena intake cairan yang kurang 3) Gawat janin sampai kematian karena asfiksia dalam jalan lahir. 4) Infeksi rahim, timbul karena ketuban pecah lama sehingga terjadi infeksi rahim yang dipermudah karena adanya manipulasi penolong yang kurang steril 5) Perlukaan jalan lahir, timbulkan persalinan yang traumatik 2. PARTUS TAK MAJU/ MACET a. Pengertian Partus macet adalah suatu keadaan dari suatu persalinan yang mengalami kemacetan dan berlangsung lama sehingga timbul komplikasi ibu maupun janin (anak). Partus macet merupakan persalinan yang berjalan lebih dari 24 jam untuk primigravida dan atau 18 jam untuk multi gravida. b. Etiologi Penyebab persalinan lama diantaranya adalah kelainan letak janin, kelainan panggul, kelainan keluaran his dan mengejan, terjadi ketidakseimbangan sefalopelfik, pimpinan persalinan yang salah dan primi tua primer atau sekunder. c. Tanda dan gejala 1) Tanda – tanda kelelahan dan intake yang kurang a) Dehidrasi, nadi cepat dan lemah b) Metorismus c) Febris d) His yang hilang/ melemah 2) Tanda – tanda rahim pecah (rupture uteri) a) Perdarahan melaluli orivisium eksternmu b) His yang hilang c) Bagian janin yang mudah teraba d) Robekan dapat meluas sampai cervix dan vagina 3) Tanda infeksi intra uteri a) Keluar air ketuban berwarna keruh kehijauan dan berbau, kadang bercampur dengan meconium b) Suhu rectal > 37,50 c.
4) Tanda gawat janin
a) Air ketuban bercampur dengan mekonium
b) Denyut jantung janin irreguler
c) Gerak anak berkurang atau hiperaktif ( gerak konfulsif).
d. Diagnosis
1) Keadaan umum ibu
a) Dehidrasi, panas
b) Meteorismus, shock
c) Anemia, oliguri.
2) Palpasi
a) His lemah
b) Gerak janin tidak ada
c) Janin mudah diraba
3) Auskultasi
a) Denyut jantung janin, takikardia, irreguler, negatif (jika janin sudah mati).
4) Pemeriksaan dalam
a) Keluar air ketuban yang keruh dan berbau bercamput dengan mekoniu
b) Bagian terendah anak sukar digerakkan, mudah didorong jika sudah terjadi rupture uteri
c) Suhu rectal lebih tinggi 37,50c.
e. Diagnosa Banding
Kehamilan / persalinan dengan infeksi ektra genital, disini suhu aksila lebih tinggi dari rectal dan ketuban biasanya masih utuh.
f. Komplikasi
1) Ibu
a) Infeksi sampai sepsis
b) Asidosis dengan gangguan elektrolit
c) Dehidrasi, syock, kegagalan fungsi organ-organ
d) Robekan jalan lahir
e) Fistula buli-buli, vagina, rahim dan rectum
2) Janin
a) Gawat janin dalam rahim sampai meninggal
b) Lahir dalam asfiksia berat sehingga dapat menimbulkan cacat otak menetap
c) Trauma persalinan, fraktur clavicula, humerus, femur
g. Tindakan
1) Memperbaiki keadaan umum ibu
a) Koreksi cairan ( rehidrasi)
b) Koreksi keseimbangan asam basa
c) Koreksi keseimbangan elektrolit
d) Pemberian kalori
e) Pemberantasan infeksi
f) Penurunan panas
2) Mengakhiri persalinan dengan cara tergantung dari penyebab kemacetan atau anakhidup atau mati.
Sebaiknya tindakan pertama dilakukan lebih dahulu sampai kondisi ibu optimal untuk dilakukan tindakan kedua, diharapkan dalam 2-3 jam sudah ada perbaikan
Bila pembukaan lengkap dan syarat-syarat persalinan pervaginam terpenuhi maka dapat dilakukan ekstraksi vacum, ekstraksi forcep, atau perforasi kranioflasi
Bila pembukaan belum lengkap dilakukan sectio caesarea
Persalinan normal berlangsung lebih kurang 14 jam, dari awal pembukaan sampai lahirnya anak
Apabila terjadi perpanjangan dari
a) Fase laten (primi : 20 jam, multi : 14 jam)
b) fase aktif (primi: 1,2 cm/ jam, multi 1 ½ cm/ jam)
c) kala III (primi : 2 jam, multi : 1jam)
maka disebut partus lama
C. KOMPLIKASI/ PENYULIT PERSALINAN KALA III
1. RETENSIO PLASENTA
a. Pengertian
Retensio plasenta (placental retention) merupakan plasenta yang belum lahir dalam setengah jam setelah janin lahir. Sedangkan sisa plasenta (rest placenta) merupakan tertinggalnya bagian plasenta dalam rongga rahim yang dapat menimbulkan perdarahan postpartum dini (early postpartum hemorrhage) atau perdarahan post partum lambat (late postpartum hemorrhage) yang biasanya terjadi dalam 6-10 hari pasca persalinan.
Retensio Plasenta adalah tertahannya plasenta atau belum lahirnya plasenta liingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir (Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, 2002:178).
Retensio plasenta adalah plasenta belum lahir ½ jam sesudah anak lahir.(Obstetri Patologi, hal. 234).
Retensio Plasenta adalah terlambatnya kelahiran plasenta selama setengah jam setelah kelahiran bayi. Plasenta harus dikeluarkan karena dapat menimbulkan bahaya perdarahan, infeksi karena sebagai benda mati, dapat terjadi plasenta inkarserata dapat terjadi polip plasenta, dan terjadi degenerasi ganas korio karsinoma (Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan, hal. 300).
b. Jenis-Jenis Retensio Plasenta
1) Plasenta Adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
2) Plasenta Akreta adalah implantasi jonjot korion plasetita hingga memasuki sebagian lapisan miornetrium.
3) Plasenta Inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai / memasuki miornetnum.
4) Plasenta Perlireta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.
5) Plaserita Inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum utrri disebabkan oleh kontriksi osteuni uteri.
c. Etiologi
Sebab-sebabnya plasenta belum lahir bisa oleh karena:
1) plasenta belum lepas dari dinding uterus; atau
2) plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan.
Apabila plasenta belum lahir sama sekali, tidak terjadi perdarahan; jika lepas sebagian, terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya.
Plasenta belum lepas dari dinding uterus karena:
1) kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesiva);
2) plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vili korialis menembus desidua sampai miometrium- sampai di bawah peritoneum (plasenta akreta-perkreta).
Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar, disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III, sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta).
d. Tanda dan gejala
1) Anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta informasi mengenai episode perdarahan postpartum sebelumnya, paritas, serta riwayat multipel fetus dan polihidramnion. Serta riwayat pospartum sekarang dimana plasenta tidak lepas secara spontan atau timbul perdarahan aktif setelah bayi dilahirkan.
2) Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis servikalis tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus.
e. Patofisiologi
Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi. Kontraksi dan retraksi otot-otot uterus menyelesaikan proses ini pada akhir persalinan. Sesudah berkontraksi, sel miometrium tidak relaksasi, melainkan menjadi lebih pendek dan lebih tebal. Dengan kontraksi yang berlangsung kontinyu, miometrium menebal secara progresif, dan kavum uteri mengecil sehingga ukuran juga mengecil. Pengecian mendadak uterus ini disertai mengecilnya daerah tempat perlekatan plasenta.
Ketika jaringan penyokong plasenta berkontraksi maka plasenta yang tidak dapat berkontraksi mulai terlepas dari dinding uterus. Tegangan yang ditimbulkannya menyebabkan lapis dan desidua spongiosa yang longgar memberi jalan, dan pelepasan plasenta terjadi di tempat itu. Pembuluh darah yang terdapat di uterus berada di antara serat-serat oto miometrium yang saling bersilangan. Kontraksi serat-serat otot ini menekan pembuluh darah dan retaksi otot ini mengakibatkan pembuluh darah terjepit serta perdarahan berhenti.
Pengamatan terhadap persalinan kala tiga dengan menggunakan pencitraan ultrasonografi secara dinamis telah membuka perspektif baru tentang mekanisme kala tiga persalinan. Kala tiga yang normal dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu:
1) Fase laten, ditandai oleh menebalnya duding uterus yang bebas tempat plasenta, namun dinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis.
2) Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat plasenta melekat (dari ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm).
3) Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan pemisahannya dari dinding uterus dan lepas. Tidak ada hematom yang terbentuk antara dinding uterus dengan plasenta.
Terpisahnya plasenta disebabkan oleh kekuatan antara plasenta yang pasif dengan otot uterus yang aktif pada tempat melekatnya plasenta, yang mengurangi permukaan tempat melekatnya plasenta. Akibatnya sobek di lapisan spongiosa.
Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur. Saat plasenta bergerak turun, daerah pemisahan tetap tidak berubah dan sejumlah kecil darah terkumpul di dalam rongga rahim. Ini menunjukkan bahwa perdarahan selama pemisahan plasenta lebih merupakan akibat, bukan sebab. Lama kala tiga pada persalinan normal ditentukan oleh lamanya fase kontraksi. Dengan menggunakan ultrasonografi pada kala tiga, 89% plasenta lepas dalam waktu satu menit dari tempat implantasinya.
