A. Pengertian Peran Serta Masyarakat
Dalam hubungannya dengan pembangunan, definisi peran serta menurut PBB dalam Slamet (1993), adalah sebagai keterlibatan aktif dan bermakna dari massa penduduk pada tingkatan-tingkatan yang berbeda
a) di dalam proses pembentukan keputusan untuk menentukan tujuan-tujuan kemasyarakatan dan pengalokasian sumber sumber untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut;
b) pelaksanaan program-program dan proyek-proyek secara sukarela; dan
c) pemanfaatan hasil-hasil dari suatu program atau proyek. Oleh karena itu, pelibatan seseorang dalam berperan serta harus dilakukan pada proses-proses perencanaan, pelaksanaan dan operasinya.
Sementara itu peran serta masyarakat menurut Godschalk (1996) merupakan pengambilan keputusan secara bersama antara masyarakat dan perencana, sedangkan menurut Salusu (1998), peran serta secara garis besar dapat dikategorikan sebagai desakan kebutuhan psikologis yang mendasar pada setiap individu. Hal ini berarti bahwa manusia ingin berada dalam suatu kelompok untuk terlibat dalam setiap kegiatan.
Pada setiap awal pembangunan, peranan pemerintah biasanya besar. Kegiatan pembangunan sebagian besar adalah usaha pemerintah. Bahkan di negara yang menganut sosialisme yang murni, seluruh kegiatan pembangunan adalah tanggung jawab pemerintah. Namun dalam keadaan negara berperan besarpun, peran serta masyarakat diperlukan untuk menjamin berhasilnya pembangunan (Kartasasmita,1997).
Pada kenyataannya, kontribusi masyarakat di samping swasta, lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah sendiri, dipandang sebagai suatu sumbangan pokok dalam pembangunan. Dengan adanya peran serta masyarakat, proyek yang telah dihasilkan lebih menguntungkan dan mencerminkan kebutuhan masyarakat, dibanding dengan proyek tanpa melibatkan masyarakat. Hal ini berarti, bahwa masyarakat tidak hanya dilihat sebagai obyek, tetapi sasarannya melibatkan masyarakat sebagai subyek dalam hal ini mitra pembangunan dalam suatu proses yang berawal dari perencanaan, penyusunan program sampai pada pelaksanaan bahkan operasi dan pemeliharaannya.
Pembangunan di daerah disadari merupakan tanggungjawab bersama antara Pemerintah Daerah dengan masyarakat, sedang Pemerintah Pusat dan Provinsi berperan sebagai pendukung dan pembina. Sebagai konsekuensinya, peran serta masyarakat harus merupakan bagian yang penting dari suatu program pembangunan.
B. Kebutuhan Peran Serta Masyarakat
Peran serta masyarakat membuka kemungkinan keputusan yang diambil didasarkan kebutuhan, prioritas dan kemampuan masyarakat. Hal ini akan dapat menghasilkan rancangan rencana, program dan kebijaksanaan yang lebih realistis.
Masyarakat diikutsertakan dalam aktifitas pembangunan yang dapat menjamin penerimaan dan apresiasi yang lebih besar terhadap segala sesuatu yang dihasilkan. Pemerintah mungkin saja memberikan proyek untuk meningkatkan suatu fasilitas umum. Namun meskipun fasilitas itu telah berdiri seringkali tidak digunakan dengan efektif. Untuk itu masyarakat perlu diikutsertakan dalam pertemuan membahas proyek, dengan memahami tujuan proyek masyarakat dapat memberikan umpan balik, yang akhirnya bisa menjadi suatu proyek yang betul-betul memenuhi keinginan mereka.
Skala prioritas masyarakat mungkin saja berbeda dari skala prioritas yang dimiliki oleh perencana, walaupun masyarakat telah diberi informasi mengenai pilihan yang ada (Conyers, 1994:189). Mereka memiliki kepekaan tentang apa yang bisa dijalankan dan apa yang akan mengalami hambatan (Sanoff, 2000:7).
Disadari saat ini jika masyarakat diberi tanggung jawab dalam pemeliharaan mereka seharusnya dilibatkan dalam perencanaan dan implementasi proyek. Mereka harus membangun rasa kepemilikan dan mengetahui bahwa pemeliharaan tersebut merupakan tanggung jawab masyarakat. (UNICEF, 1999:14). Misalnya dalam hal pemilihan dan penetapan jenis prasarana lingkungan yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat, pada umumnya akan memberikan pengaruh positif bagi pemanfaatannya agar langsung dirasakan masyarakat, serta dapat merangsang tumbuhnya rasa ikut memiliki dari masyarakat pada akhirnya akan tumbuh kesadaran untuk memelihara, mengelola dan mengembangkan hasil-hasil pembangunan berupa perbaikan prasarana dan fasilitas tersebut. (Yudohusodo, 1991:148). Hal ini selaras dengan konsep “man centred development”, yaitu pembangunan yang dipusatkan pada kepentingan manusia, dan tidak sekedar alat pembangunan itu sendiri. Karena dalam suatu proses pembangunan akan jauh lebih baik, bila sejak awal sudah mengikutsertakan masyarakat pemakai hasil pembangunan (Yudohusodo, 1991). Dengan demikian hasilnya akan sesuai dengan aspirasi, kebutuhan nyata, kondisi sosial budaya dan kemampuan ekonomi masyarakat yang bersangkutan.
C. Bentuk Peran Serta Masyarakat
Peran serta masyarakat dalam pembangunan dapat dilakukan mulai dari proses perencanaan sampai dengan operasi pembangunan tersebut (Slamet, 1993). Peran serta masyarakat dalam proses perencanaan merupakan suatu pelibatan masyarakat yang paling tinggi. Karena dalam proses perencanaan masyarakat sekaligus diajak turut membuat keputusan. Yang dimaksud membuat keputusan disini ialah menunjuk secara tidak langsung seperangkat aktivitas tingkah laku yang lebih luas, bukannya sematamata hanya membuat pilihan di antara berbagai alternatif.
Menurut Soedradjat (2000:5) kontribusi peran serta berupa bantuan sumbangan berbentuk gagasan, tenaga dan materi dalam proses perencanaan pengelolaan adalah:
a. Pemberian informasi, saran, pertimbangan dalam penyusunan strategi pengelolaan.
b. Pemberian sumbangan spontan berupa uang dan barang.
c. Pengidentifikasian berbagai potensi dan masalah pembangunan termasuk bantuan untuk memperjelas hak atas perencanaan pengelolaan.
d. Pemberian sumbangan kerja dalam merumuskan perencanaan pengelolaan.
e. Bantuan tenaga ahli.
f. Bantuan pendanaan.
g. Bantuan proyek yang sifatnya berdikari.
Dusseldrop (dalam Slamet, 1994:10-21) membuat klasifikasi dari berbagai tipe peran serta yang digolongkan pada sembilan dasar yang masing-masing dasar jarang terpisah satu sama lain. Penggolongan peran serta tersebut dibedakan dalam hal:
a. derajat kesukarelaan
b. cara keterlibatan
c. kelengkapan keterlibatan berbagai tahap dalam proses pembangunan
d. tingkatan organisasi
e. intensitas, frekuensi dan lingkup kegiatan
f. efektifitas
g. siapa saja yang terlibat
h. gaya peran serta
Selanjutnya menurut Slamet (1993), bahwa peran serta dalam pelaksanaan, pengukurannya bertitik pangkal pada sejauhmana masyarakat secara nyata terlibat dalamaktivitas-aktivitas riil yang merupakan perwujudan program-program yang telah digariskan di dalam kegiatan-kegiatan fisik.
Dengan demikian, menurut Schubeler, 1996:32 peran serta lebih merupakan proses bukan produk, berkaitan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat, peran serta dapat dilakukan oleh pihak lain dan pentingnya unsur kesediaan masyarakat. Sehingga dari berbagai pandangan bentuk peran serta yang ada maka peran serta masyarakat dalam pengelolaan limbah dapat dikategorikan dalam:
a. Bentuk sumbangan yaitu material, uang, tenaga dan pikiran.
b. Bentuk kegiatan yaitu peran serta dilakukan bersama atau sendiri di lingkungan tempat tinggal masing-masing dan peran serta dikerjakan sendiri oleh masyarakat atau diserahkan pihak lain. Selain itu peran serta dapat dikenali dari intensitas dan frekuensi kegiatan serta derajat kesukarelaan untuk melakukan kegiatan bersama.
