RSS
Facebook
Twitter

Sunday, 29 July 2012

SINDROM STEVEN

A. PENGERETIAN Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, yaitu dr. Stevens dan dr. Johnson. indrom Stevens-Johnson, disingkatkan sebagai SSJ, adalah reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa. Juga ada efek samping yang lebih buruk, yang disebut sebagai Nekrolisis Epidermis Toksik ( Toxic Epidermal Necrolysis/TEN). Sindrom Steven Jhonson atau dalam bahasa inggris Stevens-Johnson Syndrome (SSJ) adalah suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll. Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136) Penyakit tersebut kadang-kadang disebabkan oleh suatu reaksi terhadap obat-obatan tetapi lebih sering merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IV terhadap infeksi (paling sering disebabkan oleh Herpes simpleks) dan relatif jinak. Meskipun SSJ dan TEN ( Toxic epidermal necrolysis ) juga dapat disebabkan oleh infeksi, tapi survey membuktikan efek samping obat merupakan faktor utama penyebab Sindrom ini. Konsekuensi mereka berpotensi lebih berbahaya daripada erythema multiforme. Erythema multiforme sendiri adalah Suatu kondisi kulit yang tidak diketahui etiologi, mungkin dimediasi oleh pengendapan kompleks imun (kebanyakan IgM) di microvasculature superfisial kulit dan selaput lendir mulut yang biasanya mengikuti suatu infeksi atau obat yg di atas eksposur. Stevens-Johnson Syndrome (SSJ) sejak dahulu dianggap sebagai bentuk eritem multiformis yang berat. Baru-baru ini diajukan bahwa eritema multiformis mayor berbeda dari SSJ pada dasar penentuan kriteria klinis. Konsep yang diajukan tersebut adalah untuk memisahkan spectrum eritem multiformis dari spectrum SSJ. Eritem multiformis, ditandai oleh lesi target yang umum, terjadi pasca infeksi, sering rekuren namun morbiditasnya rendah. Sedangkan SSJ ditandai oleh blister yang luas dan makulopapular, biasanya terjadi karena reaksi yang diinduksi oleh obat dengan angka morbiditas yang tinggi dan prognosisnya buruk. Dalam konsep ini, SSJ kemungkinan sama-sama merupakan proses yang diinduksi obat yang berbeda dalam derajat keparahannya. Terdapat 3 derajat klasifikasi yang diajukan : 1. Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10% 2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30% 3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30% B. ETIOLOGI Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab adalah: 1. Alergi obat secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik, arti piuretik) a. Penisilline dan semisentetiknya b. Sthreptomicine c. Sulfonamida d. Tetrasiklin e. Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol, metampiron dan paracetamol) f. Kloepromazin g. Karbamazepin h. Kirin Antipirin i. Tegretol 2. Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit) 3. Neoplasma dan faktor endokrin 4. Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X) 5. Makanan Faktor penyebab timbulnya Sindrom Stevens-Johnson Infeksi Virus Jamur Bakteri Parasit Herpes simpleks, Mycoplasma pneumoniae, vaksinia koksidioidomikosis, histoplasma streptokokus, Staphylococcs haemolyticus, Mycobacterium tuberculosis, salmonela malaria Obat Obat salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif, klorpromazin,karbamazepin,kinin,analgetik/antipiretik Makanan Coklat Fisik Udara dingin, sinar matahari, sinar X Lain-lain Penyakit kolagen, keganasan, kehamilan C. MANIFESTASI KLINIK Sindrom Steven Johnsons (SSJ) biasanya mulai dengan demam, sakit kepala, batuk, dan pegal, yang dapat berlanjut dari 1-14 hari. Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada muka dan batang tubuh, sering kali kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata. Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk lepuh pada tengahnya. Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah dilepas bila digosok. Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan sentuhan halus. Pada banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang. Daerah kulit yang terpengaruh sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-dingin dan demam. Pada beberapa orang, kuku dan rambut rontok.Pada SSJ dan TEN, pasien mendapat lepuh pada selaput mukosa yang melapisi mulut, tenggorokan, dubur, kelamin, dan mata. Mengenal gejala awal SSJ dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik untuk mengurangi efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang mengalaminya. Gejala awal termasuk : o ruam o lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin o bengkak pada kelopak mata, atau mata merah o konjungitivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan bola mata) o demam terus-menerus atau gejala seperti flu Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan. Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa: 1. Kelainan kulit Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata. 2. Kelainan selaput lendir di orifisium Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan dilubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%). Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dalam terbentuk pseudomembran. Dibibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal. Kelainan dimukosas dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas dan esopfagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas. 3. Kelainan mata Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah konjungtifitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa kongjungtifitis purulen perdarahan, ulkus korena, iritis dan iridosiklitis. Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis dan onikolisis. D. KOMPLIKASI Komplikasi yang tersering ialah bronkopneunomia yang didapati sejumlah 16 % diantara seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi. Prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Setelah itu akan timbul lesi di : • Kulit seperti terbakar berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh. • Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama. • Mata : konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun. E. PATOFISIOLOGI Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000: 147) . Reaksi Hipersensitif tipe III Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72). Reaksi Hipersensitif Tipe IV Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya. F. PENATALAKSANAAN Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadan umum berat sehingga terapi yang diberikan biasanya adalah : • Cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral. • Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. • Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa. Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien steven-Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 6×5 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari. Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan). • Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal. • Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi. • Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit. • Lesi mulut diberi kenalog in orabase. • Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari. Infus dan tranfusi darah Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik. Topikal : Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak. G. PROGNOSIS SSJ yang tepat (dengan kurang dari 10% dari luas permukaan tubuh yang terlibat) memiliki tingkat kematian sekitar 5%. Risiko kematian dapat diperkirakan menggunakan skala SCORTEN, yang membutuhkan sejumlah indikator prognostik memperhitungkan. Hasil-hasil lainnya termasuk kerusakan organ / kegagalan, menggaruk kornea dan kebutaan. Skala SCORTEN sendiri adalah skala yang mengukur tingkat keparahan penyakit. Ada 7 skala SCORTEN, dalam 7 Skala SCORTEN tersebut faktor risiko independen untuk kematian tinggi secara nilai sistematis untuk menentukan tingkat kematian untuk pasien tertentu. Faktor resiko 0 1 Usia < 40 tahun > 40 tahun Tingkat keganasn Tidak Ya Detakjantung (denyut/menit) <120 >120 Serum BUN (mg/dL) <27 >27 Detached or compromised body surface <10% >10% Serum bikarbonat (mEq / L) <20 >20 Serum glukosa (mg/dL) <250 > 250 H. PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila disangka penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah. Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasisel darah merah, degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal dan spongiosisdan edema intrasel di epidermis. Imunologi : Dijumpai deposit IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial sertaterdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA. Tes lainnya: Biopsi kulit merupakan pemeriksaan diagnostik tapi bukan merupakan prosedur unit gawat darurat Biopsi kulit memperlihatkan bulla subepidermal  Adanya nekrosis sel epidermis  Infiltrasi limfosit pada daerah perivaskular I. PENANGANAN Pasien penderita Stevens Johnson Syndrome ini harus segera mengalami perawatan, dimasukkan ke ruangan ICU (Intensive Care Unit), dan dilakukan perawatan sebagaimana menghadapi pasien luka bakar. Pasien harus segera dijauhkan dari penyebab penyakitnya, jika bersumber dari obat tertentu maka obat tersebut harus dihentikan pemakaiannya. Obat penghilang rasa sakit dan gatal diberikan, begitu juga penjagaan terhadap cairan tubuh dan elektrolit. Jika mengalami gangguan infeksi sekunder, sebagaimana memang tubuh yang luka akan rentan dimasuki bibit penyakit, maka penanganan terhadap infeksi sekunder pun diberikan diantaranya dengan antibiotik yang sesuai. Begitu juga nutrisi pasien pun diperhatikan. Setelah beberapa minggu atau beberapa bulan, gejala akan bisa berkurang dan kondisi pasien akan membaik sendiri, walau mungkin dengan beberapa bekas luka penyakit di tubuhnya, atau mungkin dengan kerusakan organ seperti kasus anak yang kehilangan penglihatannya. J. PATWAYS K. INTERVENSI 1. Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal Intervensi: a. Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan lainnya yang terjadi. b. Gunakan pakaian tipis c. Kolaborasi dengan tim medis 2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan Intervensi: a. Kaji kebiasaan makanan yang disukai/tidak disukai b. Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering c. Hidangkan makanan dalam keadaan hangat d. Berikan makanan melalui selang NGT jika dibutuhkan e. Kerjasama dengan ahli gizi 3. Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit Intervensi: a. Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi dan intensitasnya b. Berikan tindakan kenyamanan dasar ex: pijatan pada area yang sakit c. Pantau TTV d. Berikan analgetik sesuai indikasi 4. Gangguan Persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis Intervensi: a. Kaji dan catat ketajaman pengelihatan b. Kaji deskripsi fungsional apa yang dapat dilihat/tidak. c. Sesuaikan lingkungan dengan kemampuan pengelihatan: d. Orientasikan thd lingkungan. -Letakan alat-alat yang sering dipakai dalam jangkuan pengelihatan klien. -Berikan pencahayaan yang cukup. -Letakan alat-alat ditempat yang tetap. -Berikan bahan-bahan bacaan dengan tulisan yang besar. -Hindari pencahayaan yang menyilaukan. 1. Contoh gambar Konjungtivitis di SJS Erythema multiforme "Eritema multiforme mayor" (Stevens-Johnson syndrome); yang menyerupai "erythema multiforme" DAFTAR PUSTAKA Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC. Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC. Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Price dan Wilson. 1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2. Jakarta: EGC. Tim Penyusun. 1982. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius. Tim Penyusun. 2000. Kapita Selekta Ke

0 comments:

  • Total Pageviews

    Ns.Tursino.Skep. Powered by Blogger.
  • Contact Form

    Name

    Email *

    Message *