Tanda-tanda lepasnya plasenta adalah sering ada pancaran darah yang mendadak, uterus menjadi globuler dan konsistensinya semakin padat, uterus meninggi ke arah abdomen karena plasenta yang telah berjalan turun masuk ke vagina, serta tali pusat yang keluar lebih panjang.
Sesudah plasenta terpisah dari tempat melekatnya maka tekanan yang diberikan oleh dinding uterus menyebabkan plasenta meluncur ke arah bagian bawah rahim atau atas vagina. Kadang-kadang, plasenta dapat keluar dari lokasi ini oleh adanya tekanan inter-abdominal. Namun, wanita yang berbaring dalam posisi terlentang sering tidak dapat mengeluarkan plasenta secara spontan. Umumnya, dibutuhkan tindakan artifisial untuk menyempurnakan persalinan kala tinggi. Metode yang biasa dikerjakan adalah dengan menekan dan mengklovasi uterus, bersamaan dengan tarikan ringan pada tali pusat.
f. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelepasan Plasenta :
1) Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks; kelemahan dan tidak efektifnya kontraksi uterus; kontraksi yang tetanik dari uterus; serta pembentukan constriction ring.
2) Kelainan dari plasenta, misalnya plasenta letak rendah atau plasenta previa; implantasi di cornu; dan adanya plasenta akreta.
3) Kesalahan manajemen kala tiga persalinan , seperti manipulasi dari uterus yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik; pemberian uterotonik yang tidak tepat waktunya yang juga dapat menyebabkan serviks kontraksi dan menahan plasenta; serta pemberian anestesi terutama yang melemahkan kontraksi uterus.
g. Pemeriksaan Penunjang
1) Hitung darah lengkap: untuk menentukan tingkat hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Hct), melihat adanya trombositopenia, serta jumlah leukosit. Pada keadaan yang disertai dengan infeksi, leukosit biasanya meningkat.
2) Menentukan adanya gangguan koagulasi dengan hitung protrombin time (PT) dan activated Partial Tromboplastin Time (aPTT) atau yang sederhana dengan Clotting Time (CT) atau Bleeding Time (BT). Ini penting untuk menyingkirkan perdarahan yang disebabkan oleh faktor lain.
h. Diagnosa Bandin
Meliputi plasenta akreta, suatu plasenta abnormal yang melekat pada miometrium tanpa garis pembelahan fisiologis melalui garis spons desidua.
i. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi meliputi:
1) Komplikasi yang berhubungan dengan transfusi darah yang dilakukan.
2) Multiple organ failure yang berhubungan dengan kolaps sirkulasi dan penurunan perfusi organ.
3) Sepsis
4) Kebutuhan terhadap histerektomi dan hilangnya potensi untuk memiliki anak selanjutnya.
j. Prognosis
Prognosis tergantung dari lamanya, jumlah darah yang hilang, keadaan sebelumnya serta efektifitas terapi. Diagnosa dan penatalaksanaan yang tepat sangat penting.
k. Penatalaksanaan
Penanganan retensio plasenta atau sebagian plasenta adalah:
1) Resusitasi. Pemberian oksigen 100%. Pemasangan IV-line dengan kateter yang berdiameter besar serta pemberian cairan kristaloid (sodium klorida isotonik atau larutan ringer laktat yang hangat, apabila memungkinkan). Monitor jantung, nadi, tekanan darah dan saturasi oksigen. Transfusi darah apabila diperlukan yang dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan darah.
2) Drips oksitosin (oxytocin drips) 20 IU dalam 500 ml larutan Ringer laktat atau NaCl 0.9% (normal saline) sampai uterus berkontraksi.
3) Plasenta coba dilahirkan dengan Brandt Andrews, jika berhasil lanjutkan dengan drips oksitosin untuk mempertahankan uterus.
4) Jika plasenta tidak lepas dicoba dengan tindakan manual plasenta. Indikasi manual plasenta adalah: Perdarahan pada kala tiga persalinan kurang lebih 400 cc, retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir, setelah persalinan buatan yang sulit seperti forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir, tali pusat putus.
5) Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan dapat dikeluarkan dengan tang (cunam) abortus dilanjutkan kuret sisa plasenta. Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase. Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus.
6) Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral.
7) Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk pencegahan infeksi sekunder.
2. PLASENTA REST
a. Pengertian
sisa plasenta merupakan tertinggalnya bagian plasenta dalam uterus yang dapat menimbulkan perdarahan post partum primer atau perdarahan post partum sekunder.
Sewaktu suatu bagian plasenta (satu atau lebih lobus) tertinggal, maka uterus tidak dapat berkontraksi secara efektif dan keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan. Gejala dan tanda yang bisa ditemui adalah perdarahan segera, uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak berkurang.
b. Etiologi
1) Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta ( plasenta adhesiva)
2) Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vili korialis menembus desidua sampai miometrium.
c. Tanda dan gejala
Sisa plasenta dan ketuban yang masih tertinggal dalam rongga rahim dapat menimbulkan perdarahan postpartum dini atau perdarahan pospartum lambat (biasanya terjadi dalam 6 – 10 hari pasca persalinan). Pada perdarahan postpartum dini akibat sisa plasenta ditandai dengan perdarahan dari rongga rahim setelah plasenta lahir dan kontraksi rahim baik. Pada perdarahan postpartum lambat gejalanya sama dengan subinvolusi rahim, yaitu perdarahan yang berulang atau berlangsung terus dan berasal dari rongga rahim. Perdarahan akibat sisa plasenta jarang menimbulkan syok.
Penilaian klinis sulit untuk memastikan adanya sisa plasenta, kecuali apabila penolong persalinan memeriksa kelengkapan plasenta setelah plasenta lahir. Apabila kelahiran plasenta dilakukan oleh orang lain atau terdapat keraguan akan sisa plasenta, maka untuk memastikan adanya sisa plasenta ditentukan dengan eksplorasi dengan tangan, kuret atau alat bantu diagnostik yaitu ultrasonografi. Pada umumnya perdarahan dari rongga rahim setelah plasenta lahir dan kontraksi rahim baik dianggap sebagai akibat sisa plasenta yang tertinggal dalam rongga rahim.
d. Penatalaksanaan
Pengelolaan
1) Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase. Dalam kondisi tertentu apabila memungkinkan, sisa plasenta dapat dikeluarkan secara manual. Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus.
2) Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral.
3) Antibiotika dalam dosis pencegahan sebaiknya diberikan.
Penanganan perdarahan postpartum yang disebabkan oleh sisa plasenta:
1) Penemuan secara dini hanya mungkin dengan melakukan pemeriksaan kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa plasenta dengan perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian besar pasien akan kembali lagi ke tempat bersalin dengan keluhan perdarahan
2) Berikan antibiotika, ampisilin dosis awal 1g IV dilanjutkan dengan 3 x 1g oral dikombinasikan dengan metronidazol 1g supositoria dilanjutkan dengan 3 x 500mg oral.
3) Lakukan eksplorasi (bila servik terbuka) dan mengeluarkan bekuan darah atau jaringan. Bila servik hanya dapat dilalui oleh instrument, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan AMV atau dilatasi dan kuretasi
4) Bila kadar Hb<8 gr% berikan transfusi darah. Bila kadar Hb>8 gr%, berikan sulfas ferosus 600 mg/hari selama 10 hari.
3. PLASENTA AKRETA
a. Pengertian
Plasenta akreta adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan implantasi plasenta yang sangat kuat menempel pada dinding uterus, akibat dari tidak adanya desidua basalis dan ketidaksempurnaan pembentukan lapisan fibrinoid atau lapisan nitabuch. Seperti telah disebutkan sebelumnya lapisan ini menghalangi masuknya trofoblas lebih dalam lagi.
Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian lapisan miometrium.
Plasenta akreta adalah pelekatan abnormal plasenta ke lapisan otot uterus.
1) Pembagian dari keadaan ini ialah:
2) Plasenta akreta: dimana implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai lapisan miometrium.
3) Plasenta inkreta: dimana implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki lapisan miometrium.
4) Plaenta percreta: dimana implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.
b. Etiologi
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa etiologinya ialah kelainanan pada desidua basialis dan tidak terbentuk lapisan fibrinoid (lapisan nitabuch), sehingga jonjot koroin dapat terus masuk untuk berimplantasi. Keadaan yang mempengaruhi hal ini ialah implantasi pada segmen bawa rahim, jaringan parut pada bekas seksiosesar sebelumnya atau bekas insisi pada uterus ataupun bekas kuretase.
Fox melaporkan dari 622 kasus plasenta akreta yang di dapatkan pada tahun 1945 sampai 1969, di temukan karaktristik sebagai berikut :
1) Plasenta previa di temukan pada sepertiga kasus
2) Seperempat kasus ternyata adalah wanita dengan wanita bekas seksiosesar pada persalinan sebelumnya
3) Hampir seperempat kasus sebelumnya mendapatkan kuratase
4) Seperempatnya merupakan kehamilan ke enam atau lebih
Diagnosa pasti dari plasenta akreta,inkreta dan precreta hanya di dapatkan dari hasil pemeriksaan hitopatologi, dengan demikian dapt terlihat sedalam apa invasi dari jonjot korion
c. Tanda dan gejala
Tanda penting dari adanya plasenta akreta ialah pada pemeriksaan luar di dapatkan ikutnya fundus atau korpus uteri apabila tali pusat di tarik tindakan yang dilakukan ialah tindakan operatif
d. Terapi
Plasenta akreta parsialis masih dapat dilepaskan secara manual tetapi plasenta akreta komplit tidak boleh dilepaskan secara manual karena usaha ini dapat menimbulkan perforasi dinding rahim. Terapi terbaik dalam hal ini adalah histerektomi.