D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peran Serta
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi peran serta masyarakat, antara lain faktor dari dalam, yaitu kemauan dan kemampuan masyarakat untuk ikut berperan serta, dari luar masyarakat yaitu peran aparat, lembaga formal dan nonformal yang ada.
a. Faktor internal
Faktor internal berasal dari dalam masyarakat sendiri, ciri-ciri individu tersebut terdiri dari usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, lamanya terlibat dalam kegiatan, tingkat pendapatan, lamanya tinggal serta status hunian (Slamet,1994:137-143) yang mempengaruhi aktivitas kelompok, mobilitas individu dan kemampuan finansial. Faktor pendidikan dianggap penting karena melalui pendidikan yang diperoleh, seseorang lebih mudah berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain dan cepat tanggap terhadap perkembangan pengetahuan dan teknologi. Semakin tinggi pendidikannya, tentunya mempunyai pengetahuan yang luas tentang pembangunan dan bentuk serta tata cara peran serta yang dapat diberikan (Slamet, 1994:115-116).
Sedangkan faktor jenis pekerjaan berpengaruh pada peran serta karena mempengaruhi keaktifan dalam berorganisasi. Hal ini disebabkan pekerjaan berhubungan dengan waktu luang seseorang untuk terlibat dalam organisasi, misalnya dalam hal menghadiri pertemuan, kerja bakti dan sebagainya. Budiharjo (1991:15) menyatakan bahwa banyak warga yang telah disibukkan oleh kegiatan sehari-hari, kurang tertarik untuk mengikuti pertemuan, diskusi atau seminar.
Besarnya tingkat pendapatan akan memberi peluang lebih besar bagi masyarakat untuk berperan serta. Tingkat pendapatan ini akan mempengaruhi kemampuan finansial masyarakat untuk berinvestasi dengan mengerahkan semua kemampuannya apabila hasil yang dicapai akan sesuai dengan keinginan dan prioritas kebutuhan mereka (Turner dalam Panudju, 1999:77-78).
Salah satu ciri sosial ekonomi penduduk berkaitan erat dengan lamanya tinggal seseorang dalam lingkungan permukiman dan lamanya tinggal ini akan mempengaruhi orang untuk bekerjasama serta terlibat dalam kegiatan bersama. Dalam lingkungan perumahan seperti disebutkan Turner (dalam Panudju, 1999:10), tanpa kejelasan tentang status kepemilikan hunian dan lahannya seseorang atau sebuah keluarga akan selalu tidak merasa aman sehingga mengurangi minat mereka untuk memelihara lingkungan tempat tinggalnya. Dalam hal ini status hunian seseorang akan berpengaruh pada tingkat peran sertanya dalam kegiatan bersama untuk memperbaiki lingkungan
Sependapat dengan hal tersebut, JICA (2006) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan kegiatan harus merupakan program-progam model pelibatan yang secara efektif mampu mendayagunakan sumber daya lokal untuk memberikan manfaat langsung dan luas kepada masyarakat sebagai bagian dari pelaku melalui proses partisipasi serta meningkatkan ketahanan masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan limbah akan terbentuk jika masyarakat mempunyai pengetahuan yang cukup tentang pengelolaan limbah, yang selanjutnya akan berpengaruh dalam pembentukan perilaku masyarakat terhadap limbah. Untuk itu perlu diupayakan adanya pengembangan perilaku masyarakat yang berwawasan lingkungan mendorong seseorang untuk bertindak dan berinteraksi berdasarkan kesamaan sikap dan pandangan mengenai tanggungjawab pengelolaan.
b. Faktor eksternal
Menurut Schubeler, tingkat peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dan prasarana lokal tergantung pada sikap warga dan efektifitas organisasi masyarakat. (Schubeler, 1996:66).
Seseorang akan terlibat secara langsung/tidak langsung dalam kehidupan bermasyarakat melalui lembaga yang ada seperti LKMD, RW dan RT yang mengarah dalam mencapai kesejahteraan bersama. Adapun organisasi masyarakat tersebut, diakui dan dibina oleh pemerintah untuk memelihara dan melestarikan nilai-nilai moral berdasarkan kegotong-royongan dan kekeluargaan serta untuk membantu meningkatkan kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan. Dengan demikian peran serta harus mengandung unsur-unsur adanya keterlibatan aktif dari stakeholder dalam suatu organisasi kerja yaitu aparat pemerintah dan masyarakatnya.
Didasarkan pada asumsi bahwa organisasi pemerintahan akan bekerja lebih baik jika anggota-anggota dalam struktur diberi kesempatan untuk terlibat secara intim dengan setiap organisasi. Hal ini menyangkut dua aspek yaitu:
1) Keterlibatan aparat melalui terciptanya nilai dan komitmen di antara para aparat agar termotivasi dengan kuat pada program yang diimplementasikan.
2) Keterlibatan publik dalam desain dan implementasi program (B.Guy Peter dalam Krina, 2003:299-381).
Krina (2003:22) menyebutkan asumsi dasar dari peran serta adalah “semakin dalam keterlibatan individu dalam tantangan berproduksi, semakin produktif individu tersebut” dengan cara mendorong peran serta secara formal melalui forum untuk menampung peran serta masyarakat yang representatif, jelas arahnya dan dapat dikontrol, bersifat terbuka dan harus ditempatkan sebagai mimbar masyarakat untuk mengekspresikan keinginannya.
Dalam hal pemerintahan yang partisipatif, perencanaan pembangunan memerlukan penanaman pemahaman tentang konsep pengelolaan yang partisipatif yang didasari oleh adanya proses interaksi antar stakeholder yang dilakukan sejak tahap identifikasi permasalahan, perumusan permasalahan, perumusan kebutuhan dan kesepakatan untuk melaksanakan (Wiranto, 2001:94). Adapun pemerintahan yang partisipatif menurut Hill dan Peter Hupe dalam Krina, 2002:161-197 bercirikan fokusnya pada memberikan arah dan mengundang orang lain untuk berperan serta.
Dengan demikian nampaklah bahwa dalam setiap proses pembangunan, peran serta masyarakat harus selalu menjadi prioritas, karena keterlibatan masyarakat sangat menentukan dalam pelaksanaan dan keberhasilan program. Selain itu, melalui bentuk peran serta, hasil pembangunan diharapkan dapat dimanfaatkan secara merata dan adil oleh seluruh lapisan masyarakat. Hal ini berarti bahwa prinsip memperlakukan masyarakat sebagai subjek dan objek pembangunan seharusnya tidak berhenti sebagai slogan, melainkan perlu diaktualisasikan ke dalam kenyataan dengan bobot yang semakin besar pada kedudukan masyarakat sebagai subjek (Soetomo, 1998:76).
Faktor lain dari pemerintah yang berpengaruh terhadap peran serta masyarakat adalah peran pemerintah daerah dalam membina swadaya dan peran serta masyarakat melalui pemberian penyuluhan, penyebaran informasi dan pemberian perintisan, selain itu juga dalam pemberian stimulan yang berupa material dan dana (Yudohusodo dkk, 1991:148-149).
Dalam kegiatan peran serta dimungkinkan adanya keterlibatan pihak ketiga sebagai pendamping. Pengertian pihak ketiga sebagai pendamping disini adalah kelompok yang terlibat dalam berbagai kegiatan pembangunan, baik dilakukan oleh LSM, Yayasan Sosial, Perguruan Tinggi, melalui upaya-upaya pengembangan masyarakat, membantu mensintesakan pendekatan pembangunan dari atas dan dari bawah, membantu mengorganisir dan melaksanakan kegiatan bersama serta berbagai kegiatan selaku mediator atau katalisator pembangunan (Schubeler, 1996:27).
E. Tingkatan Peran Serta
Masyarakat dalam berperan serta dapat dibedakan dalam beberapa tingkatan. Menurut Sherry R. Arnstein, 1969 dalam Panudju (1999:69-76) membagi jenjang peran serta masyarakat terhadap program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam 8 (delapan) tingkat partisipasi masyarakat yang sangat terkenal dimana mendasarkan pada “kekuasaan” yang diberikan kepada masyarakat. Tingkatan peran serta masyarakat dari yang tertinggi ke terendah adalah sebagai berikut:
1. Citizen Control
Publik dapat berperan serta di dalam dan mengendalikan seluruh proses pengambilan keputusan. Pada tingkatan ini masyarakat memiliki kekuatan untuk mengatur program atau kelembagaan yang berkaitan dengan kepentingannya. Masyarakat mempunyai wewenang dan dapat mengadakan negoisiasi dengan pihak-pihak luar yang hendak melakukan perubahan. Usaha bersama warga ini langsung berhubungan dengan sumber dana untuk mendapatkan bantuan tanpa melalui pihak ketiga.