D. KOMPLIKASI/ PENYULIT PERSALINAN KALA IV
1. ATONIA UTERI
a. Pengertian
Atonia uteria (relaksasi otot uterus) adalah Uteri tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir). (JNPKR, Asuhan Persalinan Normal, Depkes Jakarta ; 2002)
Atonia Uteri didefinisikan sebagai suatu kondisi kegagalan uterus dalam berkontraksi dengan baik setelah persalinan, sedangkan atonia uteri juga didefinisikan sebagai tidak adanya kontraksi uterus segera setelah plasenta lahir.
Sebagian besar perdarahan pada masa nifas (75-80%) adalah akibat adanya atonia uteri. Sebagaimana kita ketahui bahwa aliran darah uteroplasenta selama masa kehamilan adalah 500-800 ml/menit, sehingga bisa kita bayangkan ketika uterus itu tidak berkontraksi selama beberapa menit saja, maka akan menyebabkan kehilangan darah yang sangat banyak. Sedangkan volume darah manusia hanya berkisar 5-6 liter saja.
b. Etiologi
Dalam kasus atonia uteri penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Namun demikian ada beberapa faktor predisposisi yang biasa dikenal. Antara lain:
1) Distensi rahim yang berlebihan
Penyebab distensi uterus yang berlebihan antara lain:
a) kehamilan ganda
b) poli hidramnion
c) makrosomia janin (janin besar)
Peregangan uterus yang berlebihan karena sebab-sebab tersebut akan mengakibatkan uterus tidak mampu berkontraksi segera setelah plasenta lahir.
2) Pemanjangan masa persalinan (partus lama) dan sulit
Pada partus lama uterus dalam kondisi yang sangat lelah, sehingga otot-otot rahim tidak mampu melakukan kontraksi segera setelah plasenta lahir.
3) Grandemulitpara (paritas 5 atau lebih)
Kehamilan seorang ibu yang berulang kali, maka uterus juga akan berulang kali teregang. Hal ini akan menurunkan kemampuan berkontraksi dari uterus segera setelah plasenta lahir.
4) Kehamilan dengan mioma uterus
Mioma yang paling sering menjadi penyebab perdarahan post partum adalah mioma intra mular, dimana mioma berada di dalam miometrium sehingga akan menghalangi uterus berkontraksi.
5) Persalinan buatan (SC, Forcep dan vakum ekstraksi)
Persalinan buatan mengakibatkan otot uterus dipaksa untuk segera mengeluarkan buah kehamilan dengan segera sehingga pada pasca salin menjadi lelah dan lemah untuk berkontraksi.
6) Persalinan lewat waktu
Peregangan yang berlebihan ada otot uterus karena besarnya kehamilan, ataupun juga terlalu lama menahan beban janin di dalamnya menjadikan otot uterus lelah dan lemah untuk berkontraksi.
7) Infeksi intrapartum
Korioamnionitis adalah infeksi dari korion saat intrapartum yang potensial akan menjalar pada otot uterus sehingga menjadi infeksi dan menyebabkan gangguan untuk melakukan kontraksi.
8) Persalinan yang cepat
Persalainan cepat mengakibatkan otot uterus dipaksa untuk segera mengeluarkan buah kehamilan dengan segera sehingga pada pasca salin menjadi lelah dan lemah untuk berkontraksi.
9) Kelainan plasenta
Plasenta akreta, plasenta previa dan plasenta lepas prematur mengakibatkan gangguan uterus untuk berkontraksi. Adanya benda asing menghalangi kontraksi yang baik untuk mencegah terjadinya perdarahan.
10) Anastesi atau analgesik yang kuat
Obat anastesi atau analgesi dapat menyebabkan otot uterus menjadi dalam kondisi relaksasi yang berlebih, sehingga saat dibutuhkan untuk berkontraksi menjadi tertunda atau terganggu. Demikian juga dengan magnesium sulfat yang digunakan untuk mengendalikan kejang pada preeklamsi/eklamsi yang berfungsi sebagai sedativa atau penenang.
11) Induksi atau augmentasi persalinan
Obat-obatan uterotonika yang digunakan untuk memaksa uterus berkontraksi saat proses persalinan mengakibatkan otot uterus menjadi lelah.
12) Penyakit sekunder maternal
Anemia, endometritis, kematian janin dan koagulasi intravaskulere diseminata merupakan penyebab gangguan pembekuan darah yang mengakibatkan tonus uterus terhambat untuk berkontraksi.
c. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala atonia uteri adalah:
1) Perdarahan pervaginam
Perdarahan yang terjadi pada kasus atonia uteri sangat banyak dan darah tidak merembes. Yang sering terjadi adalah darah keluar disertai gumpalan, hal ini terjadi karena tromboplastin sudah tidak mampu lagi sebagai anti pembeku darah.
2) Konsistensi rahim lunak
Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia dan yang membedakan atonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya.
3) Fundus uteri naik
Disebabkan adanya darah yang terperangkap dalam cavum uteri dan menggumpal
4) Terdapat tanda-tanda syok
Tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas dingin, gelisah, mual dan lain-lain.
d. Pencegahan Atonia Uteri
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi. Menejemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah.
Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani seperti ergometrin. Pemberian oksitosin paling bermanfaat untuk mencegah atonia uteri. Pada manajemen kala III harus dilakukan pemberian oksitosin setelah bayi lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit IM, 5 unit IV bolus atau 10-20 unit per liter IV drip 100-150 cc/jam.
Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti sebagai uterotonika untuk mencegah dan mengatasi perdarahan pospartum dini. Karbetosin merupakan obat long-acting dan onset kerjanya cepat, mempunyai waktu paruh 40 menit dibandingkan oksitosin 4-10 menit. Penelitian di Canada membandingkan antara pemberian karbetosin bolus IV dengan oksitosin drip pada pasien yang dilakukan operasi sesar. Karbetosin ternyata lebih efektif dibanding oksitosin.
e. Manajemen Atonia Uteri
1) Resusitasi
Apabila terjadi perdarahan pospartum banyak, maka penanganan awal yaitu resusitasi dengan oksigenasi dan pemberian cairan cepat, monitoring tanda-tanda vital, monitoring jumlah urin, dan monitoring saturasi oksigen. Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk persiapan transfusi darah.
2) Masase dan kompresi bimanual
Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus yang akan menghentikan perdarahan.
Pemijatan fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta (max 15 detik)
a) Jika uterus berkontraksi
Evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi perdarahan uterus berlangsung, periksa apakah perineum / vagina dan serviks mengalami laserasi dan jahit atau rujuk segera
b) Jika uterus tidak berkontraksi maka :
Bersihkanlah bekuan darah atau selaput ketuban dari vagina & lobang serviks
Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong
Lakukan kompresi bimanual internal (KBI) selama 5 menit.
a) Jika uterus berkontraksi, teruskan KBI selama 2 menit, keluarkan tangan perlahan-lahan dan pantau kala empat dengan ketat.
b) Jika uterus tidak berkontraksi, maka : Anjurkan keluarga untuk mulai melakukan kompresi bimanual eksternal; Keluarkan tangan perlahan-lahan; Berikan ergometrin 0,2 mg LM (jangan diberikan jika hipertensi); Pasang infus menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 500 ml RL + 20 unit oksitosin. Habiskan 500 ml pertama secepat mungkin; Ulangi KBI
c) Jika uterus berkontraksi, pantau ibu dengan seksama selama kala empat
d) Jika uterus tidak berkontraksi maka rujuk segera
3) Uterotonika
Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring dengan meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis rendah oksitosin menguatkan kontraksi dan meningkatkan frekwensi, tetapi pada dosis tinggi menyababkan tetani. Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif diberikan lewat infus dengan ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal (IMM). Efek samping pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan.
Metilergonovin maleat merupakan golongan ergot alkaloid yang dapat menyebabkan tetani uteri setelah 5 menit pemberian IM. Dapat diberikan secara IM 0,25 mg, dapat diulang setiap 5 menit sampai dosis maksimum 1,25 mg, dapat juga diberikan langsung pada miometrium jika diperlukan (IMM) atau IV bolus 0,125 mg. obat ini dikenal dapat menyebabkan vasospasme perifer dan hipertensi, dapat juga menimbulkan nausea dan vomitus. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan hipertensi.
Uterotonika prostaglandin merupakan sintetik analog 15 metil prostaglandin F2alfa. Dapat diberikan secara intramiometrikal, intraservikal, transvaginal, intravenous, intramuscular, dan rectal. Pemberian secara IM atau IMM 0,25 mg, yang dapat diulang setiap 15 menit sampai dosis maksimum 2 mg. Pemberian secara rektal dapat dipakai untuk mengatasi perdarahan pospartum (5 tablet 200 µg = 1 g). Prostaglandin ini merupakan uterotonika yang efektif tetapi dapat menimbulkan efek samping prostaglandin seperti: nausea, vomitus, diare, sakit kepala, hipertensi dan bronkospasme yang disebabkan kontraksi otot halus, bekerja juga pada sistem termoregulasi sentral, sehingga kadang-kadang menyebabkan muka kemerahan, berkeringat, dan gelisah yang disebabkan peningkatan basal temperatur, hal ini menyebabkan penurunan saturasi oksigen. Uterotonika ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan kelainan kardiovaskular, pulmonal, dan disfungsi hepatik. Efek samping serius penggunaannya jarang ditemukan dan sebagian besar dapat hilang sendiri. Dari beberapa laporan kasus penggunaan prostaglandin efektif untuk mengatasi perdarahan persisten yang disebabkan atonia uteri dengan angka kesuksesan 84%-96%. Perdarahan pospartum dini sebagian besar disebabkan oleh atonia uteri maka perlu dipertimbangkan penggunaan uterotonika ini untuk mengatasi perdarahan masif yang terjadi.
4) Uterine lavage dan Uterine Packing
Jika uterotonika gagal menghentikan perdarahan, pemberian air panas ke dalam cavum uteri mungkin dapat bermanfaat untuk mengatasi atonia uteri. Pemberian 1-2 liter salin 47°C-50°C langsung ke dalam cavum uteri menggunakan pipa infus. Tangan operator tidak boleh menghalangi vagina untuk memberi jalan salin keluar.
Penggunaan uterine packing saat ini tidak disukai dan masih kontroversial. Efeknya adalah hiperdistended uterus dan sebagai tampon uterus.
Prinsipnya adalah membuat distensi maksimum sehingga memberikan tekanan maksimum pada dinding uterus. Segmen bawah rahim harus terisi sekuat mungkin, anestesi dibutuhkan dalam penanganan ini dan antibiotika broad-spectrum harus diberikan. Uterine packing dipasang selama 24-36 jam, sambil memberikan resusitasi cairan dan transfusi darah masuk. Uterine packing diberikan jika tidak tersedia fasilitas operasi atau kondisi pasien tidak memungkinkan dilakukan operasi.
5) Operatif
Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka keberhasilan 80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina yang berjalan disamping uterus setinggi batas atas segmen bawah rahim. Jika dilakukan SC, ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah irisan segmen bawah rahim. Untuk melakukan ini diperlukan jarum atraumatik yang besar dan benang absorbable yang sesuai. Arteri dan vena uterina diligasi dengan melewatkan jarum 2-3 cm medial vasa uterina, masuk ke miometrium keluar di bagian avaskular ligamentum latum lateral vasa uterina. Saat melakukan ligasi hindari rusaknya vasa uterina dan ligasi harus mengenai cabang asenden arteri miometrium, untuk itu penting untuk menyertakan 2-3 cm miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan jika langkah diatas tidak efektif dan jika terjadi perdarahan pada segmen bawah rahim. Dengan menyisihkan vesika urinaria, ligasi kedua dilakukan bilateral pada vasa uterina bagian bawah, 3-4 cm dibawah ligasi vasa uterina atas. Ligasi ini harus mengenai sebagian besar cabang arteri uterina pada segmen bawah rahim dan cabang arteri uterina yang menuju ke servik, jika perdarahan masih terus berlangsung perlu dilakukan bilateral atau unilateral ligasi vasa ovarian.
a) Ligasi arteri Iliaka Interna
Identiffikasi bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk melakukannya harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral paralel dengan garis ureter. Setelah peritoneum dibuka, ureter ditarik ke medial kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka interna dan eksterna. Klem dilewatkan dibelakang arteri, dan dengan menggunakan benang non absobable dilakukan dua ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm. Hindari trauma pada vena iliaka interna. Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis harus dilakukan sebelum dan sesudah ligasi.
Risiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat menyebabkan perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter harus mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien.
b) Teknik B-Lynch
Teknik B-Lynch dikenal juga dengan “brace suture”, ditemukan oleh Christopher B Lynch 1997, sebagai tindakan operatif alternative untuk mengatasi perdarahan pospartum akibat atonia uteri.
c) Histerektomi
Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering dilakukan jika terjadi perdarahan pospartum masif yang membutuhkan tindakan operatif. Insidensi mencapai 7-13 per 10.000 kelahiran, dan lebih banyak terjadi pada persalinan abdominal dibandingkan vaginal.
2. PERDARAHAN KALA IV
a. Pengertian
Perdarahan postpartum adalah perdarahan lebih dari 500-600 ml selama 24 jam setelah anak lahir. Termasuk perdarahan karena retensio plasenta. Perdarahan post partum adalah perdarahan dalam kala IV lebih dari 500-600 cc dalam 24 jam setelah anak dan plasenta lahir (Prof. Dr. Rustam Mochtar, MPH, 1998).
Haemoragic Post Partum (HPP) adalah hilangnya darah lebih dari 500 ml dalam 24 jam pertama setelah lahirnya bayi (Williams, 1998)
HPP biasanya kehilangan darah lebih dari 500 ml selama atau setelah kelahiran (Marylin E Dongoes, 2001).
Perdarahan Post partum diklasifikasikan menjadi 2, yaitu:
1) Early Postpartum : Terjadi 24 jam pertama setelah bayi lahir
2) Late Postpartum : Terjadi lebih dari 24 jam pertama setelah bayi lahir
b. Etiologi
Penyebab umum perdarahan postpartum adalah:
a) Atonia Uteri
b) Retensi Plasenta
c) Sisa Plasenta dan selaput ketuban
1) Pelekatan yang abnormal (plasaenta akreta dan perkreta)
2) Tidak ada kelainan perlekatan (plasenta seccenturia)
d) Trauma jalan lahir
Episiotomi yang lebar
Lacerasi perineum, vagina, serviks, forniks dan rahim
Rupture uteri
e) Penyakit darah
Kelainan pembekuan darah misalnya afibrinogenemia /hipofibrinogenemia.
Tanda yang sering dijumpai :
1) Perdarahan yang banyak.
2) Solusio plasenta.
3) Kematian janin yang lama dalam kandungan.
4) Pre eklampsia dan eklampsia.
5) Infeksi, hepatitis dan syok septik.
d) Hematoma
e) Inversi Uterus
f) Subinvolusi UterusHal-hal yang dicurigai akan menimbulkan perdarahan pasca persalinan. Yaitu;
1) Riwayat persalinan yang kurang baik, misalnya:
• Riwayat perdarahan pada persalinan yang terdahulu.
• Grande multipara (lebih dari empat anak).
• Jarak kehamilan yang dekat (kurang dari dua tahun).
• Bekas operasi Caesar.
• Pernah abortus (keguguran) sebelumnya.
2) Hasil pemeriksaan waktu bersalin, misalnya:
• Persalinan/kala II yang terlalu cepat, sebagai contoh setelah ekstraksi vakum, forsep.
• Uterus terlalu teregang, misalnya pada hidramnion, kehamilan kembar, anak besar.
• Uterus yang kelelahan, persalinan lama.
• Uterus yang lembek akibat narkosa.
• Inversi uteri primer dan sekunder.
c. Tanda dan gejala
Gejala klinis umum yang terjadi ialah kehhilangan darah dalam jumlah banyak > 500 ml ), nadi lemah, pucat, lochea berwarna merah, haus, pusing, gelisah, letih dan dapat terjadi syol hipovolemik, tekanan darah rendah, ekstremitas dingin, mual.
Gejala Klinis berdasarkan penyebab:
1) Atonia Uteri:
Gejala yang selalu ada: Uterus tidak berkontraksi dan lembek dan perdarahan segera setelah anak lahir (perarahan postpartum primer)
Gejala yang kadang-kadang timbul: Syok (tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas dingin, gelisah, mual dan lain-lain)
2) Robekan jalan lahir
Gejala yang selalu ada: perdarahan segera, darah segar mengalir segera setelah bayi lahir, kontraksi uteru baik, plasenta baik.
Gejala yang kadang-kadang timbul: pucat, lemah, menggigil.
3) Retensio plasenta
Gejala yang selalu ada: plasenta belum lahir setelah 30 menit, perdarahan segera, kontraksi uterus baik
Gejala yang kadang-kadang timbul: tali pusat putus akibat traksi berlebihan, inversi uteri akibat tarikan, perdarahan lanjutan
4) Tertinggalnya plasenta (sisa plasenta)
Gejala yang selalu ada : plasenta atau sebagian selaput (mengandung pembuluh darah ) tidak lengkap dan perdarahan segera
Gejala yang kadang-kadang timbul: Uterus berkontraksi baik tetapi tinggi fundus tidak berkurang.
5) Inversio uterus
Gejala yang selalu ada: uterus tidak teraba, lumen vagina terisi massa, tampak tali pusat (jika plasenta belum lahir), perdarahan segera, dan nyeri sedikit atau berat.