2. Delegated Power
Pada tingkatan ini masyarakat diberi limpahan kewenangan untuk membuat keputusan pada rencana tertentu. Untuk menyelesaikan permasalahan, pemerintah harus mengadakan negoisiasi dengan masyarakat tidak dengan tekanan dari atas, dimungkinkan masyarakat mempunyai tingkat kendali atas keputusan pemerintah.
3. Partnership
Publik berhak berunding dengan pengambil keputusan/pemerintah, atas kesepakatan bersama kekuasaan dibagi antara masyarakat dengan pemerintah. Untuk itu, diambil kesepakatan saling membagi tanggung jawab dalam perencanaan, pengendalian keputusan, penyusunan kebijaksanaan serta pemecahan masalah yang dihadapi.
4. Placation
Pemegang kekuasaan (pemerintah) perlu menunjuk sejumlah orang dari bagian masyarakat yang dipengaruhi untuk menjadi anggota suatu badan publik, dimana mereka mempunyai akses tertentu pada proses pengambilan keputusan. Walaupun dalam pelaksanaannya usulan masyarakat tetap diperhatikan, karena kedudukan relatif rendah dan jumlahnya lebih sedikit dibandingkan anggota dari pemerintah maka tidak mampu mempengaruhi keputusan.
5. Consultation
Masyarakat tidak hanya diberitahu tetapi juga diundang untuk berbagi pendapat, meskipun tidak ada jaminan bahwa pendapat yang dikemukakan akan menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Metode yang sering digunakan adalah survey tentang arah pikiran masyarakat atau pertemuan lingkungan masyarakat dan public hearing atau dengar pendapat dengan masyarakat.
6. Informing
Pemegang kekuasaan hanya memberikan informasi kepada masyarakat terkait proposal kegiatan, masyarakat tidak diberdayakan untuk mempengaruhi hasil. Informasi dapat berupa hak, tanggung jawab dan berbagai pilihan, tetapi tidak ada umpan balik atau kekuatan untuk negoisasi dari masyarakat. Informasi diberikan pada tahapan akhir perencanaan dan masyarakat hanya memiliki sedikit kesempatan untuk mempengaruhi rencana yang telah disusun.
7. Therapy
Pemegang kekuasaan memberikan alasan proposal dengan berpura-pura melibatkan masyarakat. Meskipun terlibat dalam kegiatan, tujuannya lebih pada mengubah pola pikir masyarakat daripada mendapatkan masukan dari masyarakat itu sendiri.
8. Manipulasi
Merupakan tingkatan peran serta yang paling rendah, dimana masyarakat hanya dipakai namanya saja. Kegiatan untuk melakukan manipulasi informasi untuk memperoleh dukungan publik dan menjanjikan keadaan yang lebih baik meskipun tidak akan pernah terjadi. Dari tipologi yang diajukan oleh Arnstein dikelompokkan dalam 3 (tiga) kelompok besar secara ringkas:
a) Tidak peran serta sama sekali atau non participation, yang meliputi manipulation dan therapy.
b) Peran serta masyarakat dalam bentuk tinggal menerima beberapa ketentuan atau degrees of tokenism, meliputi informing, consultation dan placation.
c) Peran serta masyarakat dalam bentuk mempunyai kekuasaan atau degrees of citizen power, meliputi partnership, delegated power dan citizen power.
David Wilcox (http://www.partnerships.org.uk/AZP/part.html) mengemukakan bahwa untuk meningkatkan peran serta ke jenjang yang lebih tinggi lagi diperlukan suatu kemitraan dimana terjadi persetujuan antara dua atau lebih para mitra untuk bekerjasama dengan menarik minat dalam membangun inisiatif lokal dari masyarakat dan pemerintah sebagai sumber dana. Untuk menunjang keberhasilan kemitraan dikembangkan pendekatan dengan keterlibatan masyarakat. Adapaun faktor-faktor yang mempengaruhi keterlibatan masyarakat untuk menciptakan hubungan kemitraan:
1. Kepercayaan diantara kepentingan yang berbeda.
2. Kepemimpinan dari orang yang dihormati.
3. Mengembangkan cara kerja sesuai pembagian tanggungjawab yang fleksibel.
4. Dalam mencapai tujuan diperlukan komitmen bersama yang merupakan kepentingan yang dikembangkan melalui proses yang jelas dan terbuka.
5. Fasilitator diharapkan dapat membangun komunikasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat.
6. Manajemen organisasi yang efektif .
Marilyn Taylor dalam penelitiannya menyatakan manajemen pemerintahan masa yang akan datang tergantung dari: (http://www.partnerships.org.uk/AZP/part.html)
1. Dalam membuat kebijakan diperlukan strategi yang disesuaikan kebutuhan masyarakat secara terbuka dan bertanggungjawab.
2. Pelayanan pemerintah kepada masyarakat diperlukan kerjasama yang baik dipengaruhi oleh struktur budaya dan jenis pekerjaan.
3. Dalam membangun prasarana dibutuhkan wawasan yang luas, keahlian SDM, pengetahuan dan ketrampilan.
4. Kemampuan dan tanggungjawab masyarakat lokal dalam mengambil tindakan.
5. Diperlukan pendekatan yang terintregasi dalam mengembangkan kapasitas dan komitmen dalam masyarakat.
Dalam meningkatkan peran serta diperlukan pengembangan pendekatan program yang tepat dan efektif mengenai keterlibatan warga dalam proses perencanaan yang menggambarkan 8 tingkat partisipasi dikemukakan oleh Sherry Arnstein, 1969. Dalam kenyataan di lapangan kurangnya keterlibatan masyarakat disebabkan tidak ada komunikasi yang efektif dari pemerintah mengenai permasalahan yang timbul dan program yang dilakukan tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat.
David Wilcox mengemukakan teorinya dengan memodifikasi teori Arnstein kedalam 5 (lima) cara pentingnya mengawali organisasi dalam mengatur proses peran serta dan kemitraan antara pemerintah dan masyarakat. 5 (lima) kunci dasar dalam membina kemitraan tersebut antara lain:
1. Informasi yang jelas mengenai rencana yang akan dilakukan.
2. Umpan balik yang berupa konsultasi dalam menyerap aspirasi dan prioritas kebutuhan dari masyarakat karena lebih mengetahui permasalahan di lapangan.
3. Memberi dorongan kepada masyarakat untuk mencari kesepakatan melalui keputusan bersama.
4. Membentuk suatu kerjasama antara pemerintah dan masyarakat.
5. Dalam suatu kerangka kerja diperlukan dukungan dan bantuan dari pemerintah sebagai pemegang sumber daya dan sumber dana.
Untuk mengukur tingkat peran serta dapat dilakukan dengan mengukur tingkat keterlibatan individu dalam kegiatan bersama diukur dengan skala yang dikemukakan Chapin dan Goldhamer (dalam Slamet, 1994:82-89), yaitu:
1. Keanggotaan dalam organisasi.
2. Kehadiran dalam pertemuan.
3. Membayar iuran/sumbangan.
4. Keanggotaan dalam kepengurusan.
5. Kedudukan anggota dalam kepengurusan.
Penentuan penilaian tingkat peran serta juga dikemukakan oleh Godhamer berdasarkan variabel yaitu:
1. Jumlah asosiasi yang diikuti
2. Frekuensi kehadiran
3. Jumlah asosiasi dimana individu memangku jabatan
4. Lama menjadi anggota dalam kepengurusan
Dari penentuan skala tingkat peran serta individu dapat disimpulkan secara singkat bahwa skala untuk mengukur peran serta masyarakat berdasarkan aspek:
1. Frekuensi kehadiran anggota kelompok dalam pertemuan
2. Keaktifan anggota kelompok dalam berdiskusi dalam pembahasan permasalahan
3. Keterlibatan anggota dalam kegiatan fisik
4. Kesediaan memberi iuran atau sumbangan berbentuk uang yang telah ditetapkan
F. Pengelolaan Limbah Perkotaan
Jumlah populasi penduduk di suatu tempat yang terdiri dari beberapa rumah tangga memegang peranan penting dalam pengelolaan limbah domestik maupun industri yang dipengaruhi jumlah limbah yang ditimbulkan dan komposisinya (Hilman, 2004).
Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa limbah rumah tangga maupun industri yang langsung dialirkan ke sungai, memiliki dampak lingkungan yang sangat kompleks. Untuk itu diperlukan strategi pola penanganan, kaitannya dengan pengelolaan limbah tersebut. Menurut Micalf dan Eddy (1981), bahwa pengelolaan limbah meliputi kegiatan pewadahan, pengumpulan, penyaluran dan pembuangan limbah. Sependapat dengan tersebut diatas, menurut Hilman (2004), beberapa cara untuk melakukan pengelolaan limbah padat rumah tangga antara lain adalah pemanfaatan barang daur ulang dan memilah sampah basah/kering sehingga mengurangi pencemaran lingkungan dan meningkatkan pendapatan.
Sistem pewadahan yang digunakan yaitu yang dapat dipindahkan, seperti tong sampah dan kontainer, serta tidak dapat dipindahkan, seperti bak sampah yang terbuat dari pasangan batubata. Secara umum persyaratan bahan pewadahan adalah tidak mudah rusak, kedap air, mudah untuk diperbaiki, ekonomis dan mudah diperoleh/dibuat oleh masyarakat, serta mudah dan cepat dikosongkan. Selain itu lokasi penempatan wadah juga menjadi pertimbangan dalam hal ketertiban, keindahan dan estetika. Sistem pengumpulan sampah adalah proses penanganan sampah mulai dari pewadahan penampungan sampah sampai ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS). Dalam menunjang keberhasilan operasi pengumpulan sampah, perlu adanya pewadahan yang sebaiknya dilakukan oleh pemilik rumah. Pewadahan tersebut ditempatkan sedemikian rupa, sehingga memudahkan dan cepat bagi para petugas untuk mengambilnya secara teratur dan higienis. Waktu pembuangan sampah dapat dilakukan pagi hari, siang hari, sore hari, atau malam hari dan disesuaikan dengan waktu pengumpulan oleh petugas agar sampah tidak mengendap terlalu lama.
Tabel II.1.
POLA PENGUMPULAN SAMPAH
NO POLA
PENGUMPULAN PENGERTIAN PERSYARATAN
1. Pola Individual
Langsung Cara pengumpulan sampah dari
sumber sampah dan diangkut
ke tempat pembuangan akhir
tanpa melalui proses
pemindaha - Kondisi topografi bergelombang (rata-rata > 5%) sehingga alat pengumpul non mesin sulit beroperasi
- Kondisi jalan cukup lebardan operasi tidak mengganggu pemakai jalan lainnya
- Kondisi dan jumlah alat memadai
- Jumlah timbulan sampah > 0.3 m3/hari
2. Pola Individual
Tak Langsung Cara pengumpulan sampah dari
masing-masing sumber sampah
dibawa ke lokasi pemindahan
(menggunakan gerobak) untuk
kemudian diangkut ke tempat
pembuangan akhir - Bagi daerah yang partisipasi masyarakatnya rendah
- Lahan untuk lokasi pemindahan tersedia
- Alat pengumpul masih dapat menjangkau secara langsung
- Kondisi topografi relatif datar (rata-rata < 5%) - Kondisi lebar jalan dapat dilalui alat pngumpul - Organisasi pengelola harus siap dengan sistem pengendalian 3. Pola Komunall Langsung Cara pengumpulan sampah dari masing-masing titik wadah komunal dan diangkut langsung ke tempat pembuangan akhi - Bila alat angkut terbatas - Bila kemampuan pengendalian personil dan peralatan relatif rendah - Alat pengumpul sulit menjangkau sumber sampah - Peran serta masyarakat tinggi - Wadah komunal mudah dijangkau alat pengangkut - Untuk pemukiman tidak teratur 4. Pola Komunal Langsung Cara pengumpulan sampah dari masing-masing titik wadah komunal dibawa ke lokasi pemindahan(menggunakan gerobak) untuk kemudian diangkut ke tempat pembuangan akhir - Peran serta masyarakat tinggi - Wadah komunal mudah dijangkau alat pengumpul - Lahan untuk lokasi pemindahan tersedia - Kondisi topografi relatif datar (< 5%) - Lebar jalan dapat dilalui alat pengumpul - Organisasi pengelola harus ada Sumber : SK SNI-T-13-1990-F Tata Cara Teknik Pengelolaan Sampah Perkotaan Secara khusus sanitasi kota ialah usaha penanganan dalam penyaluran air limbah domestik, berupa air buangan dari kegiatan MCK serta kegiatan domestik lainnya maupun penanganan limbah manusia. Penyaluran air limbah dimaksudkan agar dapat berkumpul menjadi suatu aliran air limbah yang mengalir dalam suatu saluran tertentu, sehingga air limbah tersebut mudah diawasi kuantitas dan kualitasnya. Menurut Kodoatie dan Sjarief (2005:174-175) sistem pembuangan air limbah yang terdapat di perkotaan terbagi menjadi 2 (dua) macam sistem yaitu sistem pembuangan setempat (on site sanitation) dan pembuangan terpusat (off site sanitation). Sistem pembuangan setempat adalah fasilitas pembuangan air limbah yang berada di dalam persil pelayanan (batas tanah yang dimiliki) misal dengan septik tank, sedangkan sistem pembuangan terpusat adalah sistem pembuangan di luar persil. Rumah tinggal di Indonesia, pada umumnya menggunakan sistem on site, dimana limbah yang ada ditampung pada suatu wadah yang disebut dengan tangki septik dan terjadi penguraian oleh bakteri anaerobik. Dari penguraian ini menghasilkan limpahan tangki septik yang dimasukkan ke dalam sumur resapan dan langsung meresap ke dalam air tanah, selain itu juga menghasilkan endapan lumpur yang mengendap di dasar tangki. Lumpur ini tidak boleh dibuang ke sungai karena BOD nya masih terlalu tinggi yaitu >2000 mg/liter, untuk itu perlu diolah melalui instalasi pengolahan limbah, jadi masih memerlukan off site untuk lumpurnya (Hindarko, 2003:29).
Alternatif dipilih lainnya sebagai pertimbangan sistem pembuangan air limbah adalah sistem pembuangan terpusat (off site sanitation) melalui jaringan perpipaan sewerage dan terlebih dahulu diolah pada unit pengolahan air limbah. Menurut Hindarko (2003:47-48) sistem ini mempunyai keunggulan karena berada dalam sistem perpipaan tertutup, tidak berbau, kering, bebas nyamuk dan bebas pencemaran terhadap air tanah.mPengolahan limbah merupakan suatu cara penanganan limbah sesuai standar baku mutu yang telah ditetapkan agar dapat mengurangi beban pencemaran yang masuk ke sungai, sehingga kualitas air sungai tetap berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
G. Peran Kelembagaan/Institusi
Pemerintah merupakan sektor publik yang memberikan pelayanan bagi masyarakat menunjukkan adanya institusi yang bertanggung jawab atas pengawasan pelaksanaan pengelolaan limbah. Keberhasilan pelaksanaan pengelolaan limbah tidak terlepas dari teknik operasional yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat Teknik operasional pengelolaan limbah perkotaan merupakan upaya dalam mengontrol pengolahan limbah rumah tangga dan industri . Adapun pengelolaan limbah mempunyai tujuan yang sangat mendasar, yaitu meningkatkan kesejahteraan lingkungan dan masyarakat, melindungi sumber daya alam (air), melindungi fasilitas sosial ekonomi dan menunjang pembangunan sektor strategis (Rahardyan, 2005:1).
Sistem pengelolaan limbah memiliki 5 komponen subsistem yang saling terkait yang didukung peraturan bagi seluruh stakeholders meliputi aspek teknik operasional, kelembagaan, pembiayaan, peraturan dan peran serta masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Arnstein, Sherry R. 1995. A Ladder of Citizen Participation dalam Jay M. Stein (ed). Classic Reading in Urrban Planning : An Introduction. McGraw-Hill, Inc, New York.
Budiharjo, Eko dan Joko Sujarto, 1998. Kota Berkelanjutan (Sustainable City). Penerbit Undip. Semarang.
Conyers, Diana (1992). Suatu Pengantar Perencanaan Sosial Dunia Ketiga.