Gejala yang kadang-kadang timbul: Syok neurogenik dan pucatIV. Patofisiologi
Dalam persalinan pembuluh darah yang ada di uterus melebar untuk meningkatkan sirkulasi ke sana, atoni uteri dan subinvolusi uterus menyebabkan kontraksi uterus menurun sehingga pembuluh darah-pembuluh darah yang melebar tadi tidak menutup sempurna sehingga perdarahan terjadi terus menerus. Trauma jalan lahir seperti epiostomi yang lebar, laserasi perineum, dan rupture uteri juga menyebabkan perdarahan karena terbukanya pembuluh darah, penyakit darah pada ibu; misalnya afibrinogemia atau hipofibrinogemia karena tidak ada atau kurangnya fibrin untuk membantu proses pembekuan darah juga merupakan penyebab dari perdarahan postpartum. Perdarahan yang sulit dihentikan bisa mendorong pada keadaan shock hemoragik.
Perbedaan perdarahan pasca persalinan karena atonia uteri dan robekan jalan lahir adalah:
a) Atonia uteri (sebelum/sesudah plasenta lahir).
• Kontraksi uterus lembek, lemah, dan membesar (fundus uteri masih tinggi.
• Perdarahan terjadi beberapa menit setelah anak lahir.
• Bila kontraksi lemah, setelah masase atau pemberian uterotonika, kontraksi yang lemah tersebut menjadi kuat.
b) Robekan jalan lahir (robekan jaringan lunak).
• Kontraksi uterus kuat, keras dan mengecil.
• Perdarahan terjadi langsung setelah anak lahir. Perdarahan ini terus-menerus. Penanganannya, ambil spekulum dan cari robekan.
• Setelah dilakukan masase atau pemberian uterotonika langsung uterus mengeras tapi perdarahan tidak berkurang.
Perdarahan Postpartum akibat Atonia Uteri
Perdarahan postpartum dapat terjadi karena terlepasnya sebagian plasenta dari rahim dan sebagian lagi belum; karena perlukaan pada jalan lahir atau karena atonia uteri. Atoni uteri merupakan sebab terpenting perdarahan postpartum.
Atonia uteri dapat terjadi karena proses persalinan yang lama; pembesaran rahim yang berlebihan pada waktu hamil seperti pada hamil kembar atau janin besar; persalinan yang sering (multiparitas) atau anestesi yang dalam. Atonia uteri juga dapat terjadi bila ada usaha mengeluarkan plasenta dengan memijat dan mendorong rahim ke bawah sementara plasenta belum lepas dari rahim.
Perdarahan yang banyak dalam waktu pendek dapat segera diketahui. Tapi bila perdarahan sedikit dalam waktu lama tanpa disadari penderita telah kehilangan banyak darah sebelum tampak pucat dan gejala lainnya. Pada perdarahan karena atonia uteri, rahim membesar dan lembek.Terapi terbaik adalah pencegahan. Anemia pada kehamilan harus diobati karena perdarahan yang normal pun dapat membahayakan seorang ibu yang telah mengalami anemia. Bila sebelumnya pernah mengalami perdarahan postpartum, persalinan berikutnya harus di rumah sakit. Pada persalinan yang lama diupayakan agar jangan sampai terlalu lelah. Rahim jangan dipijat dan didorong ke bawah sebelum plasenta lepas dari dinding rahim.
Pada perdarahan yang timbul setelah janin lahir dilakukan upaya penghentian perdarahan secepat mungkin dan mengangatasi akibat perdarahan. Pada perdarahan yang disebabkan atonia uteri dilakukan massage rahim dan suntikan ergometrin ke dalam pembuluh balik. Bila tidak memberi hasil yang diharapkan dalam waktu singkat, dilakukan kompresi bimanual pada rahim, bila perlu dilakukan tamponade utero vaginal, yaitu dimasukkan tampon kasa kedalam rahim sampai rongga rahim terisi penuh. Pada perdarahan postpartum ada kemungkinann dilakukan pengikatan pembuluh nadi yang mensuplai darah ke rahim atau pengangkatan rahim.
Penilaian Klinik
Tabel II.1. Penilaian Klinik untuk Menentukan Derajat Syok
Volume Kehilangan Darah Tekanan Darah (sistolik) Gejala dan Tanda Derajat Syok
500-1.000 mL
(10-15%) Normal Palpitasi, takikardia, pusing Terkompensasi
1000-1500 mL (15-25%) Penurunan ringan (80-100 mm Hg) Lemah, takikardia, berkeringat Ringan
1500-2000 mL (25-35%) Penurunan sedang (70-80 mm Hg) Gelisah, pucat, oliguria Sedang
2000-3000 mL (35-50%) Penurunan tajam (50-70 mm Hg) Pingsan, hipoksia, anuria Berat
d. Patofisiologi
Dalam persalinan pembuluh darah yang ada di uterus terus melebar untuk meningkatkan sirkulasi ke sana, atoni uteri dan subinvolusi uterus menyebabkan kontraksi uterus menurun sehingga pembuluh darah – pembuluh darah yang melebar tadi tidak menutup sempurna sehingga perdarahan terjadi tterus menerus. Trauma jalan lahir seperti epiotomi yang lebar, laserasi perineum, dan rupture uteri juga menyebabkan perdarahan karena terbukanya pembuluh darah. Penyakit pada darah ibu misalnya afibrinogemia atau hipofibrinogemia karena tidak adanya atau kurangnya fibrin untuk membantu proses pembekuan darah juga merupakan penyebab dari perdarahan postpartum. Perdarahan yang sulit dihentikan bisa mendorong pada keadaan shock hemoragik.
e. Pemeriksaan Penunjang
1) Hitung darah lengkap
Untuk menetukan tinghkat hemoglobin ( Hb ) dan hematokrit ( Hct ), melihat adanya trombositopenia, serta jumlah leukosit. Pada keadaan yang disertai dengan infeksi
2) Menentukan adanya gangguan kongulasi
Dengan hitung protombrin time ( PT ) dan activated Partial Tromboplastin Time ( aPTT ) atau yang sederhanadengan Clotting Time ( CT ) atau Bleeding Time ( BT ). Ini penting untuk menyingkirkan garis spons desidua.
f. Penatalaksanaan
Penanganan perdarahan post partum berupa mencegah perdarahan post partum, mengobati perdarahan kala uri dan mengobati perdarahan post partum pada atoni uteri.
Cara mencegah perdarahan post partum yaitu memeriksa keadaan fisik, keadaan umum, kadar hemoglobin, golongan darah dan bila mungkin tersedia donor darah. Sambil mengawasi persalinan, dipersiapkan keperluan untuk infus dan obat-obatan penguat rahim (uterotonika). Setelah ketuban pecah, kepala janin mulai membuka vulva, infus dipasang dan sewaktu bayi lahir diberikan 1 ampul methergin atau kombinasi dengan 5 satuan sintosinon (sintometrin intravena). Hasilnya biasanya memuaskan.
Cara mengobati perdarahan kala uri :
1) Memberikan oksitosin.
2) Mengeluarkan plasenta menurut cara Credee (1-2 kali).
3) Mengeluarkan plasenta dengan tangan.
Pengeluaran plasenta dengan tangan segera sesudah janin lahir dilakukan bila :
1) Menyangka akan terjadi perdarahan post partum.
2) Perdarahan banyak (lebih 500 cc).
3) Retensio plasenta.
4) Melakukan tindakan obstetri dalam narkossa.
5) Riwayat perdarahan post partum pada perssalinan yang lalu.
Jika masih ada sisa-sisa plasenta yang agak melekat dan masih terdapat perdarahan segera lakukan utero-vaginal tamponade selama 24 jam, diikuti pemberian uterotonika dan antibiotika selama 3 hari berturut-turut dan pada hari ke-4 baru dilakukan kuretase untuk membersihkannya.
Jika disebabkan oleh luka-luka jalan lahir, luka segera dijahit dan perdarahan akan berhenti.
Pengobatan perdarahan post partum pada atoni uteri tergantung banyaknya perdarahan dan derajat atoni uteri yang dibagi dalam 3 tahap :
1. Tahap I : perdarahan yang tidak banyak dapat diatasi dengan memberikan uterotonika, mengurut rahim (massage) dan memasang gurita.
2. Tahap II : bila perdarahan belum berhenti dan bertambah banyak, selanjutnya berikan infus dan transfusi darah lalu dapat lakukan :
a. Perasat (manuver) Zangemeister.
b. Perasat (manuver) Fritch.
c. Kompresi bimanual.
d. Kompresi aorta.
e. Tamponade utero-vaginal.
f. Jepit arteri uterina dengan cara Henkel.
b. Tahap III : bila belum tertolong maka usaha terakhir adalah menghilangkan sumber perdarahan dengan 2 cara yaitu meligasi arteri hipogastrika atau histerektomi.
Pasien dengan perdarahan post partum harus ditangani dalam 2 komponen, yaitu: (1) resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok hipovolemik dan (2) identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan post partum3.
Resusitasi cairan
Pengangkatan kaki dapat meningkatkan aliran darah balik vena sehingga dapat memberi waktu untuk menegakkan diagnosis dan menangani penyebab perdarahan. Perlu dilakukan pemberian oksigen dan akses intravena. Selama persalinan perlu dipasang peling tidak 1 jalur intravena pada wanita dengan resiko perdarahan post partum, dan dipertimbangkan jalur kedua pada pasien dengan resiko sangat tinggi.
Berikan resusitasi dengan cairan kristaloid dalam volume yang besar, baik normal salin (NS/NaCl) atau cairan Ringer Laktat melalui akses intravena perifer. NS merupakan cairan yang cocok pada saat persalinan karena biaya yang ringan dan kompatibilitasnya dengan sebagian besar obat dan transfusi darah. Resiko terjadinya asidosis hiperkloremik sangat rendah dalam hubungan dengan perdarahan post partum. Bila dibutuhkan cairan kristaloid dalam jumlah banyak (>10 L), dapat dipertimbangkan pengunaan cairan Ringer Laktat.
Cairan yang mengandung dekstrosa, seperti D 5% tidak memiliki peran pada penanganan perdarahan post partum. Perlu diingat bahwa kehilangan I L darah perlu penggantian 4-5 L kristaloid, karena sebagian besar cairan infus tidak tertahan di ruang intravasluler, tetapi terjadi pergeseran ke ruang interstisial. Pergeseran ini bersamaan dengan penggunaan oksitosin, dapat menyebabkan edema perifer pada hari-hari setelah perdarahan post partum. Ginjal normal dengan mudah mengekskresi kelebihan cairan. Perdarahan post partum lebih dari 1.500 mL pada wanita hamil yang normal dapat ditangani cukup dengan infus kristaloid jika penyebab perdarahan dapat tertangani. Kehilanagn darah yang banyak, biasanya membutuhkan penambahan transfusi sel darah merah.
Cairan koloid dalam jumlah besar (1.000 – 1.500 mL/hari) dapat menyebabkan efek yang buruk pada hemostasis. Tidak ada cairan koloid yang terbukti lebih baik dibandingkan NS, dan karena harga serta resiko terjadinya efek yang tidak diharapkan pada pemberian koloid, maka cairan kristaloid tetap direkomendasikan.
Transfusi Darah
Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan masih terus berlanjut dan diperkirakan akan melebihi 2.000 mL atau keadaan klinis pasien menunjukkan tanda-tanda syok walaupun telah dilakukan resusitasi cepat3.
PRC digunakan dengan komponen darah lain dan diberikan jika terdapat indikasi. Para klinisi harus memperhatikan darah transfusi, berkaitan dengan waktu, tipe dan jumlah produk darah yang tersedia dalam keadaan gawat.
Tujuan transfusi adalah memasukkan 2 – 4 unit PRC untuk menggantikan pembawa oksigen yang hilang dan untuk mengembalikan volume sirkulasi. PRC bersifat sangat kental yang dapat menurunkan jumlah tetesan infus. Msalah ini dapat diatasi dengan menambahkan 100 mL NS pada masing-masing unit. Jangan menggunakan cairan Ringer Laktat untuk tujuan ini karena kalsium yang dikandungnya dapat menyebabkan penjendalan.
Tabel II.3. Jenis uterotonika dan cara pemberiannya
Jenis dan Cara Oksitosin Ergometrin Misoprostol
Dosis dan cara pemberian awal IV: 20 U dalam 1
L larutan garam
fisiologis dengan
tetesan cepat
IM: 10 U IM atau IV (lambat): 0,2 mg Oral atau rektal 400 mg
Dosis lanjutan IV: 20 U dalam 1
L larutan garam
fisiologis dengan
40 tetes/menit Ulangi 0,2 mg IM setelah 15 menit
Bila masih diperlukan, beri IM/IV setiap 2-4 jam 400 mg 2-4 jam setelah dosis awal
Dosis maksimal per hari Tidak lebih dari 3 L larutan fisiologis Total 1 mg (5 dosis) Total 1200 mg atau 3 dosis
Kontraindikasi atau hati-hati Pemberian IV secara cepat atau bolus Preeklampsia, vitium kordis, hipertensi Nyeri kontraksi
Asma
Pencegahan
Bukti dan penelitian menunjukkan bahwa penanganan aktif pada persalinan kala III dapat menurunkan insidensi dan tingkat keparahan perdarahan post partum3. Penanganan aktif merupakan kombinasi dari hal-hal berikut:
1. Pemberian uterotonik (dianjurkan oksitosin) segera setelah bayi dilahirkan.
2. Penjepitan dan pemotongan tali pusat dengan cepat dan tepat
3. Penarikan tali pusat yang lembut dengan traksi balik uterus ketika uterus berkontraksi dengan baik
3. RUPTUR JALAN LAHIR
a. Pengertian
Perdarahan dalam keadaan dimana plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi rahim baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan jalan lahir. Perlukaan jalan lahin terdiri dari :
1. Robekan Perinium
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengan dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu panggul bawah dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia suboksipito bregmatika
Perinium merupakan kumpulan berbagai jaringan yang membentuk perinium (Cunningham,1995). Terletak antara vulva dan anus, panjangnya kira-kira 4 cm (Prawirohardjo, 1999). Jaringan yang terutama menopang perinium adalah diafragma pelvis dan urogenital. Diafragma pelvis terdiri dari muskulus levator ani dan muskulus koksigis di bagian posterior serta selubung fasia dari otot-otot ini. Muskulus levator ani membentuk sabuk otot yang lebar bermula dari permukaan posterior ramus phubis superior, dari permukaan dalam spina ishiaka dan dari fasia obturatorius.
Serabut otot berinsersi pada tempat-tempat berikut ini: di sekitar vagina dan rektum, membentuk sfingter yang efisien untuk keduanya, pada persatuan garis tengah antara vagina dan rektum, pada persatuan garis tengah di bawah rektum dan pada tulang ekor. Diafragma urogenitalis terletak di sebelah luar diafragma pelvis, yaitu di daerah segitiga antara tuberositas iskial dan simpisis phubis. Diafragma urogenital terdiri dari muskulus perinialis transversalis profunda, muskulus konstriktor uretra dan selubung fasia interna dan eksterna (Cunningham, 1995).
Persatuan antara mediana levatorani yang terletak antara anus dan vagina diperkuat oleh tendon sentralis perinium, tempat bersatu bulbokavernosus, muskulus perinialis transversalis superfisial dan sfingter ani eksterna. Jaringan ini yang membentuk korpus perinialis dan merupakan pendukung utama perinium, sering robek selama persalinan, kecuali dilakukan episiotomi yang memadai pada saat yang tepat. Infeksi setempat pada luka episiotomi merupakan infeksi masa puerperium yang paling sering ditemukan pada genetalia eksterna.
LukaPerinium
Luka perinium adalah perlukaan yang terjadi akibat persalinan pada bagian perinium dimana muka janin menghadap (Prawirohardjo S,1999).
Luka perinium, dibagi atas 4tingkatan :
a) Tingkat I : Robekan hanya pada selaput lender vagina dengan atau tanpa mengenai kulit perinium
b) Tingkat II : Robekan mengenai selaput lender vagina dan otot perinea transversalis, tetapi tidak mengenai spingter ani
c) Tingkat III : Robekan mengenai seluruh perinium dan otot spingter ani
d) Tingkat IV : Robekan sampai mukosa rektum
2) Robekan Serviks
Robekan serviks paling sering terjadi pada jam 3 dan 9. bibir depan dan bibir belakang servik dijepit dengan klem fenster kemudian serviks ditariksedidikit untuk menentukan letak robekan dan ujung robekan. Selanjutnya robekan dijahit dengan catgut kromik dimulai dari ujung untuk menghentikan perdarahan.
3) Rupture Uteri
Ruptur uteri merupakan peristiwa yang paling gawat dalam bidang kebidanan karena angka kematiannya yang tinggi. Janin pada ruptur uteri yang terjadi di luar rumah sakit sudah dapat dipastikan meninggal dalam kavum abdomen.
Ruptura uteri masih sering dijumpai di Indonesia karena persalinan masih banyak ditolong oleh dukun. Dukun seagian besar belum mengetahui mekanisme persalinan yang benar, sehingga kemacetan proses persalinan dilakukan dengan dorongan pada fundus uteri dan dapat mempercepat terjadinya rupturauteri.
Menurut Sarwono Prawirohardjo pengertian ruptura uteri adalah robekan atau diskontinuitas dinding rahim akiat dilampauinya daya regang mio metrium. Penyebab ruptura uteri adalah disproporsi janin dan panggul, partus macet atau traumatik. Ruptura uteri termasuk salahs at diagnosis banding apabila wanita dalam persalinan lama mengeluh nyeri hebat pada perut bawah, diikuti dengan syok dan perdarahan pervaginam. Robekan tersebut dapat mencapai kandung kemih dan organ vital di sekitarnya.
Resiko infeksi sangat tinggi dan angka kematian bayi sangat tinggi pada kasus ini. Ruptura uteri inkomplit yang menyebabkan hematoma pada para metrium, kadang-kadang sangat sulit untuk segera dikenali sehingga menimbulkan komplikasi serius atau bahkan kematian. Syok yang terjadi seringkali tidak sesuai dengan jumlah darah keluar karena perdarhan heat dapat terjadi ke dalam kavum abdomen. Keadaan-keadaan seperti ini, sangat perlu untuk diwaspadai pada partus lama atau kasep.
Ruptur Uteri adalah robekan atau diskontinuita dinding rahim akibat dilampauinya daya regang miomentrium. ( buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal ). Rupture uteri adalah robeknya dinding uterus pada saat kehamilan atau dalam persalinan dengan atau tanpa robeknya perioneum visceral.( Obstetri dan Ginekologi ).