Diterjemahkan oleh Susetiawan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Dalam hubungannya dengan pembangunan, definisi peran serta menurut PBB dalam Slamet (1993), adalah sebagai keterlibatan aktif dan bermakna dari massa penduduk pada tingkatan-tingkatan yang berbeda
a) di dalam proses pembentukan keputusan untuk menentukan tujuan-tujuan kemasyarakatan dan pengalokasian sumber sumber untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut;
b) pelaksanaan program-program dan proyek-proyek secara sukarela; dan
c) pemanfaatan hasil-hasil dari suatu program atau proyek. Oleh karena itu, pelibatan seseorang dalam berperan serta harus dilakukan pada proses-proses perencanaan, pelaksanaan dan operasinya.
Sementara itu peran serta masyarakat menurut Godschalk (1996) merupakan pengambilan keputusan secara bersama antara masyarakat dan perencana, sedangkan menurut Salusu (1998), peran serta secara garis besar dapat dikategorikan sebagai desakan kebutuhan psikologis yang mendasar pada setiap individu. Hal ini berarti bahwa manusia ingin berada dalam suatu kelompok untuk terlibat dalam setiap kegiatan.
Pada setiap awal pembangunan, peranan pemerintah biasanya besar. Kegiatan pembangunan sebagian besar adalah usaha pemerintah. Bahkan di negara yang menganut sosialisme yang murni, seluruh kegiatan pembangunan adalah tanggung jawab pemerintah. Namun dalam keadaan negara berperan besarpun, peran serta masyarakat diperlukan untuk menjamin berhasilnya pembangunan (Kartasasmita,1997).
Pada kenyataannya, kontribusi masyarakat di samping swasta, lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah sendiri, dipandang sebagai suatu sumbangan pokok dalam pembangunan. Dengan adanya peran serta masyarakat, proyek yang telah dihasilkan lebih menguntungkan dan mencerminkan kebutuhan masyarakat, dibanding dengan proyek tanpa melibatkan masyarakat. Hal ini berarti, bahwa masyarakat tidak hanya dilihat sebagai obyek, tetapi sasarannya melibatkan masyarakat sebagai subyek dalam hal ini mitra pembangunan dalam suatu proses yang berawal dari perencanaan, penyusunan program sampai pada pelaksanaan bahkan operasi dan pemeliharaannya.
Pembangunan di daerah disadari merupakan tanggungjawab bersama antara Pemerintah Daerah dengan masyarakat, sedang Pemerintah Pusat dan Provinsi berperan sebagai pendukung dan pembina. Sebagai konsekuensinya, peran serta masyarakat harus merupakan bagian yang penting dari suatu program pembangunan.
B. Kebutuhan Peran Serta Masyarakat
Peran serta masyarakat membuka kemungkinan keputusan yang diambil didasarkan kebutuhan, prioritas dan kemampuan masyarakat. Hal ini akan dapat menghasilkan rancangan rencana, program dan kebijaksanaan yang lebih realistis.
Masyarakat diikutsertakan dalam aktifitas pembangunan yang dapat menjamin penerimaan dan apresiasi yang lebih besar terhadap segala sesuatu yang dihasilkan. Pemerintah mungkin saja memberikan proyek untuk meningkatkan suatu fasilitas umum. Namun meskipun fasilitas itu telah berdiri seringkali tidak digunakan dengan efektif. Untuk itu masyarakat perlu diikutsertakan dalam pertemuan membahas proyek, dengan memahami tujuan proyek masyarakat dapat memberikan umpan balik, yang akhirnya bisa menjadi suatu proyek yang betul-betul memenuhi keinginan mereka.
Skala prioritas masyarakat mungkin saja berbeda dari skala prioritas yang dimiliki oleh perencana, walaupun masyarakat telah diberi informasi mengenai pilihan yang ada (Conyers, 1994:189). Mereka memiliki kepekaan tentang apa yang bisa dijalankan dan apa yang akan mengalami hambatan (Sanoff, 2000:7).
Disadari saat ini jika masyarakat diberi tanggung jawab dalam pemeliharaan mereka seharusnya dilibatkan dalam perencanaan dan implementasi proyek. Mereka harus membangun rasa kepemilikan dan mengetahui bahwa pemeliharaan tersebut merupakan tanggung jawab masyarakat. (UNICEF, 1999:14). Misalnya dalam hal pemilihan dan penetapan jenis prasarana lingkungan yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat, pada umumnya akan memberikan pengaruh positif bagi pemanfaatannya agar langsung dirasakan masyarakat, serta dapat merangsang tumbuhnya rasa ikut memiliki dari masyarakat pada akhirnya akan tumbuh kesadaran untuk memelihara, mengelola dan mengembangkan hasil-hasil pembangunan berupa perbaikan prasarana dan fasilitas tersebut. (Yudohusodo, 1991:148). Hal ini selaras dengan konsep “man centred development”, yaitu pembangunan yang dipusatkan pada kepentingan manusia, dan tidak sekedar alat pembangunan itu sendiri. Karena dalam suatu proses pembangunan akan jauh lebih baik, bila sejak awal sudah mengikutsertakan masyarakat pemakai hasil pembangunan (Yudohusodo, 1991). Dengan demikian hasilnya akan sesuai dengan aspirasi, kebutuhan nyata, kondisi sosial budaya dan kemampuan ekonomi masyarakat yang bersangkutan.
C. Bentuk Peran Serta Masyarakat
Peran serta masyarakat dalam pembangunan dapat dilakukan mulai dari proses perencanaan sampai dengan operasi pembangunan tersebut (Slamet, 1993). Peran serta masyarakat dalam proses perencanaan merupakan suatu pelibatan masyarakat yang paling tinggi. Karena dalam proses perencanaan masyarakat sekaligus diajak turut membuat keputusan. Yang dimaksud membuat keputusan disini ialah menunjuk secara tidak langsung seperangkat aktivitas tingkah laku yang lebih luas, bukannya sematamata hanya membuat pilihan di antara berbagai alternatif.
Menurut Soedradjat (2000:5) kontribusi peran serta berupa bantuan sumbangan berbentuk gagasan, tenaga dan materi dalam proses perencanaan pengelolaan adalah:
a. Pemberian informasi, saran, pertimbangan dalam penyusunan strategi pengelolaan.
b. Pemberian sumbangan spontan berupa uang dan barang.
c. Pengidentifikasian berbagai potensi dan masalah pembangunan termasuk bantuan untuk memperjelas hak atas perencanaan pengelolaan.
d. Pemberian sumbangan kerja dalam merumuskan perencanaan pengelolaan.
e. Bantuan tenaga ahli.
f. Bantuan pendanaan.
g. Bantuan proyek yang sifatnya berdikari.
Dusseldrop (dalam Slamet, 1994:10-21) membuat klasifikasi dari berbagai tipe peran serta yang digolongkan pada sembilan dasar yang masing-masing dasar jarang terpisah satu sama lain. Penggolongan peran serta tersebut dibedakan dalam hal:
a. derajat kesukarelaan
b. cara keterlibatan
c. kelengkapan keterlibatan berbagai tahap dalam proses pembangunan
d. tingkatan organisasi
e. intensitas, frekuensi dan lingkup kegiatan
f. efektifitas
g. siapa saja yang terlibat
h. gaya peran serta
Selanjutnya menurut Slamet (1993), bahwa peran serta dalam pelaksanaan, pengukurannya bertitik pangkal pada sejauhmana masyarakat secara nyata terlibat dalamaktivitas-aktivitas riil yang merupakan perwujudan program-program yang telah digariskan di dalam kegiatan-kegiatan fisik.
Dengan demikian, menurut Schubeler, 1996:32 peran serta lebih merupakan proses bukan produk, berkaitan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat, peran serta dapat dilakukan oleh pihak lain dan pentingnya unsur kesediaan masyarakat. Sehingga dari berbagai pandangan bentuk peran serta yang ada maka peran serta masyarakat dalam pengelolaan limbah dapat dikategorikan dalam:
a. Bentuk sumbangan yaitu material, uang, tenaga dan pikiran.
b. Bentuk kegiatan yaitu peran serta dilakukan bersama atau sendiri di lingkungan tempat tinggal masing-masing dan peran serta dikerjakan sendiri oleh masyarakat atau diserahkan pihak lain. Selain itu peran serta dapat dikenali dari intensitas dan frekuensi kegiatan serta derajat kesukarelaan untuk melakukan kegiatan bersama.