Ruptur uteri dapat dibagi menurut beberapa cara :
1. Menurut waktu terjadinya
a. R. u. Gravidarum
Waktu sedang hamil
Sering lokasinya pada korpus
b. R. u. Durante Partum
Waktu melahirkan anak
Ini yang terbanyak
2. Menurut lokasinya:
a. Korpus uteri, ini biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi seperti seksio sesarea klasik ( korporal ), miemoktomi
b. Segmen bawah rahim ( SBR ), ini biasanya terjadi pada partus yang sulit dan lama tidak maju, SBR tambah lama tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah ruptur uteri yang sebenarnya
c. Serviks uteri ini biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsipal atau versi dan ekstraksi sedang pembukaan belum lengkap
d. Kolpoporeksis, robekan-robekan di antara serviks dan vagina
3. Menurut robeknya peritoneum
a. R. u. Kompleta : robekan pada dinding uterus berikut peritoneumnya ( perimetrium ) ; dalam hal ini terjadi hubungan langsung antara rongga perut dan rongga uterus dengan bahaya peritonitis
b. R. u. Inkompleta : robekan otot rahim tanpa ikut robek peritoneumnya. Perdarahan terjadi subperitoneal dan bisa meluas ke lig.latum
4. Menurut etiologinya
Ruptur uteri spontanea
Menurut etiologinya dibagi 2 :
a) Karena dinding rahim yang lemah dan cacat bekas seksio sesarea bekas miomectomia
b) bekas perforasi waktu keratase.
Pembagian rupture uteri menurut robeknya dibagi menjadi :
a. Ruptur uteri kompleta
1) Jaringan peritoneum ikut robek
2) Janin terlempar ke ruangan abdomen
3) Terjadi perdarahan ke dalam ruangan abdomen
4) Mudah terjadi infeksi
b. Ruptura uteri inkompleta
1) Jaringan peritoneum tidak ikut robek
2) Janin tidak terlempar ke dalam ruangan abdomen
3) Perdarahan ke dalam ruangan abdomen tidak terjadi
4) Perdarahan dapat dalam bentuk hematoma
b. Etiologi
1) Robekan perinium
Umumnya terjadi pada persalinan
a) Kepala janin terlalu cepat lahir
b) Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya
c) Jaringan parut pada perinium
d) Distosia bahu
2) Robekan serviks
a) Partus presipitatus
b) Trauma krn pemakaian alat-alat operasi
c) Melahirkan kepala pd letak sungsang scr paksa, pembukaan belum lengkap
d) Partus lama
3) Ruptur Uteri
a) riwayat pembedahan terhadap fundus atau korpus uterus
b) induksi dengan oksitosin yang sembarangan atau persalinan yang lama
c) presentasi abnormal ( terutama terjadi penipisan pada segmen bawah uterus ).( Helen, 2001 )
d) panggul sempit
e) letak lintang
f) hydrosephalus
g) tumor yg menghalangi jalan lahir
h) presentasi dahi atau muka
c. Patofisiologi
1) Robekan Perinium
Robekan perineum terjadi pada semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindarkan atau dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat, sebaliknya kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlampau kuat dan lama, karena akan menyebabkan asfiksia dan pendarahan dalam tengkorok janin, dan melemahkan otot-otot dan fasia pada dasar panggul karena diregangkan terlalu lama.
Robekan perineum umumnya terjadi digaris tengah dan bias menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa sehingga kepala janin terpaksa lahir lebih ke belakang daripada biasa, kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia suboksipito-bregmatika, atau anak dilahirkan dengan pembedahan vaginial.
2) Robekan Serviks
Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks, sehingga serviks seorang multiparaberbeda daripada yang belum pernah melahirkan per vaginam. Robekan serviks yang luas mengakibatkan perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila terjadi perdarahan yang tidak berhenti meskipun plasenta sudah lahir lengkap dan uterus berkontraksi baik, perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir, khususnya robekan serviks uteri.
3) Rupture Uteri
a) Ruptura uteri spontan
• Terjadi spontan dan seagian besar pada persalinan
• Terjadi gangguan mekanisme persalinan sehingga menimbulkan ketegangan segmen bawah rahim yang berlebihan
b) Ruptur uteri trumatik
• Terjadi pada persalinan
• Timbulnya ruptura uteri karena tindakan seperti ekstraksi farsep, ekstraksi vakum, dll
4) Rupture uteri pada bekas luka uterus
Terjadinya spontan atau bekas seksio sesarea dan bekas operasi pada uterus
d. Tanda dan gejala
1. Robekan jalan lahir
Tanda dan Gejala yang selalu ada :
a) Pendarahan segera
b) Darah segar yang mengalir segera setelah bayi hir
c) Uterus kontraksi baik
d) Plasenta baik
Gejala dan tanda yang kadang-kadang ada
a) Pucat
b) Lemah
c) Menggigil
2. Rupture Uteri
Tanda dan gejala ruptur uteri dapat terjadi secara dramatis atau tenang.
Dramatis
a. Nyeri tajam, yang sangat pada abdomen bawah saat kontraksi hebat memuncak
b. Penghentian kontraksi uterus disertai hilangnya rasa nyeri
c. Perdarahan vagina ( dalam jumlah sedikit atau hemoragi )
d. Terdapat tanda dan gejala syok, denyut nadi meningkat, tekanan darah menurun dan nafas pendek ( sesak )
e. Temuan pada palpasi abdomen tidak sama dengan temuan terdahulu
f. Bagian presentasi dapat digerakkan diatas rongga panggul
g. Janin dapat tereposisi atau terelokasi secara dramatis dalam abdomen ibu
h. Bagian janin lebih mudah dipalpasi
i. Gerakan janin dapat menjadi kuat dan kemudian menurun menjadi tidak ada gerakan dan DJJ sama sekali atau DJJ masih didengar
j. Lingkar uterus dan kepadatannya ( kontraksi ) dapat dirasakan disamping janin ( janin seperti berada diluar uterus ).
Tenang
a. Kemungkinan terjadi muntah
b. Nyeri tekan meningkat diseluruh abdomen
c. Nyeri berat pada suprapubis
d. Kontraksi uterus hipotonik
e. Perkembangan persalinan menurun
f. Perasaan ingin pingsan
g. Hematuri ( kadang-kadang kencing darah )
h. Perdarahan vagina ( kadang-kadang )
Tanda-tanda syok progresif
a. Kontraksi dapat berlanjut tanpa menimbulkan efek pada servik atau kontraksi mungkin tidak dirasakan
b. DJJ mungkin akan hilang
e. Penatalaksanaan
Penjahitan Robekan Serviks
1. Tinjau kembali prinsip perawatan umum dan oleskan larutan anti septik ke vagina dan serviks
2. Berikan dukungan dan penguatan emosional. Anastesi tidak dibutuhkan padasebasian besar robekan serviks. Berikan petidin dan diazepam melalui IV secara perlahan (jangan mencampur obat tersebut dalam spuit yang sama) atau gunakan ketamin untuk robekan serviks yang tinggi dan lebar
3. Minta asisten memberikan tekanan pada fundus dengan lembut untuk membantu mendorong serviks jadi terlihat
4. Gunakan retraktor vagina untuk membuka serviks, jika perlu
5. Pegang serviks dengan forcep cincin atau forcep spons dengan hati–hati. Letakkan forcep pada kedua sisi robekan dan tarik dalam berbagai arah secara perlahan untuk melihat seluruh serviks. Mungkin terdapat beberapa robekan.
6. Tutup robekan serviks dengan jahitan jelujur menggunakan benang catgut kromik atau poliglokolik 0 yang dimulai pada apeks(tepi atas robekan) yang seringkali menjadi sumber pendarahan.
7. Jika bagian panjang bibir serviks robek, jahit dengan jahitan jelujur menggunakan benang catgut kromik atau poliglikolik 0.
8. Jika apeks sulit diraih dan diikat, pegang pegang apeks dengan forcep arteri atau forcep cincin. Pertahankan forcep tetap terpasang selama 4 jam. Jangan terus berupaya mengikat tempat pendarahan karena upaya tersebut dapat mempererat pendarahan. Selanjutnya :
a. Setelah 4 jam, buka forcep sebagian tetapi jangan dikeluarkan.
b. Setelah 4 jam berikutnya, keluarkan seluruh forcep.
Penjahitan Robekan Vagina Dan Perinium
Terdapat empat derajat robekan yang bisa terjadi saat pelahiran, yaitu :
1. Tingkat I : Robekan hanya pada selaput lender vagina dan jaringan ikat
2. Tingkat II : Robekan mengenai mukosa vagina, jaringan ikat, dan otot dibawahnya tetapi tidak menenai spingter ani
3. Tingkat III : robekan mengenai trnseksi lengkap dan otot spingter ani
4. Tingkat IV : robekan sampai mukosa rectum.
Penjahitan Robekan Derajat I Dan II
Sebagian besar derajat I menutup secara spontan tanpa dijahit.