D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peran Serta
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi peran serta masyarakat, antara lain faktor dari dalam, yaitu kemauan dan kemampuan masyarakat untuk ikut berperan serta, dari luar masyarakat yaitu peran aparat, lembaga formal dan nonformal yang ada.
a. Faktor internal
Faktor internal berasal dari dalam masyarakat sendiri, ciri-ciri individu tersebut terdiri dari usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, lamanya terlibat dalam kegiatan, tingkat pendapatan, lamanya tinggal serta status hunian (Slamet,1994:137-143) yang mempengaruhi aktivitas kelompok, mobilitas individu dan kemampuan finansial. Faktor pendidikan dianggap penting karena melalui pendidikan yang diperoleh, seseorang lebih mudah berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain dan cepat tanggap terhadap perkembangan pengetahuan dan teknologi. Semakin tinggi pendidikannya, tentunya mempunyai pengetahuan yang luas tentang pembangunan dan bentuk serta tata cara peran serta yang dapat diberikan (Slamet, 1994:115-116).
Sedangkan faktor jenis pekerjaan berpengaruh pada peran serta karena mempengaruhi keaktifan dalam berorganisasi. Hal ini disebabkan pekerjaan berhubungan dengan waktu luang seseorang untuk terlibat dalam organisasi, misalnya dalam hal menghadiri pertemuan, kerja bakti dan sebagainya. Budiharjo (1991:15) menyatakan bahwa banyak warga yang telah disibukkan oleh kegiatan sehari-hari, kurang tertarik untuk mengikuti pertemuan, diskusi atau seminar.
Besarnya tingkat pendapatan akan memberi peluang lebih besar bagi masyarakat untuk berperan serta. Tingkat pendapatan ini akan mempengaruhi kemampuan finansial masyarakat untuk berinvestasi dengan mengerahkan semua kemampuannya apabila hasil yang dicapai akan sesuai dengan keinginan dan prioritas kebutuhan mereka (Turner dalam Panudju, 1999:77-78).
Salah satu ciri sosial ekonomi penduduk berkaitan erat dengan lamanya tinggal seseorang dalam lingkungan permukiman dan lamanya tinggal ini akan mempengaruhi orang untuk bekerjasama serta terlibat dalam kegiatan bersama. Dalam lingkungan perumahan seperti disebutkan Turner (dalam Panudju, 1999:10), tanpa kejelasan tentang status kepemilikan hunian dan lahannya seseorang atau sebuah keluarga akan selalu tidak merasa aman sehingga mengurangi minat mereka untuk memelihara lingkungan tempat tinggalnya. Dalam hal ini status hunian seseorang akan berpengaruh pada tingkat peran sertanya dalam kegiatan bersama untuk memperbaiki lingkungan
Sependapat dengan hal tersebut, JICA (2006) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan kegiatan harus merupakan program-progam model pelibatan yang secara efektif mampu mendayagunakan sumber daya lokal untuk memberikan manfaat langsung dan luas kepada masyarakat sebagai bagian dari pelaku melalui proses partisipasi serta meningkatkan ketahanan masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan limbah akan terbentuk jika masyarakat mempunyai pengetahuan yang cukup tentang pengelolaan limbah, yang selanjutnya akan berpengaruh dalam pembentukan perilaku masyarakat terhadap limbah. Untuk itu perlu diupayakan adanya pengembangan perilaku masyarakat yang berwawasan lingkungan mendorong seseorang untuk bertindak dan berinteraksi berdasarkan kesamaan sikap dan pandangan mengenai tanggungjawab pengelolaan.
b. Faktor eksternal
Menurut Schubeler, tingkat peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dan prasarana lokal tergantung pada sikap warga dan efektifitas organisasi masyarakat. (Schubeler, 1996:66).
Seseorang akan terlibat secara langsung/tidak langsung dalam kehidupan bermasyarakat melalui lembaga yang ada seperti LKMD, RW dan RT yang mengarah dalam mencapai kesejahteraan bersama. Adapun organisasi masyarakat tersebut, diakui dan dibina oleh pemerintah untuk memelihara dan melestarikan nilai-nilai moral berdasarkan kegotong-royongan dan kekeluargaan serta untuk membantu meningkatkan kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan. Dengan demikian peran serta harus mengandung unsur-unsur adanya keterlibatan aktif dari stakeholder dalam suatu organisasi kerja yaitu aparat pemerintah dan masyarakatnya.
Didasarkan pada asumsi bahwa organisasi pemerintahan akan bekerja lebih baik jika anggota-anggota dalam struktur diberi kesempatan untuk terlibat secara intim dengan setiap organisasi. Hal ini menyangkut dua aspek yaitu:
1) Keterlibatan aparat melalui terciptanya nilai dan komitmen di antara para aparat agar termotivasi dengan kuat pada program yang diimplementasikan.
2) Keterlibatan publik dalam desain dan implementasi program (B.Guy Peter dalam Krina, 2003:299-381).
Krina (2003:22) menyebutkan asumsi dasar dari peran serta adalah “semakin dalam keterlibatan individu dalam tantangan berproduksi, semakin produktif individu tersebut” dengan cara mendorong peran serta secara formal melalui forum untuk menampung peran serta masyarakat yang representatif, jelas arahnya dan dapat dikontrol, bersifat terbuka dan harus ditempatkan sebagai mimbar masyarakat untuk mengekspresikan keinginannya.
Dalam hal pemerintahan yang partisipatif, perencanaan pembangunan memerlukan penanaman pemahaman tentang konsep pengelolaan yang partisipatif yang didasari oleh adanya proses interaksi antar stakeholder yang dilakukan sejak tahap identifikasi permasalahan, perumusan permasalahan, perumusan kebutuhan dan kesepakatan untuk melaksanakan (Wiranto, 2001:94). Adapun pemerintahan yang partisipatif menurut Hill dan Peter Hupe dalam Krina, 2002:161-197 bercirikan fokusnya pada memberikan arah dan mengundang orang lain untuk berperan serta.
Dengan demikian nampaklah bahwa dalam setiap proses pembangunan, peran serta masyarakat harus selalu menjadi prioritas, karena keterlibatan masyarakat sangat menentukan dalam pelaksanaan dan keberhasilan program. Selain itu, melalui bentuk peran serta, hasil pembangunan diharapkan dapat dimanfaatkan secara merata dan adil oleh seluruh lapisan masyarakat. Hal ini berarti bahwa prinsip memperlakukan masyarakat sebagai subjek dan objek pembangunan seharusnya tidak berhenti sebagai slogan, melainkan perlu diaktualisasikan ke dalam kenyataan dengan bobot yang semakin besar pada kedudukan masyarakat sebagai subjek (Soetomo, 1998:76).
Faktor lain dari pemerintah yang berpengaruh terhadap peran serta masyarakat adalah peran pemerintah daerah dalam membina swadaya dan peran serta masyarakat melalui pemberian penyuluhan, penyebaran informasi dan pemberian perintisan, selain itu juga dalam pemberian stimulan yang berupa material dan dana (Yudohusodo dkk, 1991:148-149).
Dalam kegiatan peran serta dimungkinkan adanya keterlibatan pihak ketiga sebagai pendamping. Pengertian pihak ketiga sebagai pendamping disini adalah kelompok yang terlibat dalam berbagai kegiatan pembangunan, baik dilakukan oleh LSM, Yayasan Sosial, Perguruan Tinggi, melalui upaya-upaya pengembangan masyarakat, membantu mensintesakan pendekatan pembangunan dari atas dan dari bawah, membantu mengorganisir dan melaksanakan kegiatan bersama serta berbagai kegiatan selaku mediator atau katalisator pembangunan (Schubeler, 1996:27).
E. Tingkatan Peran Serta
Masyarakat dalam berperan serta dapat dibedakan dalam beberapa tingkatan. Menurut Sherry R. Arnstein, 1969 dalam Panudju (1999:69-76) membagi jenjang peran serta masyarakat terhadap program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam 8 (delapan) tingkat partisipasi masyarakat yang sangat terkenal dimana mendasarkan pada “kekuasaan” yang diberikan kepada masyarakat. Tingkatan peran serta masyarakat dari yang tertinggi ke terendah adalah sebagai berikut:
1. Citizen Control
Publik dapat berperan serta di dalam dan mengendalikan seluruh proses pengambilan keputusan. Pada tingkatan ini masyarakat memiliki kekuatan untuk mengatur program atau kelembagaan yang berkaitan dengan kepentingannya. Masyarakat mempunyai wewenang dan dapat mengadakan negoisiasi dengan pihak-pihak luar yang hendak melakukan perubahan. Usaha bersama warga ini langsung berhubungan dengan sumber dana untuk mendapatkan bantuan tanpa melalui pihak ketiga.