1. Tinjau kembali prinsip perawatan secara umum.
2. Berikan dukungan dan penguatan emosional. Gunakan anastesi lokal dengan lignokain. Gunakan blok pedendal, jika perlu.
3. Minta asisten memeriksa uterus dan memastikan bahwa uterus berkontraksi.
4. Periksa vagina, perinium, dan serviks secara cermat.
5. Jika robekan perinium panjang dan dalam, inspeksi untuk memastikan bahwa tidak terdapat robekan derajat III dan IV.
a. Masukkan jari yang memakai sarung tangan kedalam anus
b. Angkat jari dengan hati-hati dan identifikasi sfingter.
c. Periksa tonus otot atau kerapatan sfingter
6. Ganti sarung tangan yang bersih, steril atau DTT
7. Jika spingter cedera, lihat bagian penjahitan robekan derajat III dan IV.
8. Jika spingter tidak cedera, tindak lanjuti dengan penjahitan
Penjahitan Robekan Perineum Derajat III Dan IV
Jahit robekan diruang operasi
1. Tinjau kembali prinsip perawatan umum
2. Berikan dukungan dan penguatan emosional. Gunakan anastesi lokal dengan lignokain. Gunakan blok pedendal, ketamin atau anastesi spinal. Penjahitan dapat dilakukan menggunakn anastesi lokal dengan lignokain dan petidin serta diazepam melalui IV dengan perlahan ( jangan mencampurdengan spuit yang sama ) jika semua tepi robekan dapat dilihat, tetapi hal tersebut jarang terjadi.
3. Minta asisten memeriksa uterus dan memastikan bahwa uterus berkontraksi.
4. Periksa vagina, perinium, dan serviks secara cermat.
5. Untuk melihat apakah spingter ani robek.
a. Masukkan jari yang memakai sarung tangan kedalam anus
b. Angkat jari dengan hati-hati dan identifikasi sfingter.
c. Periksa permukaan rektum dan perhatikan robekan dengan cermat.
6. Ganti sarung tangan yang bersih, steril atau yang DTT
7. Oleskan larutan antiseptik kerobekan dan keluarkan materi fekal, jika ada.
8. Pastikan bahwa tidak alergi terhadap lignokain atau obat-obatan terkait.
9. Masukan sekitar 10 ml larutan lignokain 0,5 % kebawah mukosa vagina, kebah kulit perineum dan ke otot perinatal yang dalam.
10. Pada akhir penyuntikan, tunggu selama dua menit kemudian jepit area robekan denagn forcep. Jika ibu dapat merasakan jepitan tsb, tunggu dua menit algi kemudian lakukan tes ulang.
11. Jahit rektum dengan jahitan putus-putus mengguanakan benang 3-0 atau 4-0 dengan jarak 0,5 cm untuk menyatukan mukosa.
12. Jika spingter robek
a. Pegang setiap ujung sfingter dengan klem Allis ( sfingter akan beretraksi jika robek ). Selubung fasia disekitar sfingter kuat dan tidak robek jika ditarik dengan klem.
b. Jahit sfingter dengan dua atau tiga jahitan putus-putus menggunakan benang 2-0.
13. Oleskan kembali larutan antiseptik kearea yang dijahit.
14. Periksa anus dengan jari yang memakai sarung tangan untuk memastikan penjahitan rektum dan sfingter dilakukan dengan benar. Selanjutnya, ganti sarung tangan yang bersih, steril atau yang DTT.
15. Jahit mukosa vagina, otot perineum dan kulit.
Perbaikan Rupture Uterus
1. Tinjau kembali indikasi.
2. Tinjau kembali prinsip prawatan umum, prinsipperawatan operasi dan pasang infus IV.
3. Berikan dosis tunggal antibiotik profilaksis.
a. Ampisilin 2g melalui IV.
b. Atau sefazolin 1g melalui IV.
4. Buka abdomen
a. Buat insisi vertikalgaris tengah dibawah umbilikus sampai kerambut pubis melalui kulit sampai di fasia.
b. Buat insisi vertikal 2-3 cm di fasia.
c. Pegang tepi fasia dengan forcep dan perpanjang insisi keatas dan kebawah dengan menggunakan gunting.
d. Gunakan jari atau gunting untuk memisahkan otot rektus (otot dinding abdomen )
e. Gunakan jari untuk membuka peritoneum dekat umbilikus. Gunakan gunting untuk memperpanjang insisi ke atas dan ke bawah guna melihat seluruh uterus. Gunakan gunting untuk memisahkan lapisan peritoneum dan membuka bagian bawah peritoneum dengan hati-hati guna mencegah cedera kandung kemih.
f. Periksa area rupture pada abdomen dan uterus dan keluarkan bekuan darah.
g. Letakkan retraktor abdomen.
5. Lahirkan bayi dan plasenta.
6. Infuskan oksitoksin 20 unit dalam 1L cairan IV ( salin normal atau laktat ringer ) dengan kecepatan 60 tetes permenit sampai uterus berkontraksi, kemudian kurangi menjadi 20 tetes permenit.
7. Angkat uterus keluar panggul untukmelihat luasnya cedera.
8. Periksa bagian depan dan belakang uterus.
9. Pegang tepi pendarahan uterus denganklem Green Armytage ( forcep cincin )
10. Pisahkan kandungan kemih dari segmen bawah uterus dengan diseksi tumpul atau tajam. Jika kandung kemih memiliki jaringan parut sampai uterus, gunakan gunting runcing.
Rupture Sampai Serviks Dan Vagina
1. Jika uterus robek sampai serviks dan vagina, mobilisasi kandung kemih minimal 2cm dibawah robekan.
2. Jika memungkinkan, buat jahitan sepanjang 2cm diatas bagian bawah robekan serviks dan pertahankan traksi pada jahitan untuk memperlihatkan bagian-bagian robekan jika perbaikan dilanjutkan.
Rupture Meluas Secara Lateral Sampai Arteria Uterina
1. Jika rupture meluas secara lateral sampai mencederai satu atau kedua arteri uterina, ikat arteri yang cedera.
2. Identifikasi arteri dan ureter sebelum mengikat pembuluh darah uterus.
Rupture Dengan Hematoma Ligamentum Latum Uteri
1. Jika rupture uterus menimbulkan hematoma pada ligamentum latum uteri, pasang klem, potong dan ikat ligamentum teres uteri.
2. Buka bagian anterior ligamentum atum uteri.
3. Buat drain hematoma secara manual, bila perlu.
4. Inspeksi area rupture secara cermat untuk mengetahui adanya cedera pada arteria uterina atau cabang-cabangnya. Ikat setiap pembuluh darah yang mengalami pendarahan.
Penjahitan Robekan Uterus
1. Jahit robekan dengan jahitan jelujur mengunci (continous locking ) menggunakan benang catgut kromik (atau poliglikolik)0. Jika perdarahan tidak terkandali atau jika ruptur melalui insisi klasik atau insisi vertikal terdahulu, buat jahitan lapisan kedua.
2. Jika rupture terlalu luas untuk dijahit, tindak lanjuti dengan histerektomi.\
3. Kontrol pendarahan dalam, gunakan jahitan berbentuk angka delapan.
4. Jika ibu meminta ligasi tuba, lakukan prosedur tsb pada saat ini.
5. Pasang drain abdomen
6. Tutup abdomen.
a. Pastikan tidak ada pendarahan. Keluarkan bekuan darah dengan menggunakn spons.
b. Pada semua kasus, periksa adanya cedera pada kandung kemih. Jka teridentifikasi adanya cedera kandung kemih, perbaiki cedera tsb.
c. Tutup fasia engan jahitan jelujur menggunakan benang catgut kromik (poliglikolik) 0.
d. Jika terdapat tanda-tanda infeksi, tutup jaringan subcutan dengan kasa dan buat jahitan longgar menggunakan benang catgut ( poligkolik ) 0. Tutup kulit dengan penutupan lambat setelah infeksi dibersihkan.
e. Jika tidak terdapat tanda-tanda infeksi, tutup kulit dengan jahitan matras vertikal menggunakan benang nelon ( sutra ) 3-0 dan tutup dengan balutan steril.
DAFTAR PUSTAKA
http://kuliahbidan.wordpress.com/2008/12/02/perdarahan-postpartum/
http://superbidanhapsari.wordpress.com/2009/12/14/makalah-perlukaan-jalan-lahir/
ames R Scott, et al. Danforth buku saku obstetric dan ginekologi. Alih bahasa TMA Chalik. Jakarta: Widya Medika, 2002.
Obstetri fisiologi, Bagian Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Unversitas Padjajaran Bandung, 1993.
Mochtar, Rustam. Sinopsis obstetrik. Ed. 2. Jakarta: EGC, 1998.
Manuaba, Ida Bagus Gede. Ilmu kebidanan, penyakit kandungan dan keluarga berencana. Jakarta: EGC, 1998.
Bobak, Lowdermilk, Jensen. Buku ajar keperawatan maternitas. Alih bahasa: Maria A. Wijayarini, Peter I. Anugerah. Jakarta: EGC. 2004
Heller, Luz. Gawat darurat ginekologi dan obstetric. Alih bahasa H. Mochamad martoprawiro, Adji Dharma. Jakarta: EGC, 1997.
http://hidayat2.wordpress.com/2009/06/10/askep-atonia-uteri/
http://detarie.blogspot.com/2009/06/atonia-uteri.html
http://www.scribd.com/doc/6502612/Perdarahan-Postpartum
http://www.alhamsyah.com/blog/artikel/referat-retensio-plasenta.html
http://medlinux.blogspot.com/2009/02/perdarahan-post-partum.html
http://infobidanfitri.blogspot.com/2009/03/kelainan-presentasi-dan-posisi-janin.html
0 comments:
Post a Comment