2. Delegated Power
Pada tingkatan ini masyarakat diberi limpahan kewenangan untuk membuat keputusan pada rencana tertentu. Untuk menyelesaikan permasalahan, pemerintah harus mengadakan negoisiasi dengan masyarakat tidak dengan tekanan dari atas, dimungkinkan masyarakat mempunyai tingkat kendali atas keputusan pemerintah.
3. Partnership
Publik berhak berunding dengan pengambil keputusan/pemerintah, atas kesepakatan bersama kekuasaan dibagi antara masyarakat dengan pemerintah. Untuk itu, diambil kesepakatan saling membagi tanggung jawab dalam perencanaan, pengendalian keputusan, penyusunan kebijaksanaan serta pemecahan masalah yang dihadapi.
4. Placation
Pemegang kekuasaan (pemerintah) perlu menunjuk sejumlah orang dari bagian masyarakat yang dipengaruhi untuk menjadi anggota suatu badan publik, dimana mereka mempunyai akses tertentu pada proses pengambilan keputusan. Walaupun dalam pelaksanaannya usulan masyarakat tetap diperhatikan, karena kedudukan relatif rendah dan jumlahnya lebih sedikit dibandingkan anggota dari pemerintah maka tidak mampu mempengaruhi keputusan.
5. Consultation
Masyarakat tidak hanya diberitahu tetapi juga diundang untuk berbagi pendapat, meskipun tidak ada jaminan bahwa pendapat yang dikemukakan akan menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Metode yang sering digunakan adalah survey tentang arah pikiran masyarakat atau pertemuan lingkungan masyarakat dan public hearing atau dengar pendapat dengan masyarakat.
6. Informing
Pemegang kekuasaan hanya memberikan informasi kepada masyarakat terkait proposal kegiatan, masyarakat tidak diberdayakan untuk mempengaruhi hasil. Informasi dapat berupa hak, tanggung jawab dan berbagai pilihan, tetapi tidak ada umpan balik atau kekuatan untuk negoisasi dari masyarakat. Informasi diberikan pada tahapan akhir perencanaan dan masyarakat hanya memiliki sedikit kesempatan untuk mempengaruhi rencana yang telah disusun.
7. Therapy
Pemegang kekuasaan memberikan alasan proposal dengan berpura-pura melibatkan masyarakat. Meskipun terlibat dalam kegiatan, tujuannya lebih pada mengubah pola pikir masyarakat daripada mendapatkan masukan dari masyarakat itu sendiri.
8. Manipulasi
Merupakan tingkatan peran serta yang paling rendah, dimana masyarakat hanya dipakai namanya saja. Kegiatan untuk melakukan manipulasi informasi untuk memperoleh dukungan publik dan menjanjikan keadaan yang lebih baik meskipun tidak akan pernah terjadi. Dari tipologi yang diajukan oleh Arnstein dikelompokkan dalam 3 (tiga) kelompok besar secara ringkas:
a) Tidak peran serta sama sekali atau non participation, yang meliputi manipulation dan therapy.
b) Peran serta masyarakat dalam bentuk tinggal menerima beberapa ketentuan atau degrees of tokenism, meliputi informing, consultation dan placation.
c) Peran serta masyarakat dalam bentuk mempunyai kekuasaan atau degrees of citizen power, meliputi partnership, delegated power dan citizen power.
David Wilcox (http://www.partnerships.org.uk/AZP/part.html) mengemukakan bahwa untuk meningkatkan peran serta ke jenjang yang lebih tinggi lagi diperlukan suatu kemitraan dimana terjadi persetujuan antara dua atau lebih para mitra untuk bekerjasama dengan menarik minat dalam membangun inisiatif lokal dari masyarakat dan pemerintah sebagai sumber dana. Untuk menunjang keberhasilan kemitraan dikembangkan pendekatan dengan keterlibatan masyarakat. Adapaun faktor-faktor yang mempengaruhi keterlibatan masyarakat untuk menciptakan hubungan kemitraan:
1. Kepercayaan diantara kepentingan yang berbeda.
2. Kepemimpinan dari orang yang dihormati.
3. Mengembangkan cara kerja sesuai pembagian tanggungjawab yang fleksibel.
4. Dalam mencapai tujuan diperlukan komitmen bersama yang merupakan kepentingan yang dikembangkan melalui proses yang jelas dan terbuka.
5. Fasilitator diharapkan dapat membangun komunikasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat.
6. Manajemen organisasi yang efektif .
Marilyn Taylor dalam penelitiannya menyatakan manajemen pemerintahan masa yang akan datang tergantung dari: (http://www.partnerships.org.uk/AZP/part.html)
1. Dalam membuat kebijakan diperlukan strategi yang disesuaikan kebutuhan masyarakat secara terbuka dan bertanggungjawab.
2. Pelayanan pemerintah kepada masyarakat diperlukan kerjasama yang baik dipengaruhi oleh struktur budaya dan jenis pekerjaan.
3. Dalam membangun prasarana dibutuhkan wawasan yang luas, keahlian SDM, pengetahuan dan ketrampilan.
4. Kemampuan dan tanggungjawab masyarakat lokal dalam mengambil tindakan.
5. Diperlukan pendekatan yang terintregasi dalam mengembangkan kapasitas dan komitmen dalam masyarakat.
Dalam meningkatkan peran serta diperlukan pengembangan pendekatan program yang tepat dan efektif mengenai keterlibatan warga dalam proses perencanaan yang menggambarkan 8 tingkat partisipasi dikemukakan oleh Sherry Arnstein, 1969. Dalam kenyataan di lapangan kurangnya keterlibatan masyarakat disebabkan tidak ada komunikasi yang efektif dari pemerintah mengenai permasalahan yang timbul dan program yang dilakukan tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat.
David Wilcox mengemukakan teorinya dengan memodifikasi teori Arnstein kedalam 5 (lima) cara pentingnya mengawali organisasi dalam mengatur proses peran serta dan kemitraan antara pemerintah dan masyarakat. 5 (lima) kunci dasar dalam membina kemitraan tersebut antara lain:
1. Informasi yang jelas mengenai rencana yang akan dilakukan.
2. Umpan balik yang berupa konsultasi dalam menyerap aspirasi dan prioritas kebutuhan dari masyarakat karena lebih mengetahui permasalahan di lapangan.
3. Memberi dorongan kepada masyarakat untuk mencari kesepakatan melalui keputusan bersama.
4. Membentuk suatu kerjasama antara pemerintah dan masyarakat.
5. Dalam suatu kerangka kerja diperlukan dukungan dan bantuan dari pemerintah sebagai pemegang sumber daya dan sumber dana.
Untuk mengukur tingkat peran serta dapat dilakukan dengan mengukur tingkat keterlibatan individu dalam kegiatan bersama diukur dengan skala yang dikemukakan Chapin dan Goldhamer (dalam Slamet, 1994:82-89), yaitu:
1. Keanggotaan dalam organisasi.
2. Kehadiran dalam pertemuan.
3. Membayar iuran/sumbangan.
4. Keanggotaan dalam kepengurusan.
5. Kedudukan anggota dalam kepengurusan.
Penentuan penilaian tingkat peran serta juga dikemukakan oleh Godhamer berdasarkan variabel yaitu:
1. Jumlah asosiasi yang diikuti
2. Frekuensi kehadiran
3. Jumlah asosiasi dimana individu memangku jabatan
4. Lama menjadi anggota dalam kepengurusan
Dari penentuan skala tingkat peran serta individu dapat disimpulkan secara singkat bahwa skala untuk mengukur peran serta masyarakat berdasarkan aspek:
1. Frekuensi kehadiran anggota kelompok dalam pertemuan
2. Keaktifan anggota kelompok dalam berdiskusi dalam pembahasan permasalahan
3. Keterlibatan anggota dalam kegiatan fisik
4. Kesediaan memberi iuran atau sumbangan berbentuk uang yang telah ditetapkan
F. Pengelolaan Limbah Perkotaan
Jumlah populasi penduduk di suatu tempat yang terdiri dari beberapa rumah tangga memegang peranan penting dalam pengelolaan limbah domestik maupun industri yang dipengaruhi jumlah limbah yang ditimbulkan dan komposisinya (Hilman, 2004).
Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa limbah rumah tangga maupun industri yang langsung dialirkan ke sungai, memiliki dampak lingkungan yang sangat kompleks. Untuk itu diperlukan strategi pola penanganan, kaitannya dengan pengelolaan limbah tersebut. Menurut Micalf dan Eddy (1981), bahwa pengelolaan limbah meliputi kegiatan pewadahan, pengumpulan, penyaluran dan pembuangan limbah. Sependapat dengan tersebut diatas, menurut Hilman (2004), beberapa cara untuk melakukan pengelolaan limbah padat rumah tangga antara lain adalah pemanfaatan barang daur ulang dan memilah sampah basah/kering sehingga mengurangi pencemaran lingkungan dan meningkatkan pendapatan.
Sistem pewadahan yang digunakan yaitu yang dapat dipindahkan, seperti tong sampah dan kontainer, serta tidak dapat dipindahkan, seperti bak sampah yang terbuat dari pasangan batubata. Secara umum persyaratan bahan pewadahan adalah tidak mudah rusak, kedap air, mudah untuk diperbaiki, ekonomis dan mudah diperoleh/dibuat oleh masyarakat, serta mudah dan cepat dikosongkan. Selain itu lokasi penempatan wadah juga menjadi pertimbangan dalam hal ketertiban, keindahan dan estetika. Sistem pengumpulan sampah adalah proses penanganan sampah mulai dari pewadahan penampungan sampah sampai ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS). Dalam menunjang keberhasilan operasi pengumpulan sampah, perlu adanya pewadahan yang sebaiknya dilakukan oleh pemilik rumah. Pewadahan tersebut ditempatkan sedemikian rupa, sehingga memudahkan dan cepat bagi para petugas untuk mengambilnya secara teratur dan higienis. Waktu pembuangan sampah dapat dilakukan pagi hari, siang hari, sore hari, atau malam hari dan disesuaikan dengan waktu pengumpulan oleh petugas agar sampah tidak mengendap terlalu lama.
Tabel II.1.
POLA PENGUMPULAN SAMPAH
NO POLA
PENGUMPULAN PENGERTIAN PERSYARATAN
1. Pola Individual
Langsung Cara pengumpulan sampah dari
sumber sampah dan diangkut
ke tempat pembuangan akhir
tanpa melalui proses
pemindaha - Kondisi topografi bergelombang (rata-rata > 5%) sehingga alat pengumpul non mesin sulit beroperasi
- Kondisi jalan cukup lebardan operasi tidak mengganggu pemakai jalan lainnya
- Kondisi dan jumlah alat memadai
- Jumlah timbulan sampah > 0.3 m3/hari
2. Pola Individual
Tak Langsung Cara pengumpulan sampah dari
masing-masing sumber sampah
dibawa ke lokasi pemindahan
(menggunakan gerobak) untuk
kemudian diangkut ke tempat
pembuangan akhir - Bagi daerah yang partisipasi masyarakatnya rendah
- Lahan untuk lokasi pemindahan tersedia
- Alat pengumpul masih dapat menjangkau secara langsung
- Kondisi topografi relatif datar (rata-rata < 5%) - Kondisi lebar jalan dapat dilalui alat pngumpul - Organisasi pengelola harus siap dengan sistem pengendalian 3. Pola Komunall Langsung Cara pengumpulan sampah dari masing-masing titik wadah komunal dan diangkut langsung ke tempat pembuangan akhi - Bila alat angkut terbatas - Bila kemampuan pengendalian personil dan peralatan relatif rendah - Alat pengumpul sulit menjangkau sumber sampah - Peran serta masyarakat tinggi - Wadah komunal mudah dijangkau alat pengangkut - Untuk pemukiman tidak teratur 4. Pola Komunal Langsung Cara pengumpulan sampah dari masing-masing titik wadah komunal dibawa ke lokasi pemindahan(menggunakan gerobak) untuk kemudian diangkut ke tempat pembuangan akhir - Peran serta masyarakat tinggi - Wadah komunal mudah dijangkau alat pengumpul - Lahan untuk lokasi pemindahan tersedia - Kondisi topografi relatif datar (< 5%) - Lebar jalan dapat dilalui alat pengumpul - Organisasi pengelola harus ada Sumber : SK SNI-T-13-1990-F Tata Cara Teknik Pengelolaan Sampah Perkotaan Secara khusus sanitasi kota ialah usaha penanganan dalam penyaluran air limbah domestik, berupa air buangan dari kegiatan MCK serta kegiatan domestik lainnya maupun penanganan limbah manusia. Penyaluran air limbah dimaksudkan agar dapat berkumpul menjadi suatu aliran air limbah yang mengalir dalam suatu saluran tertentu, sehingga air limbah tersebut mudah diawasi kuantitas dan kualitasnya. Menurut Kodoatie dan Sjarief (2005:174-175) sistem pembuangan air limbah yang terdapat di perkotaan terbagi menjadi 2 (dua) macam sistem yaitu sistem pembuangan setempat (on site sanitation) dan pembuangan terpusat (off site sanitation). Sistem pembuangan setempat adalah fasilitas pembuangan air limbah yang berada di dalam persil pelayanan (batas tanah yang dimiliki) misal dengan septik tank, sedangkan sistem pembuangan terpusat adalah sistem pembuangan di luar persil. Rumah tinggal di Indonesia, pada umumnya menggunakan sistem on site, dimana limbah yang ada ditampung pada suatu wadah yang disebut dengan tangki septik dan terjadi penguraian oleh bakteri anaerobik. Dari penguraian ini menghasilkan limpahan tangki septik yang dimasukkan ke dalam sumur resapan dan langsung meresap ke dalam air tanah, selain itu juga menghasilkan endapan lumpur yang mengendap di dasar tangki. Lumpur ini tidak boleh dibuang ke sungai karena BOD nya masih terlalu tinggi yaitu >2000 mg/liter, untuk itu perlu diolah melalui instalasi pengolahan limbah, jadi masih memerlukan off site untuk lumpurnya (Hindarko, 2003:29).
Alternatif dipilih lainnya sebagai pertimbangan sistem pembuangan air limbah adalah sistem pembuangan terpusat (off site sanitation) melalui jaringan perpipaan sewerage dan terlebih dahulu diolah pada unit pengolahan air limbah. Menurut Hindarko (2003:47-48) sistem ini mempunyai keunggulan karena berada dalam sistem perpipaan tertutup, tidak berbau, kering, bebas nyamuk dan bebas pencemaran terhadap air tanah.mPengolahan limbah merupakan suatu cara penanganan limbah sesuai standar baku mutu yang telah ditetapkan agar dapat mengurangi beban pencemaran yang masuk ke sungai, sehingga kualitas air sungai tetap berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
G. Peran Kelembagaan/Institusi
Pemerintah merupakan sektor publik yang memberikan pelayanan bagi masyarakat menunjukkan adanya institusi yang bertanggung jawab atas pengawasan pelaksanaan pengelolaan limbah. Keberhasilan pelaksanaan pengelolaan limbah tidak terlepas dari teknik operasional yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat Teknik operasional pengelolaan limbah perkotaan merupakan upaya dalam mengontrol pengolahan limbah rumah tangga dan industri . Adapun pengelolaan limbah mempunyai tujuan yang sangat mendasar, yaitu meningkatkan kesejahteraan lingkungan dan masyarakat, melindungi sumber daya alam (air), melindungi fasilitas sosial ekonomi dan menunjang pembangunan sektor strategis (Rahardyan, 2005:1).
Sistem pengelolaan limbah memiliki 5 komponen subsistem yang saling terkait yang didukung peraturan bagi seluruh stakeholders meliputi aspek teknik operasional, kelembagaan, pembiayaan, peraturan dan peran serta masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Arnstein, Sherry R. 1995. A Ladder of Citizen Participation dalam Jay M. Stein (ed). Classic Reading in Urrban Planning : An Introduction. McGraw-Hill, Inc, New York.
Budiharjo, Eko dan Joko Sujarto, 1998. Kota Berkelanjutan (Sustainable City). Penerbit Undip. Semarang.
Conyers, Diana (1992). Suatu Pengantar Perencanaan Sosial Dunia Ketiga.
Diterjemahkan oleh Susetiawan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
0 comments:
Post a Comment